Kamis, 10 September 2015

FESTIVAL KEMATIAN -SEKUEL- PART 2

FFN. CODE 4. 黒子のバスケ
            FESTIVAL KEMATIAN
 SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—

DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI

No Human can’ t life without darkness and painfulness. They always suffer and full of miserable, that’s a true fact. Because, you aren’t strong enough to ruin the evilness”

FESTIVAL  2 : ONIKAKUSHI (鬼隠し)
            “SPIRITED AWAY BY THE DEMON”

            “Apakah perasaan ingin membunuh itu selalu diikuti oleh penyesalan? Apakah kegelapan selalu memenangkan perasaan manusia? Hei, sebenarnya, sebesar apakah rasa dendammu itu hingga kau melepaskan kami?”
火神大河
(Kagami Taiga)
KISE RYOUTA
Kuil Yukibana. 11.00 a.m
            Aku terbangun di atas futon*(kasur lipat Jepang) yang terhampar di Tatami.
            Kepalaku berdenging antara nyeri, ngilu, dan sakit bercampur baur, aku tidak bisa menggerakan badan, sepertinya luka lamaku terbuka lagi. Punggungku sakit sekali, ah benar waktu itu aku menghantam batang pohon pantas saja pungguku seperti remuk. Aku menengok kea rah kanan berharap aku tidak sendirian, benar saja aku tidak sendirian, di sampingku terkapar sosok Mayuzumicchi dengan banyak balutan perban disana-sini. Ngomong-ngomong ini dimana,ya? Apa masih di kuil?
            Aku mencoba berdiri tapi sia-sia, badanku terlalu sakit sekadar untuk duduk saja di atas kasur. Tangan, kepala serta pipiku ditempeli perban yang masih berbau antiseptic, yaah, kurasa tak masalah aku sudah terlalu terbiasa terluka.
            “ Jangan memaksakan diri kalau belum bisa bangun, baka” suara yang amat kukenal membuatku reflex menoleh, sosok yang kutemukan nyaris membuatku berteriak kegirangan.
            “MIDORIMACCHI!” pekikku senang, tapi aku langsung merasa sakit kepala padahal hanya seperti itu saja, apa lukaku terlalu parah?
            “Aku sudah bilang jangan banyak bicara, lukamu juga luka-luka lamamu itu nyaris membuat badanmu lumpuh. Kalau saja aku tidak membawa obat bius mungkin rasa sakit yang kau rasakan sekarang bisa membunuhmu detik ini juga” penjelasan sahabatku yang berambut hijau dan berkacamata ini memang kelihatan sadis atau itu adalah bentuk perhatiannya? Entahlah, yang jelas aku senang dia sudah kembali setelah tiga bulan menghilang.
            “Aku senang kau baik-baik saja, Midorimacchi” kataku tulus.
            “Ukh, sudahlah! Yang penting kau tidak kena luka serius, kau tidur saja sana! Aku mau mengganti air dulu” wajah Midorimacchi mendadak bersemu merah, aku yakin itu bukan efek hawa dingin. Aku mengikik kecil seraya melihatnya membawa baskom dan menghilang dibalik pintu geser. Untuk sementara aku tetap di posisi ini, meski punggungku terus berteriak-teriak seperti orang kesurupan bagiku ini tidaklah sesakit yang kurasakan dibanding ketika melihat Kinakocchi pergi dan menghilang lagi, tanpa sempat aku mengatakan apapun padanya.
            “Khh, sialan, sialan.. kenapa? Kenapa aku selemah ini?!” umpatku perlahan seraya meremat selimut tebal di depanku. Aku hanya bisa menenggelamkan wajah ini di atas selimut, aku tidak mau orang lain melihat mataku yang buram karena air mata. Aku sebal, aku kesal, apa yang harus aku lakukan!?
            “Taka da artinya kau menyesali perbuatan di saat seperti ini…” kudengar Mayuzumicchi menyahut dari samping.
            “Ma, Mayuzumi..cchi? kau taka pa-apa?” tanyaku perlahan dan secepat mungkin menghapus air mata. “Ahn, tidak sebaik kelihatannya. Perutku terasa mual, si gorilla tolol itu menghajar ulu hatiku sampai nyaris meremukkan segalanya” ucap Mayuzumicchi. Mataku terbelalak, Mayuzumicchi melawan orang-orang seperti itu? Yang benar saja, aku bahkan dilempar begitu saja dengan entengnya.
            “Kau..” Mayuzumicchi membuka mulutnya lalu dia mengatakan, “Kau sebegitu sayangnya pada Kinako?” pertanyaan itu membuat tenggorokanku tercekat, benar juga, Mayuzumicchi kan saudara jauh Kinakocchi. “A, aku, aku tidak sepenuhnya seperti itu..” kilahku perlahan.
            “Dulu, Kinako bukan seperti yang kalian lihat selama ini. Dulu, anak itu ceria dia bahkan sangat peduli pada siapapun, kami bermain basket sama-sama. Seingatku, yang mengajarkan anak kembar itu adalah ayahnya dan aku suka ikut bermain bersama mereka. Namun, itu berubah.. ketika mereka menginjak usia 3 tahun” Mayuzumicchi bercerita perlahan, kadang napasnya tersendat-sendat mengingat organ tubuhnya nyaris hancur lebur karena hantaman orang berbodi seperti itu.
            “Anu, kalau tidak kuat tidak usah diteruskan, Mayuzumicchi” ujarku.
            “Tidak, kau harus tahu. Rasa sakitku ini tidak sebanding dengannya” kami terdiam cukup lama sampai Mayuzumicchi menengok dan menatapku, mata kelabunya kelihatan tenang meski terbesit sebuah kesedihan di iris matanya.
            “Kinako, terlibat kudeta hebat, keluarganya terpecah-pecah. Bisa kau bayangkan seorang balita mengalami hal semacam itu? Setiap orang pasti berharap itu hanya mimpi buruk tapi tidak bagi Kinako, Kinako sudah terlatih untuk jadi pertarung dari kecil demi adiknya yang belum sempat belajar apa-apa” Mayuzumicchi mengehela napas berat dan melanjutkan, “Aku tak ingat detailnya tapi, diingatanku dulu hanyalah kobaran api dan Kinako bersama Kohane hanya bisa terduduk di pekarangan rumah mereka. Tak ada yang menyentuh mereka, bahkan sekedar membawa mereka menjauhpun tidak. Mungkin disitulah awal dari ketidaksukaan Kinako pada orang-orang disekitarnya, perasaan tidak memercayai juga kecurigaan mendalamnya lebih besar dari siapapun”.
            Aku ternganga mendengar cerita mengerikan itu, apakah luka di mata kirinya juga akibat kebakaran di rumahnya?
            “La,lalu apa yang terjadi?” tanyaku was-was, antara ingin mendengar dan tidak kelanjutan cerita penuh misteri tersebut.
            “Aku tak tahu, yang kutahu di rumah itu hanya tersisa Kinako dan Kohane. Juga.. beberapa orang dari keluarga Yukihira yang terbunuh oleh sesama kerabat” ukh, aku ingin tahu lebih jauh tapi itu berarti aku melanggar privasi dan aku tidak mau.
            “Ano, Mayuzumicchi…, bagaimana dengan orang tua Kinakocchi?” pertanyaan terakhir ini untuk memastikan tidak ada kemungkinan terburuk yang akan kudengar.. Mayuzumicchi terdiam sebentar kemudian dia menatap langit-langit dan menjawab.
            “Saya-san, ibu Kinako dan Kohane tidak ditemukan dimanapun. Entah bagaimana nasibnya taka da yang tahu. Dia menghilang.. lalu ayah mereka, tewas terbunuh di kudeta”
            Detik jam memecah keheningan, Mayuzumicchi menatapku kembali namun matanya setengah tertutup, “Aku harap, setidaknya aku bisa membahagiakan Kinako bagaimanapun caranya. Kau pasti sama,kan? Kise” setelah mengucapkan serentetan kalimat itu Mayuzumicchi tertidur lagi, sepertinya bercerita menguras semua energinya.
            “Aku ingin membawa kembali Kinakocchi, kali ini bukan untuk kepentinganku sendiri. Tapi juga dirimu, yak an? Mayuzumicchi…” gumamku. Tiba-tiba aku merasa pusing kemudian memutuskan untuk tidur dan aku tidak menyadari kalau seekor gagak bertengger di halaman kuil, gagak yang berkoak mengerikan dan siap memburu mangsanya.
            Kira-kira satu jam aku tertidur sampai aku mendengar suara gaduh, oh hujan salju? Mataku masih sangat berat untuk dibuka sampai aku melihat ke arah langit-langit… sesuatu, ada sesuatu di atas langit-langit kayu itu.
            “Kyahahaa….kyahaha” Ukh! Apa itu? Sesuatu yang menggumpal, bukan, berkerumun.. mereka hitam dan titik-titik merah itu…, mereka tertawa! Tawa seperti anak kecil. “Kyahaha… onii-chan.. asobimashoo*(kakak, ayo main)” sesuatu menjulur dari gerombolan yang menempel di atas, sesuatu! TA, TANGAN!? Ba,bagaimana ini, tangan-tangan hitam itu terus terjulur lalu sudah berada di leherku!
            “Giliran onii-chan, giliran oni-chan…kyahahaha…. Kyahahaa…” brengsek, aku dicekik, sosok apa itu apakah itu sama seperti.., AZUMI KAMITSUKA. Jangan bilang mereka juga, tidak mungkin, ukh!! Cekikan mereka terus menjepit tenggorokanku. Tangan-tangan kecil hitam seperti anak-anak yang membelit di leher dan semakin lama semakin kuat, aku tidak berdaya karena badanku masih sakit. Lalu disela-sela ketegangan aku melihat dari gerombolan makhluk aneh tersebut ada sebuah benda, itu pisau! Pisau itu mengarah padaku, kea rah perut.
            “Giliran onii-chan
            Aku menutup mata berharap belati yang dihunuskan makhluk tersebut tidak jadi mengarah ke atas perutku. Kudengar suara benda tajam beradu, kuhirup udara dengan rakus dan membuka mata. Di atasku terbentang sebuah katana yang berkilap, aroma parfum yang lembut dan surai hitam yang terbang di atas rambutku, dia melemparkan pisau yang tadi hendak membunuhku. Siapa dia? Wanita berparas cantik itu membaur di temaram ruangan dan kelihatan misterius.
            “Untung tepat waktu” suara yang menggema, suara wanita mempesona itu.
            “Kisecchin, kau tidak apa-apa?” tiba-tiba Murasakibaracchi muncul dari belakang dan menggendongku keluar ruangan.
            “Tu, tunggu, Murasakibaracchi, Mayuzumicchi…” kulihat Kagamicchi membawa serta Mayuzumicchi di gendongannya lalu kami keluar dari kamar itu.
            “Murasaki, Kagami, tolong bawa futon lalu segera kembali ke ruangan” pinta wanita dengan pedang di tangannya. Dia tampak menawan, namun ada sesuatu yang membuatku sedikit rindu—perasaan kangen—atau apalah, dia mirip seseorang.
            Peurku mendadak mual, lukaku berdenyut hebat, kesadaranku menipis, dan jantungku seperti kehilangan tenaga untuk bekerja. “Kisecchin!?” suara Murasakibaracchi adalah yang terakhir kudengar sebelum aku jatuh pingsan.
            Semuanya menjadi gelap. 




MURASAKIBARA ATSUSHI
Kuil Yukibana—ruang tengah—12.20 p.m
            Hujan salju membuat kami terjebak, di ruangan inilah satu-satunya tempat aman menurutku.
            Akacchin mendekatkan diri di sebelah Mayuzumicchin yang masih dalam kondisi tidak sadarkan diri, dia Nampak khawatir sedari tadi meski Akacchin menderita luka di kepala juga tangannya, untung Pak Zen bisa memberi perawatan medis  kalau tidak kami tidak tahu bagaimana nasib kami seterusnya(apalagi di desa ini sama sekali tidak ada rumah sakit atau balai pengobatan). Murocchin membantuku dengan menggelar futon dan aku membaringkan Kisecchin di atasnya. “Begini saja sudah cukup?” tanyaku pada Murocchin.
            “Ya, aku tahu kau pasti sangat khawatir dengan keadaan Kise-kun,kan Atsushi?” partnerku tersenyum lembut, Murocchin memang bisa diandalkan di saat aku membutuhkannya. “Bagaimana keadaan dua orang ini?” Tanya wanita anggun yang sedari tadi sibuk menempelkan sesuatu di dinding –seperti kertas yang bertuliskan kanji—dan aku tak bisa membacanya. “Tidak ada yang perlu di khawatirkan, mereka menderita luka yang cukup parah tapi kalau banyak istirahat kondisinya akan segera pulih” Pak Zen menyahut sembari memersiapkan makan siang, udara di luar sangat ekstrim nyaris membuat lututku tidak bisa bergerak.
            “Desa ini sudah terisolasi oleh badai salju, kita tidak bisa kemana-mana” kata Midocchin seraya menaikkan kacamatanya.
            “Hujan mungkin akan menyusul setelah ini, kalian tidak bisa pulang kemungkinan untuk beberapa hari bagaimana?” sahut Pak Zen.
            “Ano, bagaimana dengan tamu-tamu, oh ya, para senpai?” Tanya Kurocchin.
            “Tenang saja, saat kalian pergi aku sudah bilang kalau mereka boleh kembali duluan. Sebenarnya aku mengatakan kalau kalian mengadakan camp dadakan untuk beberapa hari” senyum Pak Zen. Hah!? Camp dadakan dan hanya kami yang melakukan? Bagaimana mungkin mereka bakal percaya dengan semua kata-kata konyol itu.
            “Beruntung sekali mereka percaya karena aku memakai alasan atas nama Akashi-sama” kakek tua ini lebih licik dan agak sedikit mengerikan dibanding yang kupikirkan.
            “Anda sama sekali tidak berubah, Kakek Zen” wanita itu menuang sebuah arak dan duduk dengan santai, dia tidak terlihat feminim meski pakaiannya anggun dan cantik, sebaliknya, menurutku wanita ini agak berbahaya.
            “Suatu pujian setelah sekian lama tidak bertemu” Pembicaraan dewasa ini bukan hal yang kusukai. “Atsushi, ayo ke meja. Bisa dingin kalau kau tidak berada di dekatku”. Aku nyaris tersedak mendengar perkataan Murocchin yang terdengar geli di telingaku. “Maaf, Murocchin. Bisa kau lakukan dengan biasa saja?”. Perkataannya itu membuatku kelihatan seperti kekasih Murocchin. Aakh! Jangan pikirkan yang macam-macam! Apa ini karena hawa dingin makanya aku agak sensi?(dari dulu sepertinya aku memang tipe yang agak sensi).
            Aku duduk di meja penuh dengan makanan, minuman, dan sake. Suasana di sekitar kami sangat canggung tapi wanita itu kelihatan tidak begitu, sikapnya biasa-biasa saja meski dikelilingi oleh orang asing.
            “Aku beruntung dikelilingi orang-orang keren di sini, sayangnya aku tidak bisa kencan dengan kalian” sengirnya. Aku melihat Minecchin tersedak minumannya sementara Midocchin kelihatan bête.
            “Hei, sudah berapa kali kubilang jangan bicara seperti cabe-cabean dong! Ingat mumurmu” sindir Midocchin, astaga Midocchin terlalu sopan sampai bisa mengatai wanita asing ini cabe-cabean.
            “Memangnya kenapa? Sudah hampir sepuluh tahun dan terakhir kali pertemuan kita aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berkenalan. Menyebalkan sekali, kau juga sudah semakin pandai bicara” wanita itu meneguk segelas sake dan kesinisan Midocchin tadi langsung ditampik oleh tatapan setajam sinar laser dari matanya.
            “Ma, maaf. Bi, bisa kita kembali pada pembicaraan?” Tanya Kagamicchin.
            “A, ano. Sebelumnya anda bilang pernah bertemu kami, memangnya kapan dan dimana? Maaf sebelumnya, kami sama sekali tidak mengenal siapa anda” Kurocchin menyela sopan, semua mata tertuju pada wanita itu. Dia menghela napas dan tersenyum kecut sebelum dia berkata-kata, aku merasakan wajah wanita ini mirip seseorang, benar, mirip sekali.
            “Kurasa akan rumit berbicara dari awal. Kalian tidak akan mengerti karena memang sengaja tidak dilibatkan. Mungkin dari tadi kalian merasa wajahku mirip seseorang,benar? Tebakanku benar, ah, yah, aku rasa kalian juga lebih mengenal putri-putri kecilku dibandingkan aku” dia terdiam, jantungku berdebar tidak karuan seperti ada yang hendak meledak beberapa saat lagi.
            “Perkenalkan, namaku SAYA KIRISHIKI, atau harus kusebut, SAYA YUKIHIRA. Aku Ibu Kohane dan Kinako”
            Hening.Ikan tuna  di tangan Kagamicchin jatuh ke piring, Kurocchin menjatuhkan nasinya, lalu Shoyu*(kecap asin) milik Takacchin tumpah karena kepenuhan, sementara aku dan Murocchin tidak jadi minum. Semua ternganga sangat lama(minus Midocchin), Akacchin  saja sampai menjatuhkan perban di tangannya,lalu kulihat Minecchin juga menumpahkan minumannya yang dituang ke gelas.
            “EEEEEHHHHH…..!!?”  itulah ekspresi kami mendengar penuturan si wanita—maksudku Saya-san—beberapa menit kemudian. Pak Zen terkekeh sementara orang yang mengumumkan bahwa dia adalah IBU KINACCHIN DAN HANECCHIN hanya tertawa-tawa geli melihat wajah bodoh kami. Uhh! Aku merasa dipermainkan, mungkin dia berbohong—buktinya dia hanya tersenyum tanpa memerlihatkan segurat ekspresi serius di wajahnya—dan itu membuatku kesal. “Anda berbohong,ya?” sindirku, semua orang mengarahkan tatapannya padaku sementara Saya-san hanya tersenyum sinis—bukan—maksudku senyum yang mengerikan.
            “Untuk apa aku membodohi bocah bau kencur sepertimu?” aduh, suaranya dingin menusuk-nusuk gendang telingaku. Dia menengok kea rah Kisecchin dan Mayucchin yang terkapar di sudut ruangan lalu disela-sela kepenatan itu Pak Zen berkata;
            “Tolong control emosimu, Saya. Kau ke sini juga karena suatu alasan, bukankah kau sudah mendengar bagaimana kejadian itu kan? Tidakkah kau mengerti perasaan anak-anak ini?” aku tak mengerti arah pembicaraan menuju, Midocchin kelihatan cemas akan sesuatu karena sedari tadi dia hanya memandangi Saya-san. Saya-san lalu beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil sekotak P3K di samping Akacchin, dia memberi kode agar aku dan Murocchin menghampirinya. Eh? Apa kami akan dijadikan mumi lalu dikubur hidup-hidup?
            “Setidaknya, tanganmu tidak mengalami cidera serius tapi tolong jangan banyak bergerak. Keretakan ini akan jadi parah kalau kau terlalu memaksakan diri” aku terbengong-bengong melihat Saya-san membalut tangan Murocchin dengan cekatan, tanpa basa-basi dia juga menempelkan plester besar di kepalaku dan meneteskan beberapa alcohol juga obat merah.
            “Anda hebat sekali, Kirishiki-san” puji Murocchin.
            “Cukup panggil aku Saya, nama Kirishiki adalah nama keluarga intiku, sementara aku sudah membuang nama Yukihira berpuluh tahun lalu” ucapnya, perban selesai dibalut kemudian Saya-san duduk kembali di posisinya semula.
            “Jadi, bisa aku bertanya sekarang?” Minecchin angkat suara.
            “Apa?”. “Kenapa kau tahu tentang kondisi kami? Lalu kenapa kau bisa bersama dengan si kacamata itu?” tuding Minecchin tajam. Sepertinya kali ini Saya-san tidak akan menampik perkataan siapapun, butuh beberapa waktu sampai pertanyaan Minecchin terjawab. “Hoi! Aku bukan bicara pada orang bisu,kan!?” seru Minecchin.
            “Aomine, hentikan!” selak Midocchin galak. Wow, aku baru pertama kalinya melihat Midocchin seganas ini. “Haha, untuk kali pertama aku dibentak-bentak oleh bocah SMA” desis Saya-san. Raut wajahnya menjadi pasrah dan tidak berdaya, aku bisa melihat banyak sekali beban yang dipikulnya juga bagaimana dia menerima kenyataan kalau satu dari anak kesayangannya tewas seperti itu. Terlepas dari penampilannya yang seperti yakuza, Saya-san tetap seorang ibu dan dia adalah yang berhak mengetahui ini—meski dia tampak tak keberatan kalau kami mencampuri masalah internal keluarganya—aku turut bangga pada Saya-san. Sosok ibuku tak mungkin bisa menyainginya, ibuku biasanya hanya sibuk belanja, bersih-bersih, memarahiku yang suka makan cemilan terlalu banyak, lalu menyuruhku belajar. Beda dengan Saya-san, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ibuku sehari-hari membawa senjata tajam lalu memiliki banyak musuh, mungkin kehidupanku bakal jauh dari kata normal.
            Lagian aku juga tidak mau ibuku membawa katana, bisa-bisa kalau aku membangkang perintahnya aku bisa berakhir jadi steik di panggangan. Kurasa ‘simpati’ tidak cukup untuk mengobati perasaan wanita ini.
            “Maaf, aku turut sedih. Etto, maksudku.. aku juga, kalau aku membayangkan bagaimana kalau ibuku tiba-tiba menghilang, ternyata dia berjuang keras demi aku, aku tidak bisa mengatakan kalau itu adalah sebuah pelarian…, anda hebat, Hanecchin dan Kinacchin pasti bangga padamu”
            Tidak hanya Saya-san, semua orang ternganga mendengar ucapanku. Tapi aku bukan sesumbar,kok! Itu adalah perasaanku yang sebenarnya, betapa sedihnya mendengar kalau ibumu ternyata masih hidup tapi kau tidak bisa melihatnya. Mungkin Hanecchin akan sangat bahagia—andai saja dia masih hidup.
            “Atsushi, aku juga turut bangga padamu” Murocchin menepuk bahuku sambil menahan tawa. Mukaku merah seketika, hei! Apa aku mengatakan hal yang aneh!? Tidak kan?
            “Kohane-chan, pasti akan sangat bahagia melihat anda masih hidup. Ternyata selama ini Shin-chan menghilang bukan karena alasan lain,ya? Kau membawa malaikat penolong kemari. Kau hebat, Shin-chan!” kali ini pujian Takacchin membuat Midocchin berubah seketika menjadi tomat, dia tidak menyahut hanya saja wajahnya terlalu merah padam karena pujian paling tulus sepanjang hidupnya(mungkin).
            “Astaga, aku kalah” tukas Saya-san. “Entah kenapa kalian mengingatkanku pada Shuu, terutama wajah si kepala kuning yang sedang tidur manis di sana” Kisecchin? Ada apa dengan Kisecchin? “Shuu? Siapa yang anda maksudkan, Saya-san?” Tanya Kurocchin.
            “Ayah Kinako dan Kohane, orang yang selalu kucintai. Shuuma Yukihira”. Kami menahan napas mendengar pengakuan itu, ayah Kinacchin dan Hanecchin berarti suami Saya-san? Begitu,ya? Jadi Kisecchin dan Shuuma-san itu mirip, aku jadi penasaran. “Memangnya darimana kemiripan mereka?” tukas Akacchin. Saya-san merogoh sakunya, di sana dia membawa sebuah benda, mirip tempat foto mini yang diberi gantungan kunci. Di sana aku melihat dengan jelas, sosok Saya-san dan.., astaga orang yang tersenyum di sampingnya sangat mirip dengan Kisecchin hanya saja warna rambutnya berbeda, kalau Kisecchin berambut kuning maka orang yang ada di dalam foto itu berambut hitam kecoklatan yang kelihatannya dihighlight pada tiap ujung rambut.
            “Mirip,kan?” Saya-san memasang cengiran yang penuh arti. “Aku bertemu dengannya di lapangan basket, dia itu punya kemampuan hanya saja dia terlalu polos dan bodoh sampai-sampai membuang statusnya dan malah menjadi atlet basket. Aku yakin pelatih-pelatih kalian tahu soal Shuu, mereka seangkatan dan pernah menjuarai liga nasional.”. Eh? Pemain basket? Aku tidak pernah dengar berarti kantoku kami tahu soal orang ini.
            “Berarti ayah kantoku juga para kantoku lain yang membimbing kami tahu soal anda dan Shuuma-san?” Tanya Kagamicchin.
            “Sayangnya kalian tidak akan mendapat jawaban dari mereka, tentu mereka tahu tentang kematian Shuu dan menutupinya sebisa mungkin dari kalian. Mereka juga tidak akan pernah membicarakan soal aku meski mereka mengenalku dengan baik. Hidup tidak selalu indah dipandang dan dirasakan,kan?” Saya-san kembali meneguk sakenya. Aku mulai berpikir, kenapa Saya-san tidak pernah ingin sosoknya dikenang baik di keluarga atau di kalangan kerabat juga teman-temannya. “Jadi, anda juga mengenal Mayuzumi-san?” bisik Minecchin perlahan.
            “Aku sangat mengenalnya. Aku menyayangi Chihiro, tapi aku tidak tahu apakah Chihiro bisa memaafkan tindakanku. Aku mengambil langkah yang salah ketika kudeta berlangsung, kurasa meninggalnya Shuu memberi luka dalam bagi keluarganya. Aku berusaha melindungi mereka, hanya saja si keras kepala itu tidak mau mendengarku. Aaah~ kepalaku sakit mengingatnya” Saya-san memejamkan mata dan tangannya menutupi wajah hingga aku tak menyadari kalau Saya-san meloloskan satu air mata di balik poni rambut dan tangan yang menutupi itu.
            “Kurasa Shuuma-san, Kinako-chan, dan Kohane-chan sangat bangga memiliki ibu seperti anda” tutur Kurocchin. Semua menatap Kurocchin, lalu temanku itu melanjutkan perkataannya. “Mungkin Shuuma-san tidak ingin akhir seperti itu. Akashi-kun juga,kan pasti merasakan bagaimana hebatnya ibumu meski almarhum sudah tidak ada, aku juga merasa, kematian Shuuma-san juga Kohane-chan tidak akan sia-sia karena keberadaan anda. Kinako-chan juga pasti akan sangat bahagia bila anda dan Mayuzumi-san kembali berkumpul dan membangun kembali keluarga yang indah, yang diinginkan oleh Shuuma-san juga Kohane-chan. Saya-san orang yang hebat, anda berjuang keras karena kurasa Kinako-chan juga sangat mirip dengan Saya-san”. Baik aku dan semua orang di meja ini terdiam mendengar perkataan Kurocchin, Saya-san tersenyum dan dia mengelus pipi Kurocchin perlahan.
            “Aku bahagia, putri-putriku memiliki teman-teman yang sangat baik. Kalian menjaga mereka, berperan sebagai keluarga, terima kasih telah menggantikan peranku. Kalian juga kau, Tetsuya-kun”. Ah, aku bisa melihat semburat merah di pipi Kurocchin, wah apakah ini tandanya Kurocchin berhasil ditaklukan oleh tante-tante? Tapi kurasa tidak akan sopan memanggilnya seperti itu(karena aku masih sayang nyawaku).
            Acara selanjutnya adalah kami makan-makan dan melahap habis sushi di depan kami—sementara Kagamicchin dan Minecchin berebut paha ayam—aku makan camilan buatan Pak Zen dan menegguk dua gelas jus jeruk, Saya-san tampak menikmati makanannya bersama Akacchin. Kulirik kea rah seberang meja, Midocchin dan Takacchin terlihat akrab dari sebelumnya. Nampaknya mereka sedang melepas kangen, Kurocchin dan Murocchin bersenda gurau tanpa menghiraukanku yang ada di tengah-tengah mereka.
            “Nee, Saya-san” sahut Murocchin. “Ya, ada apa Tatsuya-kun?”
            “Ada yang ingin kutanyakan sedari tadi. Mengenai desa ini, ah, mungkin Pak Zen jauh lebih paham tapi aku hanya meminta jawaban atas keingintahuan saya” semua menunggu kata-kata Murocchin dan pertanyaannya adalah ;
            “Kenapa di desa ini tidak ada anak-anak?” Eh?. “Sebelumnya aku mendengar Akashi-kun mengatakan hal tersebut, di sini tidak ada anak-anak, hanya orang tua yang sudah renta atau jompo. Kemana mereka? Ada alasan khusus mengenai itu atau…” Murocchin menggantungkan perkataannya, kulihat raut wajah Pak Zen berubah pasrah dan kuyu, mata Saya-san menajam, keheningan membelenggu seketika.
            “Soal itu…” suara Pak Zen yang parau memecah keheningan. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu, jantungku nyaris melorot mendengar ketukan yang lumayan nyaring itu. Kami terdiam sejenak, ketukan kembali terdengar.
            “Biar kubukakan” sahut Murocchin. “Eh! Tatsuya, jangan!” selak Kagamicchin.
            “Kau berlebihan Taiga, mungkin ada yang bertamu” ujar Murocchin.
            “Tapi tidak ada orang lain selain kita di kuil ini” tandas Midocchin.
            Kami semua menegang, Murocchin perlahan menjulurkan tangannya untuk membuka pintu geser, terdengar lagi ketukan yang berkali-kali. Ukh, aku merinding seketika! Kenapa hawa di sini sangat mencekam? Ketukan terus menerus terdengar, Murocchin menangkap handel pintu kemudian, perlahan dia menggesernya.
            Sebuah tangan menjulur dari balik pintu! Tangan itu hitam dengan kuku-kuku yang panjang! Dia menangkap Murocchin!!



HIMURO TATSUYA
Kuil Yukibana—ruang tengah—14.00 p.m
            Aku nyaris memukuli orang yang memegang tanganku dengan erat itu.
            Bahkan aku bisa mendengar suara teriakan tertahan dari teman-temanku, dengan segenap keberanian kuperhatikan lagi sosok yang menjulurkan tangannya dari sela-sela pintu. Shit, dia memakai cadar dan caping! Hanya bola matanya saja yang terlihat, bola mata itu menusuk tajam ke arahku, baik, apakah ini adalah akhir hidupku? Kali ini apakah malaikat maut datang langsung ke tempat ini dan membawaku ikut serta bersamanya.
            “Himeka?” Pak Zen berdiri dengan susah payah lalu menghampiriku yang sedari tadi ingin lari sekencang-kencangnya tapi kakiku terlalu lemas akibat sambutan tak terduga dari sosok pemilik tangan hitam legam berkuku tajam itu.
            “Kakek Zen? Ma, maafkan aku! Aku kemari untuk mengantarkan sayuran.., a,anu, habis di depan kuil gelap sekali dan tidak ada orang sama sekali jadinya aku sedikit ketakutan…” gadis berumur duapuluhan yang dikuncir kuda menunduk dalam-dalam, untung aku belum sempat menjotosnya—huff untunglah Tatsuya kau batal mati.
            “Makanya kau mengetuk-ngetuk pintu sampai seperti itu dan kau hampir membuat pemuda ini kehilangan kesadaran akibat perbuatanmu. Oh, kau habis dari ladang,ya? Himeka, kau harusnya menaruh perlatan berladangmu sebelum kemari itu kan berbahaya” ucap Pak Zen, gadis berambut ungu gelap itu hanya tersenyum kecut lalu meminta maaf beberapa kali lalu ikut bergabung bersama kami.
            “Kau tahu, jantungku seperti lari turun ke perut” sahut Aomine-kun.
            “Ha…haha, untungnya aku tidak minta dipeluk Shin-chan” kelakar Takao-kun meski wajahnya terlihat ketakutan dan terus meper-meper ke Midorima-kun yang risih.
            “Menjauh dariku, kau mempersempit tempatku duduk! Lagian siapa juga yang sudi mau memelukmu? Aku masih normal” cibir Midorima-kun diiringi gelak tawa Taiga dan anak-anak lainnya. Sekarang kondisi masih tegang, kami tahu adegan tadi adalah salah satu adegan paling horror di hari ini namun aku bersyukur setidaknya tangan yang memegangku tadi adalah tangan manusia.
            “Maaf,ya. Aku tahu kau pasti sangat takut, tenang saja aku manusia kok, kakiku masih menapak di tanah” candaannya terdengar mengerikan di telingaku.
            “Tidak apa, ano, Himeka-san? Tadi anda bilang anda habis berlandang, tapi kan badai salju sedang turun?” ucapku.
            “Un, kami punya rumah kaca dan tempat budidaya tanaman, baik itu sayuran dan bunga. Sayangnya kami belum bisa pulang karena badai salju, aku ke sini juga susah payah menerobos angin kencang. Oh, perkenalkan namaku Uzumaki Himeka, aku warga di Desa Miwarigumi dan aku bekerja sebagai pembudidaya tanaman juga ahli botani di sini” dia memerkenalkan diri dan aku menyabut uluran tangannya. Oh,ya sebelumnya dia memakai alat seperti sarung tangan yang mengerikan,apa itu ya?
            “Tadi kau sempat memakai sesuatu di tanganmu, apa itu semacam alat?” tanyaku.
            “Ya, ini alat untuk memetik tunas-tunas sayur. Makanya di ujung sarung tangan ini agak runcing dan kelihatan seperti monster, ini hanya untuk menanam bijih dan kecambah juga tunas, kalau kami tidak memakainya maka hasilnya bakal jelek dan bisa gagal tumbuh, tanaman yang tunasnya rapuh harus diperlakukan agak istimewa” jelas Himeka-san memerlihatkan sarung tangan dengan ujung meruncing dan ternyata itu terbuat dari kulit hewan.
            “Apa hanya Uzumaki-san yang bekerja di ladang? Dari umurmu, kurasa kau kelihatan hanya terpaut lima atau mungkin tujuh tahun di atas kami” Tanya Akashi-kun.
            “Aku baru tinggal di desa ini semenjak tiga tahun lalu, Kakek Zen selaku perwakilanku bekerja di sini memberiku juga tim budidaya tanaman sebuah tempat tinggal, pekerjaan yang melelahkan apalagi desa ini agak sulit untuk menuju ke kota” Himeka-san menggaruk kepalanya yang tidak gatal—mungkin antara tidak enak atau bagaimana dengan Pak Zen. “Desa ini memang agak sulit mencari transportasi, begitulah keadaannya” tutur Pak Zen.
            “Ah, anu maaf menyela. Himeka-san, anda baru tinggal di sini sebentar tapi..boleh aku bertanya pada anda perihal desa ini?” selakku. Himeka-san hanya menatapku tidak berkedip lalu aku melanjutkan,
            “Apa anda tahu kenapa di sini tidak ada anak-anak?” dari respon Himeka-san yang bingung tampaknya aku salah bertanya padanya. “Aku tak tahu, seharusnya kau menanyakannya pada Kakek Zen,kan? Ma, maaf, padahal aku kemari hanya untuk mengantarkan sayuran!” sifatnya ini, mirip sekali dengan Sakurai-kun.
            “Taka pa. biar Kakek Zen dan aku yang menjawabnya” kali ini Saya-san buka suara. Kami menunggu jawaban dari Saya-san dan Pak Zen, kemudian Pak Zen menghela napas berat dan merogoh sesuatu dari balik lengan Hakama miliknya. Sebuah boneka Hinamatsuri yang sudah usang dan ada banyak bercak di sana-sini. Bercak hitam yang tidak wajar.
            “Ini, Boneka Putri Hinamatsuri, kan? Boneka perayaan untuk anak perempuan” sahut Midorima-kun.
            “Aku tidak ingin membuat siapapun ketakutan ketika tinggal di desa ini. Apalagi Himeka, aku tidak ingin nyalimu mengendur karena aku yakin kau adalah seorang yang pekerja keras. Ini, boneka yang dititipkan oleh salah seorang warga di desa beberapa waktu lalu, dia memintaku membakarnya karena sebuah alasan yang masih tidak masuk akal, yang memintaku membakar boneka Hina ini adalah seorang ibu, dia kehilangan putrinya akibat apa,ya? Mungkin bisa dibilang kecelakaan. Putrinya tewas ketika bersekolah di Tokyo, si ibu mengatakan putrinya tewas tergencet truk setelah pergi ke festival di dekat sekolahnya”. Tunggu, apa Pak Zen mengatakan.. ‘festival’?
            “Selepas kematian putrinya, si ibu hidup biasa bersama sang suami sampai…, si ibu datang ke kuil ini, sambil menangis histeris dia memintaku membakar boneka Hina kesayangan putrinya. Dia bilang, dia melihat makhluk aneh menggunduk hitam dan terus memanggil-manggil dirinya—suaranya persis seperti si anak, tak hanya itu, suaminya pun ditemukan tewas tertancap paku beton sewaktu memperbaiki rumah. Tentu saja si ibu mengatakan itu adalah ulah makhluk hitam tadi…”
            Aku tiba-tiba bergidik, cerita mengerikan itu nyaris membuatku tidak berkedip atau mengambil napas.
            “Setelah itu, satu persatu orang tua yang memiliki anak kecil di desa ini pergi ke kota. Namun tetap saja aku mendengar hal yang serupa, anak-anak yang pergi ke festival itu pasti terkena kecelakaan atau bunuh diri. Makanya di sini tidak ada anak-anak, karena tidak ada anak-anak yang berhasil kembali ke sini dalam keadaan hidup. Masih beruntung kalau orang tuanya yang kembali, tapi ada juga yang orang tuanya terkena musibah mendadak” cerita ini, mengingatkanku pada cerita Akashi-kun.
            “FESTIVAL AKAGOSAI” desis Akashi-kun.
            “Kau mengetahuinya? Hebat sekali, karena itu berarti tujuan kita sama. Festival yang hanya boleh dihadiri oleh anak-anak atau orang tua bersama anak-anaknya. Makanya aku menempelkan kertas mantra di ruangan ini…” sahut Saya-san.
            “Apa itu maksudnya, roh-roh itu ada di sini?” Tanya Himeka-san.
            “Mereka mencium darah, mereka suka darah karena mengingatkan bagaimana kejinya mereka diperlakukan ketika menjadi tumbal di acara jahanam itu” tandas Saya-san. “Mereka bukan roh baik, mereka setan. Mereka anak-anak iblis yang terjebak di dunia ini” tukas Taiga, sesaat aku melihat wajah Taiga terlihat berbeda dari biasanya, auranya berubah? Apakah ini hanya firasatku saja?
            “Aduh, mendengar semua cerita ini membuatku kebelet. Shin-chan temani aku ke toilet” rengek Takao-kun. “Apa kewajibanku sampai harus mengantarmu ke WC?” Tanya Midorima-kun.
            “Shin-chan! Kau dengar,kan? Roh-roh iblis itu mungkin masih berkeliaran di sini, kau mau aku jadi salah satu mangsa mereka!” sembur Takao-kun lagi, sementara Midorima-kun tidak merespon hingga Takao-kun kesal dan meminta izin ke belakang sendirian, gawat kalau sendirian, di saat begini kami harus saling menjaga satu sama lain.
            “Aku temani, Takao-kun!” sahutku lalu kami melenggang pergi ke belakang.
            Tak kusangka ternyata kuil yang tadi pagi terlihat artistic berubah mengerikan tanpa penerangan dan derit lantai kayu ini membuatku was-was, tapi untunglah Takao-kun tidak terlihat takut sama sekali jadi aku tenang. Selepas ke toilet yang jaraknya ampun-ampunan tersebut kami bergegas kembali ke ruang tengah. “Kyahahaha…..”. astaga, aku mendengar sesuatu.., tawa anak-anak? Seperti tawa perempuan, tapi ada banyak…! Spontan aku menghentikan langkah, menoleh ke segala arah namun, KOSONG!
            “Himuro-san? Kenapa?” Tanya Takao-kun. Aku tidak menjawab, sekali lagi aku mendengar sebuah suara “Kyahahaha… oni chan…”. DEG! Suaranya mendekat, terdengar jelas di telingaku. “Himuro-san, kau kenapa? Kau membuatku takut,nih!” sahut Takao-kun kemudian.
            “A, apa? Oh.. maaf, aku hanya seperti mendengar…sesuatu…” kata-kataku lenyap begitu melihat sebuah benda tergeletak tidak jauh dari kami.
            BULU-BULU  GAGAK DAN.. GUMPALAN RAMBUT!!
            Degup jantungku tidak karuan, Takao-kun meyusuri kemana arah pandangku sampai dia juga ikut pucat melihat gumpalan rambut dan bulu-bulu gagak itu. Darimana? Darimana rambut itu. “Ku, kurasa kita harus bergegas…” bisik Takao-kun. Ketika kami melangkah, aku melihat gumpalan rambut itu… MERAYAP….!!  Tidak! Tidak Tatsuya, bukan saatnya berkhayal yang tidak-tidak. Kurasa aku hanya berhalusinasi melihat rambut panjang itu bergerak ke samping.
            “Ayo, Himuro-san! Kalau kita tidak bergegas kita bisa dimarahi!” Takao-kun menyeretku yang masih membatu di tempat.
            “Kyahahaha… kyahahaha…. Mati..mati.. mama, papa, kakak-kakak”
            Instingku kembali membawaku pada pemandangan yang tak kalah mengerikan, Ada sesuatu menggantung terbalik di ATAS KAMI!! Mereka menggunduk, bergerombol mungkin, dengan titik-titik merah berkedip-kedip seperti mata! Sesuatu terjuntai kebawah, basah, dan bau anyir…ukh! Darah!?
            “Himuro-san! Kau lihat apa, sih sebenarnya!?” tegur Takao-kun. Wajahku semakin pucat ketika aku tidak mendapati makhluk aneh itu di atas kami lagi, dia menghilang! Kemana? Kemana mereka pergi.
            “Oni-chan… ashobi mashoo….”. Tepat setelah suara mengikik itu lenyap, aku melihat makhluk bergunduk itu di ujung lorong persis di belakang Takao-kun, ada yang berkilap di antara hitam legam tubuh-tubuh mereka. Jangan bilang…!
            “TAKAO-KUN…!!!” ZREEB!!  Detik berikutnya sebuah belati menghunus tepat di tengah-tengah perut Takao-kun, belati itu terlempar dengan kecepatan mengerikan hingga menembus badannya dengan ganas! Darah mengucur hebat tak ayal aku juga terkena cipratan darahnya. Dari sela-sela mulutnya, kulihat darah juga membanjir tak terbendung.
          “Ku, kurasa… aku berhasil.., khh, aku sudah memperkirakannya…, kau taka pa-apa? Himuro…san…” Tubuh mungil itu lunglai dan berhasil kutangkap sebelum membentur lantai, bajuku penuh dengan darah dan sialnya tangan kananku belum bisa bergerak. Aku terduduk di lantai kayu yang digenangi darah Takao-kun.


            ZRUUTT… ZRUUT…. KRIIITT….KRIIT ….
            Ada Sesuatu yang merayap di lantai
            Kumpulan tangan – tangan kecil yang tak terhitung jumlahnya bersatu dengan gumpalan daging berambut yang menghitam dengan banyak mata bergerak merayap perlahan.
          
         KE ARAHKU!! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENGALAMAN MAGANG DI CCA

Selamat datang, 'selamat menikmati postingan ini buat kalian yang sedang membacanya, ya kalian, siapa lagi? sudah lama blog ini diting...