Kamis, 10 September 2015

FESTIVAL KEMATIAN -SEKUEL-

FFN. CODE 4. 黒子のバスケ
            FESTIVAL KEMATIAN
 SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)


DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI

SEKUEL PERSEMBAHAN SETAN



Every part of world theres an evil side. Heres the story side belongs to Yuzu Yukihira. Presented to all reader I love, Thanks for the support. This story cant success without you 


FESTIVAL 1 : YAKUSAMASHI (厄醒し)   
           
“(Disaster Awakening)”
                        Dosaku, adalah Dosaku, dan dosamu adalah dosamu. Pembunuhan seperti apa yang akan kau buat jadi sekenario? Entahlah, yang jelas, festival ini telah dimulai. Festival kematian...                                                                                     -行平黄名子-
                                                                                                            (Yukihira Kinako)
PROLOG

KINAKO YUKIHIRA –

Kuil Yukibana—Musim Dingin. 06.00 a.m
            Pagi yang bersalju, dingin, dan sejuk.
            Bunga Daffodil di tanganku masih meneteskan embun, aku memetiknya tidak jauh dari kebun bunga di kuil. Aku tidak punya uang untuk membeli bunga yang lebih baik dari ini, jadi segini saja sudah cukup,kan? Aku menelusuri jalan setapak yang di paving block, diatas batako-batako abu ini terhampar es tipis, kalau tidak berhati-hati siapapun bisa terpeleset. Kemarin hujan salju hebat baru saja mengguyur dilanjutkan oleh hujan semalam suntuk—maka jadilah kawasan Tokyo berubah seperti kota mati.
            Suara kicau burung Suzume*(burung gereja) menyapa, mereka bertengger di sebuah batu marmer indah yang menjulang setinggi badanku. Di sana tertulis; “Keluarga Yukihira—Shuuma Yukihira—Kohane Yukihira—“. Selamat pagi, Tou-sama*(ayah), Kohane, kalian baik-baik saja? Semoga di sana kalian tidak memprotes kelakuanku yang masih saja kurang ajar,ya. Kuletakkan bunga putih itu di atas nisan dan membakar dupa, syal berwarna merah di leherku kulilitkan lebih erat, aku tidak punya jaket jadi aku terpaksa memakai Jersey Seirin. Jaket ini sama sekali tidak bisa menghalau dingin tapi tak apalah kurasa aku bakal terbiasa dengan udara gila di musim ini.
            “Sudah kuduga kau kemari, Nona kecil…” suara parau itu membuyarkan lamunanku, sosok berwajah welas asih terpancar dari keriput di wajahnya yang sama sekali tidak terlihat letih meski umurnya sudah hampir delapan puluhan.
            “Menjenguk adik dan ayah?” aku mengangguk, bukannya aku sok-sokan tidak menyambut sapaannya melainkan aku Tidak bisa menjawab. “Sudah berapa lama insiden itu terjadi? Tepat seminggu benar,kan. Aku mengerti sekali perasaanmu tidak ada yang tidak mungkin merasa senang ketika kau tahu satu-satunya hal yang kau punya tiba-tiba diambil dengan cara yang mengenaskan. Mereka sudah tenang di sana, doamu adalah kiriman terbaik untuk mereka” Kakek Kepala Kuil tersenyum seraya melihat kea rah nisan yang tetap terdiam meski salju menumpuk di atas permukaannya.
            “Kau masih menggunakan seragam itu berarti kau masih menyayangi mereka,kan?” aku enggan menjawab, sudah hampir tiga bulan aku pergi meninggalkan mereka dan jaket inilah yang membuatku selalu ingat akan keberadaan mereka. Aku tak tahu apakah mereka memaafkanku atau tidak yang jelas ini pilihanku, terserah mereka menganggapku sebagai orang jahat itu bukan masalah, itu adalah yang terbaik.
           “Hari ini jam Sembilan akan ada upacara persembahan dan doa untuk adikmu. Kurasa anak-anak akan datang, apakah itu cukup membantu?” aku hanya tersenyum, Kakek Zen sudah banyak membantuku. Beliau menerimaku di sini ketika aku pergi dari rumah sakit dan aku sekarang tinggal di kuil ini. Kuil yang lumayan jauh dari kota dan letaknya nyaris tidak diketahui banyak orang, Kuil di Desa Miwarigumi adalah tempat dimana ayah dimakamkan singkatnya ini desa tempat tinggal keluargaku sebelum pindah ke kota, Kakek Zen sudah seperti kakek kandungku. Berita meninggalnya Kohane seminggu lalu membuatku nyaris bunuh diri tapi Kakek Zen tetap sabar memberiku kekuatan.
            “Apakah kau siap kembali menghadapi ancaman dari Keluarga Inti?” pertanyaannya kembali membawaku ke masa sepuluh tahun dimana masa mengerikan itu terekam jelas di otakku. “Festival itu diselenggarakan oleh pihak yang sangat kau kenal”
            Bajingan-bajingan itu harus kumusnahkan segera mungkin sebelum para Kiseki no sedai bergerak. Sayangnya darah Saika tidak sengaja ditransfer ke Kagami-nii, dialah yang bisa melacak keberadanku karena aku induknya.
            “Waktunya kau pergi…, Kinako-chan. Aku yakin mereka masih menyayangimu. Kapanpun itu, jangan pernah merasa sendirian. Kau punya mereka yang ada di belakangmu” Kakek Zen mengelus kepalaku, hatiku yang mendingin sedikit hangat berkat tangannya.
            Tak perlu waktu lama aku sudah melesat meninggalkan Kakek Zen, di atas dahan pohon aku bertengger berkamuflase di pepohonan rindang yang putih ditutup salju. Sebelum aku pergi, aku mendengar suara dari bawah.

            “Ohayou Gozaimasu. Kakek Zenzo, kenapa anda ada di sini?”
            “Ohayou. Oh, tadi ada tamu. Aku sekalian mengganti bunga-bunga di makam”
            “Anda sudah terbiasa,ya. Bagaimana acara hari ini?”
            “Sudah dengan segala persiapannya, Akashi Seijuurou -sama
            Aku melenyapkan diri dibalik kegelapan, aku tahu siapa sosok berambut amber itu namun aku tidak ingin menemuinya. Aku tidak bisa lagi menemui mereka.
KUROKO TETSUYA
SMA Seirin – Gymnasium, 07.00 a.m
            Sekolah sibuk dengan persiapan Natal
            Natal di sekolah adalah acara yang paling ditunggu-tunggu oleh murid-murid. Mereka bisa merayakan natal dengan gembira, berdansa, makan makanan enak, bertukar kado, dan berbagi kebahagiaan di bawah gemerlap lampu pohon Natal di Gym. Sayangnya kali ini aku yang berada di Gym tidak merasakankan adanya hal-hal yang kusebutkan tadi, aku terpekur menunggu Kagami-kun sambil membawa sebuah buket bunga berisi bunga Daffodil, mawar putih, Suzuran*(lily lembah), dan beberapa bunga lainnya. Hari ini adalah hari penting, aku sudah janji dengan Kagami-kun, Furihata-kun, Kawahara-kun, dan Fukuda-kun untuk berangkat ke Desa Miwarigumi, desa dimana Kohane dimakamkan.
            Nyeri masih membekas di hatiku, mataku tiga hari bengkak dan sekarang masih saja meloloskan satu-dua bulir air mata. Memang sudah seminggu semenjak Kohane meninggal akibat jatuh dari lantai tujuh apartemen milik Mayuzumi-san, ponselku nyaris jadi korban ketika aku mendengar berita itu. Yang selalu bisa menguatkanku adalah Kagami-kun dan tentu saja teman-teman lainnya meski mereka pasti merasakan hal yang sama pahitnya.
            “Ohayou Gozaimasu, Kuroko” sapa suara renyah dari sampingku, Furihata-kun.
            “Ohayou Gozaimasu, sendirian saja? Dimana Kawahara-kun dan Fukuda-kun?” sapaku balik. “Oh,ya aku lupa bilang kalau mereka bakal berangkat bareng para senpai jadi kita bertiga saja” jawabnya.
            “Ohh…” aku hanya memberi respon seadanya, moodku sedang turun dan kesedihan ini tidak bisa lepas setiap kali aku mendengar nama Kohane.
            “Kau terlihat pucat, Kuroko. Aku tahu perasaanmu, aku juga shock mendengar berita itu dan buru-buru aku pergi ke tempat teman-teman. Hal ini tetap dirahasiakan dari anak-anak lain jadi kau bisa tenang, bersedih memang hak setiap orang tapi kita harus bisa melangkah maju meski kita ditinggalkan” nasihat Furihata-kun, aku mengangguk memerhatikan wajahnya yang samar terlihat letih dan ada bekas tangisan di matanya.
            “Walau aku tidak begitu dekat dengan Kohane-chan tapi aku merasakan kesedihan yang sama denganmu, Kuroko, kau pasti juga memikirkan apa yang dirasakan Kinako-chan andai saja dia ada di sini dan mendengar semua kenyataan itu” kali ini aku tidak bisa menjawab, berulang kali aku memikirkan bagaimana untuk membawa kembali Kinako berujung pada kematian Kohane, kalau Kinako tahu akan hal ini maka aku sudah tidak bisa lagi memerlihatkan mukaku padanya.

            “Kalau Kinako tahu—“
            “Maka aku akan menyeretnya ke sini dan menyelesaikan masalah” suara angkuh itu menggema di seluruh penjuru ruangan, sosok bertubuh tinggi besar dengan sepasang matanya yang tajam tak mau kalah itu berkacak pinggang dua meter di belakangku. Dia membawa sebuah buket bunga di tangannya lalu berjalan menghampiri kami.
            “Kau tidak akan bisa mengocok dadu kalau kau takut untuk kembali ke kotak tempatmu berada, kau tahu, tidak ada orang yang bisa menentukan dimana letak pion sebelum dadu yang kau pegang dilempar. Mau maju atau mundur atau bahkan diam, itu tergantung padamu. Mengubah takdir juga sama, kau takkan maju menuju finish tanpa usaha melawan takut” Kagami-kun menjitak pelan kepalaku, entah apa yang dia berikan tapi seolah-olah semangatnya merasuk ke dalam diriku dan membuat mataku terbuka.
            “Kita juga berjuang untuk bagian Kohane juga,yak an?” sahut Furihata-kun.
            “Ya! Aku yakin, Kinako akan kembali dan kita akan bermain basket bersama-sama lagi!” kami melakukan bro fist, kami sudah bertekad tidak akan terkurung dalam kesedihan lagi, karena kami adalah KLUB BASKET SMA SEIRIN! Perasaan ini akan kami sampaikan pada anak itu, lalu kembali bermain basket di lapangan bersama semuanya.

            “Ah, sudah saatnya pergi. Bus pertama datang jam setengah delapan” kata Furi.
            “Yaah, kita tidak akan mau disuruh lari dari desa ke sini karena terlambat oleh pelatih,kan?” cengir Kagami-kun dan sukses membuatku tersenyum juga.
            Kami bergegas pergi ke halte lalu melihat jadwal keberangkatan Bus dan syukurlah kami tidak terlambat, ada bus pagi untuk pergi ke Desa Miwarigumi. Desa itu terkenal dengan bunga-bunga musim dinginnya, entah kenapa hanya di desa itu saja bunga-bunga bisa bermekaran sekalipun di musim dingin. Tujuan kami adalah Kuil Yukibana*(雪花) atau biasanya disebut Kuil Bunga Salju, kuil itu tidak banyak dikenal orang dan terpencil jadi agak sulit menuju ke sana apalagi bus hanya menurunkan kami di jalan arteri desa lalu kami harus jalan untuk mencapai kuil di atas bukit itu.
            “Kita masih harus jalan lagi?” Tanya Kagami-kun.
            “Iya, kira-kira di atas bukit sana” tunjuk Furihata-kun.
            “Bunga-bunga di sini tidak layu,ya meski kemarin hujan salju. Mereka bermekaran seperti biasa. Apa ini bunga segala musim?” aku merunduk dan berjongkok di dekat sebuah petak bunga Ajisai yang bergerombol tertutup salju. “Kurasa mereka sudah seperti ini dari dulu mungkin?” Furi memberi opini tapi tetap saja bunga-bunga di sini terlihat tidak begitu wajar karena tetap tumbuh di udara ekstrim. Kami berjalan menelusuri jalanan yang masih belum di aspal, di kanan kiri terbentang sawah dan padang bunga, penduduknya juga menyapa kami dengan hangat. Namun ada satu hal yang aku herankan sedari tadi, Di sini tidak ada anak-anak.
            “Kagami, Kuroko, Furihata di sini!” Oh, sepertinya itu Izuki-senpai, senior yang lain sudah siap dengan bunga-bunga di tangan mereka. Pelatih tampak membawa sapu tangan dan awan-awan kesedihan masih mengambang disekelilingnya, aku tidak bisa berbohong karena hatiku memang tidak bisa sekuat Kagami-kun, awan mendung itu tetap menggantung karena itulah sesungguhnya perasaanku sekarang. Kami menaiki tangga yang kurasa cocok dijadikan latihan  karena anak tangga ini terlalu banyak, kapten terlihat uring-uringan di sebelah Kiyoshi-senpai.
             “Acaranya di kuil utama, kalian jangan macam-macam,ya” peringat kapten kami yang sudah kehabisan tenaga. Di halaman utama Kuil Yukibana kami melihat sudah banyak orang berkumpul.
            “Kurokocchi, Kagamicchi, kalian sudah datang” Kise-kun terlihat gagah dengan setelah serba hitam bersanding dengan Kasamatsu-san yang membawa buket besar berisi bunga Lily. “Kise-kun, yang lain sudah datang? Kau cepat sekali” aku menerima uluran tangannya, Kise-kun tersenyum sebentar lalu menjawab, “Ya, aku ke sini agar menjadi tamu pertama di undangan Kohanecchi” aku bisa merasakan nada kesedihan di ucapannya namun aku tidak membangkang, Kise-kun mungkin adalah salah satu yang paling terpukul atas kejadian ini.
            “Taiga, kau datang tepat waktu. Maaf tadi aku berangkat bareng Atsushi, Alex tidak ikut?” Himuro-kun tak kalah kerennya dengan jas hitam tanpa dasi yang dikenakannya.
            “Alex akan datang nanti siang, saat acara pemasangan dupa dan doa akhir”
            “Aku turut berduka, Taiga. Maafkan aku”
            “Untuk apa kau minta maaf Tatsuya? Anggaplah ini adalah kasus kecelakaan, aku tidak bisa banyak membantu juga. Kami harus membawa Kinako kembali hanya itu misi kami” ujar Kagami-kun.
            “Atsushi sempat panic, aku mencoba menenangkannya dan aku mendapat kabar kalau Klub basket Touou sempat gempar. Kurasa kau harus bicara pada Aomine-kun” sahut Himuro-san. Oh iya, Aomine-kun dan anggota Touou!
            Aku melihat Aomine-kun bersama Momoi-san juga senior-senior dan anggota Touou lainnya, mereka sangat terpukul, Momoi-san bahkan menangis di sana bahkan sampai pelatih mereka turut hadir di depan altar yang dipasang oleh foto Kohane. Hatiku seperti diiris-iris melihat pemandangan seperti ini, “Selamat datang di Desa Miwarigumi. Perkenalkan namaku Zenzo, aku kepala kuil di sini ng…,silakan masuk acara akan segera dimulai, ah, kalian pasti teman-temannya Kohane-chan,ya? Aku bersyukur anak manis itu punya teman-teman yang baik” seorang kakek berambut putih menyapa kami, dia mengenakan baju tebal dengan tongkat di tangan kirinya. Matanya terlihat menutup sepertinya kakek ini sudah sangat tua namun terlihat tetap bugar di cuaca dingin dia masih bisa jalan-jalan.
            “Wah, kalian sudah datang rupanya. Acara akan segera dimulai” pria berambut merah amber menyahut dari belakang Pak Zenzo, Akashi-kun!
            “Akashicchi, kau datang cepat. Apa Rakuzan juga datang ke sini?” sapa Kise-kun.
            “Ya, karena ini juga acara yang penting bagi Mayuzumi-san dan keluarganya” jawab Akashi-kun sederhana. Benar juga, Mayuzumi-san itu kerabat dekat Kohane dan menurut keterangan, dia dan ibunyalah yang menemukan Kohane sudah tewas jatuh dari gedung.
            “Tidak baik berlama-lama di tengah udara seperti ini, ayo masuk, acara akan segera dimulai” Pak Zenzo membimbing kami ke dalam kuil, Momoi-san seperti biasa menyerudukku tapi kali ini bukan nada kebahagiaan di teriakannya tapi kesedihan, Aomine-kun juga tidak banyak bicara dia hanya menatapku penuh arti.
            “Aku turut berduka, Aomine-kun. Maafkan aku, aku gagal lagi”
            “Tidak, jangan minta maaf, Tetsu. Aku sudah mengerti, tapi sayang ini sudah sangat terlambat” ujar Aomine-kun dengan wajah suram, aku mengerti perasaannya dan tentu saja aku hanya bisa diam.
            Di acara ini aku hanya bisa mengirim doa, foto Kohane yang tersenyum di depanku tepat di pajang di atas altar dikelilingi bunga dan dupa sekarang hanya bisa dipandang dari sana. Kohane sudah tidak ada, kenyataan yang sampai sekarang tidak ingin kuakui. Kemudian secara bergiliran kami memberi bunga di altar, aku tak lupa berdoa tapi di tengah buket-buket bunga yang ditaruh aku melihat ada sesuatu yang terselip di sana.
            BULU BURUNG GAGAK
            Mataku membulat, tengkukku merinding seperti ada yang memerhatikan dari jauh, dengan cepat kuambil helaian bulu hitam itu lalu beranjak menuju ke tempat Kagami-kun duduk.
            “Kagami-kun” bisikku, “Huaaa! Kau sedang apa, sialan bahkan di saat seperti ini kemampuanmu itu tetap mengesalkan!?” semburnya panic. “Ini…,” kuperlihatkan helaian bulu hitam itu, mata Kagami-kun langsung membulat, sesuatu yang mengerikan sepertinya terlintas di pikirannya sama denganku. “Hei, Kuroko” panggilnya. “Ya?”, Kagami-kun memberi kode kepadaku untuk membawa anak-anak yang berkepentingan menuju keluar kuil, aku mengangguk lalu dengan kecepatan kilat aku mengirim e-mail kepada semuanya—aku tak ingin membuat ricuh suasana ini—tak lupa juga aku ingin Mayuzumi-san ikut. Dialah yang berhak tahu soal ini.
            Kemudian tidak sampai lima belas menit semuanya sudah berkumpul di kebun belakang kuil yang penuh oleh tetumbuhan(aku agak sanksi jangan-jangan ini adalah pondok pengembangan botani bukannya kuil). Akashi-kun melambai lalu kami berdua berjingkat lalu pergi.
            “Tetsu, kenapa kau memanggil kami?” Tanya Aomine-kun.
            “Sebenarnya aku tidak mau merusak suasana tapi…, aku terpaksa melakukannya” kusodorkan helai bulu hitam itu, sudah kuduga respon semua orang sama sepertiku dan Kagami-kun. Untuk beberapa saat kami tidak saling bicara, mereka masih menahan napas tentu masih bersama tatapan horror di wajah masing-masing.
            “Aku…” Mayuzumi-san berbisik dari samping Akashi-kun. “Aku menemukan benda yang sama ketika Kohane jatuh, aku tidak seratus persen yakin tapi aku tahu benda yang melewatiku ketika aku di beranda adalah bulu itu. Tapi sayangnya aku tidak menghiraukannya karena Ibuku sangat histeris dan memintaku menelepon polisi dan paramedic” aku ternganga, kenapa kami sering sekali mendapati bulu-bulu ini disetiap TKP?
            “Ngomong-ngomong, aku memiliki hal yang harus kubicarakan pada kalian” sahut Akashi-kun.
          “FESTIVAL AKAGOSAI akan diselenggarakan seminggu dari sekarang, tepatnya minggu depan hari Rabu” kami terkejut, festival itu adalah festival yang masih mengundang banyak kontroversi, “Aku punya sedikit kecurigaan” kata Kise-kun. “Apa itu?” Tanya Murasakibara-kun. “KOHANECCHI  BUKAN TERBUNUH, TAPI DIBUNUH” kata-kata yang meluncur dari mulut Kise-kun membuat jantungku nyaris melorot, “Di, dibunuh?” Tanya Takao-kun. “Aku bukannya mengasumsikan hal yang berlebihan tapi entah kenapa kalau Mayuzumicchi terlibat di sini berarti…”.
            “Kau mau bilang semua ini berhubungan dengan KELUARGA YUKIHIRA?” tandas Mayuzumi-san. Anggukan Kise-kun membuat tengkukku merinding.  Bagaimana mungkin? Kenapa ada orang sekejam itu? Apa alasannya, modusnya, kedoknya, atau apapun sampai menghilangkan nyawa gadis kecil?!
            “…..” Aku mendengar Kagami-kun seperti menggumamkan sesuatu, tatapan Kagami-kun menuju kea rah pepohonan yang rimbun. “Kagami-kun, ada apa?” tanyaku.
            “KINAKO”. Eh?. “Aku melihat KINAKO”, salju turun dari langit perlahan lalu adegan berikutnya adalah sosok Kise-kun dan Kagami-kun sudah menghambur ke rerimbunan pohon.
KAGAMI TAIGA
Kuil Yukibana—halaman belakang—09.00 a.m.
            Sedari tadi aku merasa ada aura dan aroma yang amat kukenal.
            Aku tidak tahu siapa tapi keberadaannya sangat tipis sekali, makanya dari tadi aku hanya diam memerhatikan sekeliling kebun yang penuh dengan bunga ini. Sampai ketika kami cukup lama berada di sana mataku menangkap sosok yang memiliki aura tipis dan bau yang samar kurasakan tadi.
            “Kagami-kun, ada apa?” Tanya Kuroko.
            “KINAKO, aku melihat Kinako” belum sempat melihat respon semua orang di sana, aku melihat Kise sudah menghambur kea rah yang kutuju, gawat, kalau sampai dia terlibat lagi dengan hal-hal berbahaya maka semua akan menjadi buruk!
            “Taiga, Kise-kun!!” seruan Tatsuya tidak kugubris, temperature yang semakin turun kuacuhkan, bahkan salju sudah menampakkan diri dan turun dari langit ke bumi tak kupedulikan, aku merangsek ke semak-semak yang ditumpuki salju tipis dan sepertinya semak-semak di sini sukses membuatku naik darah saking rimbunnya.
            “Oi, Kise! Berhenti, kau tidak tahu apa yang ada di sana, berbahaya Kise!” teriakku.
            “Tapi aku juga merasakannya, Kinakocchi ada di sana!” tampik Kise sesaat setelah aku mencengkram lengannya, tatapannya yang putus asa dan di luar kendali itu mengingatkanku pada hari dimana kami bertaruh nyawa di Teikou sekitar enam bulan lalu.
            “Kumohon! Aku sudah cukup bersabar kalau begini terus tidak ada gunannya nyawaku kembali, aku sudah memilih untuk tetap di jalan ini! Ini dosaku, aku salah, aku ingin minta maaf pada anak itu. Kau tidak paham bagaimana Kohanecchi menginginkan kembali Kinakocchi tapi, semuanya—“,

            “Aku paham, aku mengerti bagaimana rapuhnya kau. Kalau kau tetap mengikuti emosi dan egomu, kau hanya menyia-nyiakan semua pengorbanan kedua anak kembar itu” tegasku dengan tatapan langsung menghujam matanya. Kise tergelak, dia diam, kami hanya mendengar gemerisik daun dan tanganku tidak kulepaskan dari lengannya. “Maaf, Kagamicchi” desisnya.
            “Tak apa, kau sudah berjuang. Aku mengerti. Dia penting bagimu” jawabku lebih tenang.
            “Hei kalian berdua! Seenaknya saja kalian main lari begitu, cepat kembali!” seru Aomine datang dari belakangku. “Ah, maaf..” beberapa detik selanjutnya aku melihat sesu atu dari pohon. Burung Gagak. Burung gagak di musim dingin?! Hei, jangan bercanda, mana ada burung gagak di hari seperti ini. Tapi burung itu terpaku pada kami, seolah-olah menargetkan kami dan tatapan matanya yang sok polos itu membuatku merinding.
            “Memang ada gagak di musim dingin?” Tanya Aomine.
            “Tentu saja ada, mereka memangsa orang-orang kepo seperti kalian”
DEG!! Kami semua berjengit, seseorang berambut hitam berkacamata merah bersandar di batang pohon tak jauh dari kami. Auranya menyeramkan, tapi perilakunya santai sama sekali tidak ada tanda-tanda adanya ancaman.
            “Kalian, oh, benar-benar anak-anak klub basket,ya? Kalau tidak salah kau yang berambut biru dan kuning adalah Kiseki no sedai, ahh~ benar sekali. Aku senang bertemu dengan kalian semua. Perkenalkan namaku Naraku..” dia berdiri, kemudian sepersedetik adegan berikutnya adalah dia sudah ada di antara aku dan Kise, mataku nyaris tidak bergeser sesentipun. Brengsek, kapan dia berpindah tempat!!?
            “Namaku Naraku Yukihira, senang berkenalan dengan kalian. Bocah-bocah” dengan entengnya dia menendang tepat di perut Kise, cengkramanku terlepas dan membuatku terpelanting sampai Aomine harus menahanku. Sementara Kise terlempar hingga menabrak pohon lalu jatuh terkapar di tanah.
            “KISEE..!!”
            “Ahh, bukan,bukan begitu caranya kau menyambut orang baru, anak muda” sebelum dia menghajar wajahku dengan kepalan tangannya, Aomine sudah melayangkan tinjunya sayang dia berhasil lolos. “Bajingan, siapa kau!? Kau mau apa tiba-tiba menyerang kami?” seru Aomine geram.
            “Aduh, jangan marah-marah, sayang aku tidak ingin meladeni kalian tapi ini tugas jadi apa boleh buat” aku tahu targetnya adalah Kise, dengan agak memaksa aku merangsek maju melindungi Kise yang meringkuk memegangi luka lamanya. “Kise, kau baik-baik sa—“
            “Kagami!!” Si keparat itu menendang lagi dengan kakinya tapi yang nyaris membuat jantungku lepas adalah Kise menahan serangan itu tapi kekuatannya kalah telak jadilah kami berdua terhempas begitu saja hingga melayang dan terjatuh di tanah lapang yang dipagari oleh kayu. Sepertinya ini masih aeral kuil syukurlah kami tidak terperosok ke jurang.
            “Suiit, tak kusangka orang yang pernah koma tiga bulan bisa menahan seranganku tadi, aku cukup serius lho” pria itu akan kutendang kalau saja dia tidak selicin belut,pakaian formal, lalu benda yang tergantung di samping celanannya itu…, Katana!?.gila, orang stress macam apa yang tahu-tahu menyerang kami padahal dia baru saja menunjukkan batang hidungnya.
            “Oops, maaf. Tapi kurasa kau kurang sopan ya? Siapa namamu anak muda?” dia menghalau tinju Aomine dari belakang tanpa menoleh, tapi Aomine sama sekali tidak gentar dia malah menyeringai lalu mengambil ancang-ancang dengan kakinya. “Aomine Daiki, camkan ini baik-baik, bajingan berbaju keren”. “Owh, nama yang sesuai. Sayang sekali, kau tak cukup pintar melawanku” dia mencengkram tangan Aomine, meninju perutnya lalu menendang Aomine hingga tersungkur di sebelahku.
            “Aomine! Hei, mulutmu berdarah!” seruku.
            “Uhuk, cih. Diam, aku juga tahu, sial tenaganya seperti Bison!” geramnya kesal.
            “Aku harus memberi applause  kalian cukup kuat, sayang tidak sebanding dengan kami. Kalau saja Nona muda ada di sini dia bisa membela kalian,ya?” Nona muda? Siapa yang dimaksud, tunggu dulu tadi dia menyebut namanya adalah…;
            “Kau, dari keluarga Yukihira? Kenapa brengsek sepertimu tiba-tiba—“
            “Karena kalian terlalu ikut campur masalah ini, padahal sebentar lagi rencana kami akan berhasil. Sayangnya kalian terlalu kepo, bahkan kami harus menyingkirkan Nona muda kami tapi agak mengecewakan tuan putri yang satu lagi terlalu kepala batu hingga mau memihak kalian semua” aku tidak mengerti apa yang dimaksudkan olehnya, apa mungkin!? Mungkinkah!...
          “Kau yang membunuh Kohanecchi” sinis Kise. “Aku tidak akan sekejam itu, dia salah satu kesayanganku lho” jawabnya agak falmboyan(mirip sekali dengan Mibuchi-san).
            “Brengsek!” Kise mengepalkan tangannya, tapi sebelum aku mencoba menahan Kise si lelaki bernama Naraku itu tampak mencabut benda yang terselip di pinggangnya.
            “KISE JANGAN…!!” dia hendak menebas Kise, sial, sial!! Kalau begini ceritanya Kise bakal mati, aku tidak menghiraukan ngilu di badanku yang kuutamakan sekarang adalah menjauhkan Kise sebelum tubuhnya terbelah dua.
            “Ahaha, maaf,ya Kise Ryouta-sama, aku tak punya pilihan. Matilah dengan tenang”
            “Kise….!!”
             CRAANG!
            Napasku tertahan dengan pemadangan yang kulihat di depan mataku, seseorang menahan katana mengerikan itu yang sebentar lagi menghampiri kepala Kise, darahku berdesir, perasaan yang lama sudah hampir kulupakan, perasaan seorang sahabat yang amat berterima kasih telah dilindungi.
            Perasaan yang sama seperti enam bulan lalu.
            “Khu, khu,khu… aku terkejut, diluar dugaan kau datang terang-terangan kemari. Hime-sama*(tuan putri).” Mata setajam pisau itu menghujam ke sosok yang tengah mengayunkan katana di depannya.
            “Itu karena kau berani menyentuh mereka, akan kutebas kepalamu dan kujadikan makanan binatang” kata-kata sedingin e situ membuatku merinding.
            “….Kenapa….,” bisik Kise.
            “KINAKO…?” gadis kecil dengan jersey Seirin, perban di tangan juga mata kirinya, dan hanya memiliki satu tangan…, berdiri gagah tak gentar di depan kami yang ternganga dan masih terjebak di dalam keterkejutan.

 AKASHI SEIJUUROU
Kuil Yukibana—halaman belakang—09.55 a.m
            Perasaanku tidak enak semenjak tadi
            Yang kumaksud adalah kenapa anak-anak itu belum kembali, benarkah kalau mereka berhasil menemukan Kinako? Tapi ada apa ini, kenapa hatiku mengatakan yang sebaliknya.
            “Akacchin, kau keliahatan gusar sekali dari tadi, kenapa?” Tanya Murasakibara sambil membuka snack hangat di tangannya, aku terdiam sejenak enggan untuk menjelaskannya karena aku memang tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku.
            “Apa kau mengkhawatrkan mereka? Mereka paling juga datang sebentar lagi, apa butuh di cek?” Tanya Takao.
            “Ng, aku rasa memang harus mengeceknya apalagi ini sudah hampir duapuluh menit mereka pergi. Aku takut mereka malah tersesat atau jatuh di suatu tempat” ujarku seraya melangkah kea rah rerimbunan pohon. Aku terkejut ketika seekor gagak berkoak dari atas pohon tak jauh dari tempatku berada, burung gagak itu melihatku tanpa melakukan apapun. Aneh sekali, ada yang tidak beres kenapa ada burung gagak di saat musim dingin? Kuperhatikan burung itu terus tanpa bergeming, sampai Himuro-san menepuk pundakku.    “Kau kenapa, Akashi-kun?” tanyanya.
            “Anu, burung gagak itu—“
            DUAAKK…! Sesuatu melintas diantara kami, seperti menghantam benda atau sejenisnya. Aku melihat ada sebuah batu tergeletak sudah dalam kondisi pecah, sepertinya menghantam batu yang lain, tunggu siapa yang melemparnya?
            “Akashi! Di belakangmu!” teriak Mayuzumi-san, ternyata dia melemparkan sebuah batu yang cukup besar untuk menghalau batu lain yang hendak mampir di kepalaku(tentu dengan kekuatan missdirectionnya).
            “Yare-yare*(yaampun), kupikir aku berhasil melubangi kepalanya tapi tetap saja ada pengganggu di sekitar sini” suara yang berat seperti binatang itu, tidak, maksudku dia memang mirip seekor binatang. Tubuhnya besar dan kekar, rambutnya panjang hitam dan mata kanannya buta—ada bekas luka di sana—dia menggunakan blazer hitam dengan kemeja warna biru di baliknya dan menenteng sesuatu, benda panjang itu aku sangat mengenalnya!Sebuah katana….!
            “Aku sangka ada hewan langka berada di sini” ucap Mayuzumi-san dingin.
            “Sungguh bocah kurang ajar, jaga mulutmu. Setidaknya kali ini tidak ada yang akan bisa melindungimu lagi, Chihiro Mayuzumi” eh mereka saling kenal?
            “Mayuzumi-san, dia kenalanmu?” Tanya Kuroko.
            “Dia hanya hewan liar yang memakai pakaian formal, si beruang dari keluarga inti. Aozaki Yukihira” jawab Mayuzumi-san. Yukihira?! Dia salah satu famili Yukihira, apa mungkin dia mengenal Kinako?

            Suasana hening sejenak, tidak ada yang bergerak dari tempat masing-masing sementara pria berkulit gelap itu asyik menepuk-nepuk pundaknya dengan pedang(yang Nampak berbahaya). “Aaaah, musim dinginku harus hilang karena ulah kalian, jadi bagaimana kalau kita mengakhirinya?”
            Belum sempat mataku berkedip dia sudah ada di depanku, entah apalagi yang terjadi tapi tampaknya si beruang gila menghantamku dengan tangannya, namun yang dihajarnya bukanlah aku namun Himuro-san! Himuro-san menjadikannya tameng sayang kekuatan si beruang  berkali lipat darinya, alhasil kami terpelanting hingga masuk ke bagian dalam pepohonan.
            “Himuro-san! Akashi!!” seruan Takao menyadarkanku, ugh sepertinya kepalaku berdarah menghantam batang pohon. “Hi, Himuro-san! Kau tidak apa-apa?!” sahutku, badannya masih menimpaku, Himuro-san mengerang keras dan tampaknya tangan si beruang menghancurkan bagian lengan kanannya.
            “Lenganmu terluka, kau harus cepat ke me—“
            “Haa, di sini tidak ada rumah sakit tahu tuan berambut merah” benturan keras terjadi, aku terhempas jauh sementara Himuro-san tetap melindungiku. Aku melihat Murasakibara menghentikan tendangan Aozaki dan melempar kami jauh, adu kekuatan sempat terjadi tapi…,
            “Kau mengganggu”Desis Aozaki. “Kau juga!” bentak Murasakibara yang ternyata sudah berdarah-darah, tangannya memar dan kepalanya mengucur darah kental.
            “Murasakibara, berhenti! Jangan melawannya…!” teriakku.
            “Murasakibara-kun, Akashi-kun, Himuro-san!!” oh tidak! Kuroko, dia bersama Takao menyusul kea rah kami, “Hentikan bodoh jangan kemari!!” seruku, tapi terlambat Aozaki sudah menghajar Takao dan Kuroko hingga terhempas jauh dan menabrak tanah. Aku tak bisa melindungi mereka karena kepalaku pening sekali, tanganku robek sedikit tapi kalau aku meninggalkan Himuro-san maka itu lebih berbahaya.
            “Berhenti disitu gorilla sialan, kau mau kupotong dan kutempel kepalamu di perapian,hah!?” kini Mayuzumi-san dengan gagah melempar ranting yang cukup tajam,Aozaki menerima ranting tajam tersebut hingga menembus telapaknya. Kupikir itu adalah akhir tapi si gorilla—atau beruang itu—malah bertambah beringas.

            “Hei, hei, Chihiro-kun kau lupa atau tolol? Benda ini tidak akan bisa membunuhku,kau tahu?” Uh-oh! Tidak, Aozaki menyerbu kea rah Mayuzumi-san, apa yang harus kulakukan? Tidak ada benda tajam di sini. Namun yang kulihat adalah sosok Mayuzumi-san dengan tangkas beradu kekuatan dan saling bertempur dengan Aozaki, aku tak menyangka ternyata dia cukup punya kemampuan beladiri meski tubuhnya kecil.
            “Kenapa Chihiro-kun? Kau lebih letoy daripada sebelumnya?” seringai Aozaki. Perasaanku tidak enak dan benar saja Aozaki mencengkram Mayuzumi-san lalu meninju perutnya, tidak sampai disana Aozaki menghantamkan tubuh pucat Mayuzumi-san hingga berbenturan dengan tanah. Darah keluar dari mulut dan kepalanya! Aozaki meng-ko Mayuzumi-san dengan sangat mudah, “Ma, Mayuzumi-san!!”
            “Selanjutnya giliranmu, merah” dengan kecepatan gila yang ditunjukannya di awal dia sudah bersiap menghajar wajahku tanpa belas kasih, sepersedetik kemudian adegan berganti, sesuatu menembus bahu Aozaki. Sebuah mata pisau besar yang sudah diasah dan dibentuk tajam menghunus bahu gorilla itu hingga tersungkur dan mengerang hebat.
            “Si, siapa?” tanyaku, aku menengok yang kulihat di ujung sana adalah sosok samar tapi lamat-lamat aku mengenali siapa sosok dengan jersey di tubuhnya.
            “KINAKO?”  Tidak mungkin, kenapa? Apa akhirnya Kinako kembali?
            “Akacchin, cepat ke sana! Ayo lari sebelum dia bergerak!” Murasakibara membawa Mayuzumi-san di gendongannya bersama Takao yang ternyata sudah siuman meski kepalanya terluka. 
        “Ayo, Akashi-kun! Kita ke sana!” seru Kuroko membantuku memapah Himuro-san.
           Kami sampai di tanah lapang dengan pagar pembatas yang memisahkan tanah itu dengan jurang di bawahnya. Mataku membulat melihat sosok yang terkapar di rerumputan, Aomine, Kagami, dan Kise sudah babak belur dengan banyak luka sementara Kinako dengan tegar berdiri menatapku. Ada seorang lagi, seorang yang tak kukenal tapi dia sudah terluka parah. Darah mengucur dari dadanya –dia pasti habis ditebas oleh pedang—sementara aku hanya bisa melongo, Kinako tersenyum padaku.
            “Ohisashiburi, Sei-nii*(Lama tak jumpa, Sei-nii)
            Jantungku mendadak berdetak tak karuan, hatiku sakit melihat senyum yang ditunjukannya, senyum yang sangat persis seperti Kohane hanya saja tersirat sebuah kesedihan yang sangat dalam di senyumnya.
            “Kagami-kun!!” seru Kuroko. “Ku, Kuroko?” aku tersadar kembali dengan sahutan Kuroko dan Kagami hingga akhirnya sosok Kinako sudah menghilang, Hah!? Kemana dia? Kemana Kinako pergi?
            “Ki, Kinak-chan, pergi?” Tanya Himuro-san di bahuku. “Himuro-san, kau sudah sadar?” sahutku memastikan. “Un, aku tidak apa-apa. Tulangku sepertinya retak atau mungkin patah tapi aku baik-baik saja” itu tidak baik-baik saja, Himuro-san.  “Yang lebih penting kita harus pergi dari si—“. Ternyata perkiraanku salah, Aozaki sudah berdiri di belakangku, hendak menerkam kami yang terlambat menyadari keberadaanya. 

            “Mati kau” desisnya penuh kesadisan.
            “AKASHI!!”
            CRAASSH! 

            Aozaki jatuh seketika, darahnya muncrat bertebaran dari arah punggung. Kakiku lemas, aku tidak tahu apa-apa sampai sosok besar itu tumbang dan kini aku bisa melihat siapa orang yang menebas Aozaki itu. 

            “Haah, belum apa-apa kalian sudah seenaknya melakukan hal tolol”.
            Sosok wanita berambut hitam panjang sepunggung, puntung rokok terselip di bibir yang digincu merah tua, pakaian formal putih tak berlengan dengan rok span sepaha memerlihatkan kakiknya yang jenjang dengan Highheels hitam mengkilap, dia tampak mengaggumkan tapi auranya mengerikan. Mata magenta itu melirik ke arahku, dia menyarungkan katananya lalu dengan santai menghampiri kami, siapa dia? Kawan? Atau lawan? 

            “Kurasa aku belum begitu terlambat,kan?” tukasnya lembut.
            “Kau nyaris membuat jantungku melorot karena kau terlambat, ralat, kita terlambat” sahut sosok dibalik tudung dengan jubbah berwarna coklat. Eh, suara ini.

            “Maaf membuat kalian semua menunggu, AKASHI”
            “MI, MIDORIMA!” pria berambut hijau itu menyunggingkan senyum seraya membuka tudungnya, bersama dengan wanita tersebut kami hanya dibuat ternganga heran.

Apakah masih ada hal lain yang harus kami ketahui? Lalu,

Siapa wanita yang bersama Midorima ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENGALAMAN MAGANG DI CCA

Selamat datang, 'selamat menikmati postingan ini buat kalian yang sedang membacanya, ya kalian, siapa lagi? sudah lama blog ini diting...