A LITTLE CHILD
COPYRIGHT BY : 4FIREKING
PRESENTED BY : YUZU YUKIHIRA
THE BLOODY CURTAIN WAS OPENED
In all dark stories there is only one that scares people in a year.
Chad is a boy who was playing with friends who are now dead.
They look for the biggest sadist,
The most undiscovered killer,
And the most untouchable or tough to kill
Looking for someone like that is dangerous. You put your own life at risk.
When kids who are popular have rituals its to make life even sweeter,
When unpopular kids have rituals it's to torment and make bad things happen to the popular kids,
The kids performing this ritual were half popular and half unpopular.
People take rituals more as a practical joke than a serious thing.
How many people live forever because they performed rituals?
Rituals don't work that way. No one gets granted eternal life.
That wasn't the ritual the kids were doing...
The killer wanted to do that ritual with Chad.
A killer would never let anyone leave their sight alive
That's a given I'd you're alone and a witness.
They might not chase you, but they will want to get rid of you somehow.
Hiding is usually the common way for killers to have you in their hands.
If you don't see them, you think you're safe.
True killers kill when you feel your safest.
Since you feel like they aren't watching you, you start to let your guard down. Then the killer strikes.
Hands that are cold choking your neck
You feel the grip of death as the life leaves your body.
You try to scream through the killers big fingers.
Screaming is difficult when your larynx is being crushed.
Chad was lucky his killer didn't crush his larynx yet.
What's the killer's motivation for killing Chad?
He's a person who saw their ritual,
He saw kids gathering around a ritual site,
He kills kids and teenagers even when their asleep
That's just wrong killing kids in their sleep. What did Chad do at this ritual or is the killer just psychotic.
Nothing about a killer is explained when their chasing kids.
That sounds like there is something wrong with this killer.
What isn't wrong with someone growing up trying to kill people?
That's a person with serious mental issues.
Mental issues sometimes they cause by themselves.
People can just be born bad
That's why they're more susceptible to do bad things.
They show the world their true colors at a very young age.
If they're killing animals or have violent tendencies at a young age, that should tell you something.
That would make them more dynamic than murderous.
It means growing and becoming good.
He's not good trying to kill a poor boy like Chad.
There's nothing worse than trying to murder someone.
Its not a harmonious thing to do even if you write a song about it.
Writing songs about something as horrible as murder looks like a way to glorify it.
What is happening to Chad is simply horrifying.
It's awful what the boy is going through.
Awful is too sweet.
It's both stupid and horrific how he has to die by the hands of a serial killer.
Serial killers have a reason for why they kill. Even if it's because of the thrill they get.
Remember all the fictional and real life serial killers you heard about.
Yes, there turned out to have something wrong with them.
Scream all you want and get angry all you want.
Sometimes no one can hear your screams.
Forever there will be people who can't help.
With that, being said you're on your own
Friends run away from you when a killer is after you
You're friends don't want to be chased after a killer either.
Does that work against a killer?
If you have no one around, it makes you an easy target.
Tremble in terror you alone b***.
Jumat, 25 September 2015
Sabtu, 12 September 2015
THE GALLERY
Jumat, 11 September 2015
SHE WAS LIFELESS
SHE WAS LIFELESS
CopyRight by 4FireKing
The Simple Poem. romantic of Life.
Presented by Yuzu Yukihira
.
.
.
She was lifeless.
With clouds of breath leaving her lips as she cried under the pale sky.
He thought she looked beautiful, if only she wasn't staring at the glowing screen of her cellphone.
What is the beauty of it when words are wasted?
How is it worth it when opportunities are wasted?
Does it make you feel more human?
What does it make you feel?
Do you feel comfortable, under the awkward silence across the room, when you're pressing on the screen?
Does it make the atmosphere any less tense?
I guess in a way, it's the only companion throughout the night.
When you feel empty and the only thing you listen to is songs for the broken hearted.
Or during the wee hours in the morning and you're walking in the park and classical music is playing in your ears.
Is that how it is?
A cellphone changed her.
She no longer spent her mornings on the bridge, gazing into the horizon.
But he saw her once, bent over a table and playing on her phone.
He wanted to prove her that.
Whenever he saw her, he was bringing a camera. And each angle of her was different on the pictures.
He thought it was a bit weird, and she may be scared if she found out.
But she was beautiful, in her own, strange way.
He just wanted her to realize that.
Kamis, 10 September 2015
FESTIVAL KEMATIAN -SEKUEL- PART 2
FFN. CODE 4. 黒子のバスケ
FESTIVAL
KEMATIAN
—SEQUEL OF
BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI
“No Human can’ t life without darkness and painfulness.
They always suffer and full of miserable, that’s a true fact. Because, you
aren’t strong enough to ruin the evilness”
FESTIVAL
2 : ONIKAKUSHI (鬼隠し)
“SPIRITED AWAY BY THE DEMON”
“SPIRITED AWAY BY THE DEMON”
“Apakah perasaan ingin membunuh itu
selalu diikuti oleh penyesalan? Apakah kegelapan selalu memenangkan perasaan
manusia? Hei, sebenarnya, sebesar apakah rasa dendammu itu hingga kau
melepaskan kami?”
火神大河
(Kagami Taiga)
(Kagami Taiga)
KISE RYOUTA
Kuil Yukibana. 11.00 a.m
Kuil Yukibana. 11.00 a.m
Aku
terbangun di atas futon*(kasur lipat
Jepang) yang terhampar di Tatami.
Kepalaku berdenging antara nyeri, ngilu, dan sakit bercampur baur, aku tidak bisa menggerakan badan, sepertinya luka lamaku terbuka lagi. Punggungku sakit sekali, ah benar waktu itu aku menghantam batang pohon pantas saja pungguku seperti remuk. Aku menengok kea rah kanan berharap aku tidak sendirian, benar saja aku tidak sendirian, di sampingku terkapar sosok Mayuzumicchi dengan banyak balutan perban disana-sini. Ngomong-ngomong ini dimana,ya? Apa masih di kuil?
Kepalaku berdenging antara nyeri, ngilu, dan sakit bercampur baur, aku tidak bisa menggerakan badan, sepertinya luka lamaku terbuka lagi. Punggungku sakit sekali, ah benar waktu itu aku menghantam batang pohon pantas saja pungguku seperti remuk. Aku menengok kea rah kanan berharap aku tidak sendirian, benar saja aku tidak sendirian, di sampingku terkapar sosok Mayuzumicchi dengan banyak balutan perban disana-sini. Ngomong-ngomong ini dimana,ya? Apa masih di kuil?
Aku
mencoba berdiri tapi sia-sia, badanku terlalu sakit sekadar untuk duduk saja di
atas kasur. Tangan, kepala serta pipiku ditempeli perban yang masih berbau antiseptic,
yaah, kurasa tak masalah aku sudah terlalu terbiasa terluka.
“ Jangan memaksakan diri kalau belum bisa bangun, baka” suara yang amat kukenal membuatku reflex menoleh, sosok yang kutemukan nyaris membuatku berteriak kegirangan.
“MIDORIMACCHI!” pekikku senang, tapi aku langsung merasa sakit kepala padahal hanya seperti itu saja, apa lukaku terlalu parah?
“Aku sudah bilang jangan banyak bicara, lukamu juga luka-luka lamamu itu nyaris membuat badanmu lumpuh. Kalau saja aku tidak membawa obat bius mungkin rasa sakit yang kau rasakan sekarang bisa membunuhmu detik ini juga” penjelasan sahabatku yang berambut hijau dan berkacamata ini memang kelihatan sadis atau itu adalah bentuk perhatiannya? Entahlah, yang jelas aku senang dia sudah kembali setelah tiga bulan menghilang.
“Aku senang kau baik-baik saja, Midorimacchi” kataku tulus.
“Ukh, sudahlah! Yang penting kau tidak kena luka serius, kau tidur saja sana! Aku mau mengganti air dulu” wajah Midorimacchi mendadak bersemu merah, aku yakin itu bukan efek hawa dingin. Aku mengikik kecil seraya melihatnya membawa baskom dan menghilang dibalik pintu geser. Untuk sementara aku tetap di posisi ini, meski punggungku terus berteriak-teriak seperti orang kesurupan bagiku ini tidaklah sesakit yang kurasakan dibanding ketika melihat Kinakocchi pergi dan menghilang lagi, tanpa sempat aku mengatakan apapun padanya.
“Khh, sialan, sialan.. kenapa? Kenapa aku selemah ini?!” umpatku perlahan seraya meremat selimut tebal di depanku. Aku hanya bisa menenggelamkan wajah ini di atas selimut, aku tidak mau orang lain melihat mataku yang buram karena air mata. Aku sebal, aku kesal, apa yang harus aku lakukan!?
“Taka da artinya kau menyesali perbuatan di saat seperti ini…” kudengar Mayuzumicchi menyahut dari samping.
“Ma, Mayuzumi..cchi? kau taka pa-apa?” tanyaku perlahan dan secepat mungkin menghapus air mata. “Ahn, tidak sebaik kelihatannya. Perutku terasa mual, si gorilla tolol itu menghajar ulu hatiku sampai nyaris meremukkan segalanya” ucap Mayuzumicchi. Mataku terbelalak, Mayuzumicchi melawan orang-orang seperti itu? Yang benar saja, aku bahkan dilempar begitu saja dengan entengnya.
“ Jangan memaksakan diri kalau belum bisa bangun, baka” suara yang amat kukenal membuatku reflex menoleh, sosok yang kutemukan nyaris membuatku berteriak kegirangan.
“MIDORIMACCHI!” pekikku senang, tapi aku langsung merasa sakit kepala padahal hanya seperti itu saja, apa lukaku terlalu parah?
“Aku sudah bilang jangan banyak bicara, lukamu juga luka-luka lamamu itu nyaris membuat badanmu lumpuh. Kalau saja aku tidak membawa obat bius mungkin rasa sakit yang kau rasakan sekarang bisa membunuhmu detik ini juga” penjelasan sahabatku yang berambut hijau dan berkacamata ini memang kelihatan sadis atau itu adalah bentuk perhatiannya? Entahlah, yang jelas aku senang dia sudah kembali setelah tiga bulan menghilang.
“Aku senang kau baik-baik saja, Midorimacchi” kataku tulus.
“Ukh, sudahlah! Yang penting kau tidak kena luka serius, kau tidur saja sana! Aku mau mengganti air dulu” wajah Midorimacchi mendadak bersemu merah, aku yakin itu bukan efek hawa dingin. Aku mengikik kecil seraya melihatnya membawa baskom dan menghilang dibalik pintu geser. Untuk sementara aku tetap di posisi ini, meski punggungku terus berteriak-teriak seperti orang kesurupan bagiku ini tidaklah sesakit yang kurasakan dibanding ketika melihat Kinakocchi pergi dan menghilang lagi, tanpa sempat aku mengatakan apapun padanya.
“Khh, sialan, sialan.. kenapa? Kenapa aku selemah ini?!” umpatku perlahan seraya meremat selimut tebal di depanku. Aku hanya bisa menenggelamkan wajah ini di atas selimut, aku tidak mau orang lain melihat mataku yang buram karena air mata. Aku sebal, aku kesal, apa yang harus aku lakukan!?
“Taka da artinya kau menyesali perbuatan di saat seperti ini…” kudengar Mayuzumicchi menyahut dari samping.
“Ma, Mayuzumi..cchi? kau taka pa-apa?” tanyaku perlahan dan secepat mungkin menghapus air mata. “Ahn, tidak sebaik kelihatannya. Perutku terasa mual, si gorilla tolol itu menghajar ulu hatiku sampai nyaris meremukkan segalanya” ucap Mayuzumicchi. Mataku terbelalak, Mayuzumicchi melawan orang-orang seperti itu? Yang benar saja, aku bahkan dilempar begitu saja dengan entengnya.
“Kau..”
Mayuzumicchi membuka mulutnya lalu
dia mengatakan, “Kau sebegitu sayangnya pada Kinako?” pertanyaan itu membuat
tenggorokanku tercekat, benar juga, Mayuzumicchi
kan saudara jauh Kinakocchi. “A, aku,
aku tidak sepenuhnya seperti itu..” kilahku perlahan.
“Dulu, Kinako bukan seperti yang kalian lihat selama ini. Dulu, anak itu ceria dia bahkan sangat peduli pada siapapun, kami bermain basket sama-sama. Seingatku, yang mengajarkan anak kembar itu adalah ayahnya dan aku suka ikut bermain bersama mereka. Namun, itu berubah.. ketika mereka menginjak usia 3 tahun” Mayuzumicchi bercerita perlahan, kadang napasnya tersendat-sendat mengingat organ tubuhnya nyaris hancur lebur karena hantaman orang berbodi seperti itu.
“Anu, kalau tidak kuat tidak usah diteruskan, Mayuzumicchi” ujarku.
“Tidak, kau harus tahu. Rasa sakitku ini tidak sebanding dengannya” kami terdiam cukup lama sampai Mayuzumicchi menengok dan menatapku, mata kelabunya kelihatan tenang meski terbesit sebuah kesedihan di iris matanya.
“Kinako, terlibat kudeta hebat, keluarganya terpecah-pecah. Bisa kau bayangkan seorang balita mengalami hal semacam itu? Setiap orang pasti berharap itu hanya mimpi buruk tapi tidak bagi Kinako, Kinako sudah terlatih untuk jadi pertarung dari kecil demi adiknya yang belum sempat belajar apa-apa” Mayuzumicchi mengehela napas berat dan melanjutkan, “Aku tak ingat detailnya tapi, diingatanku dulu hanyalah kobaran api dan Kinako bersama Kohane hanya bisa terduduk di pekarangan rumah mereka. Tak ada yang menyentuh mereka, bahkan sekedar membawa mereka menjauhpun tidak. Mungkin disitulah awal dari ketidaksukaan Kinako pada orang-orang disekitarnya, perasaan tidak memercayai juga kecurigaan mendalamnya lebih besar dari siapapun”.
“Dulu, Kinako bukan seperti yang kalian lihat selama ini. Dulu, anak itu ceria dia bahkan sangat peduli pada siapapun, kami bermain basket sama-sama. Seingatku, yang mengajarkan anak kembar itu adalah ayahnya dan aku suka ikut bermain bersama mereka. Namun, itu berubah.. ketika mereka menginjak usia 3 tahun” Mayuzumicchi bercerita perlahan, kadang napasnya tersendat-sendat mengingat organ tubuhnya nyaris hancur lebur karena hantaman orang berbodi seperti itu.
“Anu, kalau tidak kuat tidak usah diteruskan, Mayuzumicchi” ujarku.
“Tidak, kau harus tahu. Rasa sakitku ini tidak sebanding dengannya” kami terdiam cukup lama sampai Mayuzumicchi menengok dan menatapku, mata kelabunya kelihatan tenang meski terbesit sebuah kesedihan di iris matanya.
“Kinako, terlibat kudeta hebat, keluarganya terpecah-pecah. Bisa kau bayangkan seorang balita mengalami hal semacam itu? Setiap orang pasti berharap itu hanya mimpi buruk tapi tidak bagi Kinako, Kinako sudah terlatih untuk jadi pertarung dari kecil demi adiknya yang belum sempat belajar apa-apa” Mayuzumicchi mengehela napas berat dan melanjutkan, “Aku tak ingat detailnya tapi, diingatanku dulu hanyalah kobaran api dan Kinako bersama Kohane hanya bisa terduduk di pekarangan rumah mereka. Tak ada yang menyentuh mereka, bahkan sekedar membawa mereka menjauhpun tidak. Mungkin disitulah awal dari ketidaksukaan Kinako pada orang-orang disekitarnya, perasaan tidak memercayai juga kecurigaan mendalamnya lebih besar dari siapapun”.
Aku
ternganga mendengar cerita mengerikan itu, apakah luka di mata kirinya juga
akibat kebakaran di rumahnya?
“La,lalu apa yang terjadi?” tanyaku was-was, antara ingin mendengar dan tidak kelanjutan cerita penuh misteri tersebut.
“Aku tak tahu, yang kutahu di rumah itu hanya tersisa Kinako dan Kohane. Juga.. beberapa orang dari keluarga Yukihira yang terbunuh oleh sesama kerabat” ukh, aku ingin tahu lebih jauh tapi itu berarti aku melanggar privasi dan aku tidak mau.
“Ano, Mayuzumicchi…, bagaimana dengan orang tua Kinakocchi?” pertanyaan terakhir ini untuk memastikan tidak ada kemungkinan terburuk yang akan kudengar.. Mayuzumicchi terdiam sebentar kemudian dia menatap langit-langit dan menjawab.
“Saya-san, ibu Kinako dan Kohane tidak ditemukan dimanapun. Entah bagaimana nasibnya taka da yang tahu. Dia menghilang.. lalu ayah mereka, tewas terbunuh di kudeta”
“La,lalu apa yang terjadi?” tanyaku was-was, antara ingin mendengar dan tidak kelanjutan cerita penuh misteri tersebut.
“Aku tak tahu, yang kutahu di rumah itu hanya tersisa Kinako dan Kohane. Juga.. beberapa orang dari keluarga Yukihira yang terbunuh oleh sesama kerabat” ukh, aku ingin tahu lebih jauh tapi itu berarti aku melanggar privasi dan aku tidak mau.
“Ano, Mayuzumicchi…, bagaimana dengan orang tua Kinakocchi?” pertanyaan terakhir ini untuk memastikan tidak ada kemungkinan terburuk yang akan kudengar.. Mayuzumicchi terdiam sebentar kemudian dia menatap langit-langit dan menjawab.
“Saya-san, ibu Kinako dan Kohane tidak ditemukan dimanapun. Entah bagaimana nasibnya taka da yang tahu. Dia menghilang.. lalu ayah mereka, tewas terbunuh di kudeta”
Detik
jam memecah keheningan, Mayuzumicchi
menatapku kembali namun matanya setengah tertutup, “Aku harap, setidaknya aku
bisa membahagiakan Kinako bagaimanapun caranya. Kau pasti sama,kan? Kise” setelah
mengucapkan serentetan kalimat itu Mayuzumicchi
tertidur lagi, sepertinya bercerita menguras semua energinya.
“Aku
ingin membawa kembali Kinakocchi,
kali ini bukan untuk kepentinganku sendiri. Tapi juga dirimu, yak an? Mayuzumicchi…” gumamku. Tiba-tiba aku merasa
pusing kemudian memutuskan untuk tidur dan aku tidak menyadari kalau seekor
gagak bertengger di halaman kuil, gagak yang berkoak mengerikan dan siap memburu
mangsanya.
Kira-kira satu jam aku tertidur sampai aku mendengar suara gaduh, oh hujan salju? Mataku masih sangat berat untuk dibuka sampai aku melihat ke arah langit-langit… sesuatu, ada sesuatu di atas langit-langit kayu itu.
“Kyahahaa….kyahaha” Ukh! Apa itu? Sesuatu yang menggumpal, bukan, berkerumun.. mereka hitam dan titik-titik merah itu…, mereka tertawa! Tawa seperti anak kecil. “Kyahaha… onii-chan.. asobimashoo*(kakak, ayo main)” sesuatu menjulur dari gerombolan yang menempel di atas, sesuatu! TA, TANGAN!? Ba,bagaimana ini, tangan-tangan hitam itu terus terjulur lalu sudah berada di leherku!
“Giliran onii-chan, giliran oni-chan…kyahahaha…. Kyahahaa…” brengsek, aku dicekik, sosok apa itu apakah itu sama seperti.., AZUMI KAMITSUKA. Jangan bilang mereka juga, tidak mungkin, ukh!! Cekikan mereka terus menjepit tenggorokanku. Tangan-tangan kecil hitam seperti anak-anak yang membelit di leher dan semakin lama semakin kuat, aku tidak berdaya karena badanku masih sakit. Lalu disela-sela ketegangan aku melihat dari gerombolan makhluk aneh tersebut ada sebuah benda, itu pisau! Pisau itu mengarah padaku, kea rah perut.
“Giliran onii-chan”
Aku menutup mata berharap belati yang dihunuskan makhluk tersebut tidak jadi mengarah ke atas perutku. Kudengar suara benda tajam beradu, kuhirup udara dengan rakus dan membuka mata. Di atasku terbentang sebuah katana yang berkilap, aroma parfum yang lembut dan surai hitam yang terbang di atas rambutku, dia melemparkan pisau yang tadi hendak membunuhku. Siapa dia? Wanita berparas cantik itu membaur di temaram ruangan dan kelihatan misterius.
“Untung tepat waktu” suara yang menggema, suara wanita mempesona itu.
“Kisecchin, kau tidak apa-apa?” tiba-tiba Murasakibaracchi muncul dari belakang dan menggendongku keluar ruangan.
“Tu, tunggu, Murasakibaracchi, Mayuzumicchi…” kulihat Kagamicchi membawa serta Mayuzumicchi di gendongannya lalu kami keluar dari kamar itu.
“Murasaki, Kagami, tolong bawa futon lalu segera kembali ke ruangan” pinta wanita dengan pedang di tangannya. Dia tampak menawan, namun ada sesuatu yang membuatku sedikit rindu—perasaan kangen—atau apalah, dia mirip seseorang.
Peurku mendadak mual, lukaku berdenyut hebat, kesadaranku menipis, dan jantungku seperti kehilangan tenaga untuk bekerja. “Kisecchin!?” suara Murasakibaracchi adalah yang terakhir kudengar sebelum aku jatuh pingsan.
Semuanya menjadi gelap.
Kira-kira satu jam aku tertidur sampai aku mendengar suara gaduh, oh hujan salju? Mataku masih sangat berat untuk dibuka sampai aku melihat ke arah langit-langit… sesuatu, ada sesuatu di atas langit-langit kayu itu.
“Kyahahaa….kyahaha” Ukh! Apa itu? Sesuatu yang menggumpal, bukan, berkerumun.. mereka hitam dan titik-titik merah itu…, mereka tertawa! Tawa seperti anak kecil. “Kyahaha… onii-chan.. asobimashoo*(kakak, ayo main)” sesuatu menjulur dari gerombolan yang menempel di atas, sesuatu! TA, TANGAN!? Ba,bagaimana ini, tangan-tangan hitam itu terus terjulur lalu sudah berada di leherku!
“Giliran onii-chan, giliran oni-chan…kyahahaha…. Kyahahaa…” brengsek, aku dicekik, sosok apa itu apakah itu sama seperti.., AZUMI KAMITSUKA. Jangan bilang mereka juga, tidak mungkin, ukh!! Cekikan mereka terus menjepit tenggorokanku. Tangan-tangan kecil hitam seperti anak-anak yang membelit di leher dan semakin lama semakin kuat, aku tidak berdaya karena badanku masih sakit. Lalu disela-sela ketegangan aku melihat dari gerombolan makhluk aneh tersebut ada sebuah benda, itu pisau! Pisau itu mengarah padaku, kea rah perut.
“Giliran onii-chan”
Aku menutup mata berharap belati yang dihunuskan makhluk tersebut tidak jadi mengarah ke atas perutku. Kudengar suara benda tajam beradu, kuhirup udara dengan rakus dan membuka mata. Di atasku terbentang sebuah katana yang berkilap, aroma parfum yang lembut dan surai hitam yang terbang di atas rambutku, dia melemparkan pisau yang tadi hendak membunuhku. Siapa dia? Wanita berparas cantik itu membaur di temaram ruangan dan kelihatan misterius.
“Untung tepat waktu” suara yang menggema, suara wanita mempesona itu.
“Kisecchin, kau tidak apa-apa?” tiba-tiba Murasakibaracchi muncul dari belakang dan menggendongku keluar ruangan.
“Tu, tunggu, Murasakibaracchi, Mayuzumicchi…” kulihat Kagamicchi membawa serta Mayuzumicchi di gendongannya lalu kami keluar dari kamar itu.
“Murasaki, Kagami, tolong bawa futon lalu segera kembali ke ruangan” pinta wanita dengan pedang di tangannya. Dia tampak menawan, namun ada sesuatu yang membuatku sedikit rindu—perasaan kangen—atau apalah, dia mirip seseorang.
Peurku mendadak mual, lukaku berdenyut hebat, kesadaranku menipis, dan jantungku seperti kehilangan tenaga untuk bekerja. “Kisecchin!?” suara Murasakibaracchi adalah yang terakhir kudengar sebelum aku jatuh pingsan.
Semuanya menjadi gelap.
MURASAKIBARA ATSUSHI
Kuil Yukibana—ruang tengah—12.20 p.m
Kuil Yukibana—ruang tengah—12.20 p.m
Hujan
salju membuat kami terjebak, di ruangan inilah satu-satunya tempat aman
menurutku.
Akacchin mendekatkan diri di sebelah Mayuzumicchin yang masih dalam kondisi tidak sadarkan diri, dia Nampak khawatir sedari tadi meski Akacchin menderita luka di kepala juga tangannya, untung Pak Zen bisa memberi perawatan medis kalau tidak kami tidak tahu bagaimana nasib kami seterusnya(apalagi di desa ini sama sekali tidak ada rumah sakit atau balai pengobatan). Murocchin membantuku dengan menggelar futon dan aku membaringkan Kisecchin di atasnya. “Begini saja sudah cukup?” tanyaku pada Murocchin.
“Ya, aku tahu kau pasti sangat khawatir dengan keadaan Kise-kun,kan Atsushi?” partnerku tersenyum lembut, Murocchin memang bisa diandalkan di saat aku membutuhkannya. “Bagaimana keadaan dua orang ini?” Tanya wanita anggun yang sedari tadi sibuk menempelkan sesuatu di dinding –seperti kertas yang bertuliskan kanji—dan aku tak bisa membacanya. “Tidak ada yang perlu di khawatirkan, mereka menderita luka yang cukup parah tapi kalau banyak istirahat kondisinya akan segera pulih” Pak Zen menyahut sembari memersiapkan makan siang, udara di luar sangat ekstrim nyaris membuat lututku tidak bisa bergerak.
“Desa ini sudah terisolasi oleh badai salju, kita tidak bisa kemana-mana” kata Midocchin seraya menaikkan kacamatanya.
“Hujan mungkin akan menyusul setelah ini, kalian tidak bisa pulang kemungkinan untuk beberapa hari bagaimana?” sahut Pak Zen.
“Ano, bagaimana dengan tamu-tamu, oh ya, para senpai?” Tanya Kurocchin.
“Tenang saja, saat kalian pergi aku sudah bilang kalau mereka boleh kembali duluan. Sebenarnya aku mengatakan kalau kalian mengadakan camp dadakan untuk beberapa hari” senyum Pak Zen. Hah!? Camp dadakan dan hanya kami yang melakukan? Bagaimana mungkin mereka bakal percaya dengan semua kata-kata konyol itu.
“Beruntung sekali mereka percaya karena aku memakai alasan atas nama Akashi-sama” kakek tua ini lebih licik dan agak sedikit mengerikan dibanding yang kupikirkan.
Akacchin mendekatkan diri di sebelah Mayuzumicchin yang masih dalam kondisi tidak sadarkan diri, dia Nampak khawatir sedari tadi meski Akacchin menderita luka di kepala juga tangannya, untung Pak Zen bisa memberi perawatan medis kalau tidak kami tidak tahu bagaimana nasib kami seterusnya(apalagi di desa ini sama sekali tidak ada rumah sakit atau balai pengobatan). Murocchin membantuku dengan menggelar futon dan aku membaringkan Kisecchin di atasnya. “Begini saja sudah cukup?” tanyaku pada Murocchin.
“Ya, aku tahu kau pasti sangat khawatir dengan keadaan Kise-kun,kan Atsushi?” partnerku tersenyum lembut, Murocchin memang bisa diandalkan di saat aku membutuhkannya. “Bagaimana keadaan dua orang ini?” Tanya wanita anggun yang sedari tadi sibuk menempelkan sesuatu di dinding –seperti kertas yang bertuliskan kanji—dan aku tak bisa membacanya. “Tidak ada yang perlu di khawatirkan, mereka menderita luka yang cukup parah tapi kalau banyak istirahat kondisinya akan segera pulih” Pak Zen menyahut sembari memersiapkan makan siang, udara di luar sangat ekstrim nyaris membuat lututku tidak bisa bergerak.
“Desa ini sudah terisolasi oleh badai salju, kita tidak bisa kemana-mana” kata Midocchin seraya menaikkan kacamatanya.
“Hujan mungkin akan menyusul setelah ini, kalian tidak bisa pulang kemungkinan untuk beberapa hari bagaimana?” sahut Pak Zen.
“Ano, bagaimana dengan tamu-tamu, oh ya, para senpai?” Tanya Kurocchin.
“Tenang saja, saat kalian pergi aku sudah bilang kalau mereka boleh kembali duluan. Sebenarnya aku mengatakan kalau kalian mengadakan camp dadakan untuk beberapa hari” senyum Pak Zen. Hah!? Camp dadakan dan hanya kami yang melakukan? Bagaimana mungkin mereka bakal percaya dengan semua kata-kata konyol itu.
“Beruntung sekali mereka percaya karena aku memakai alasan atas nama Akashi-sama” kakek tua ini lebih licik dan agak sedikit mengerikan dibanding yang kupikirkan.
“Anda
sama sekali tidak berubah, Kakek Zen” wanita itu menuang sebuah arak dan duduk
dengan santai, dia tidak terlihat feminim meski pakaiannya anggun dan cantik,
sebaliknya, menurutku wanita ini agak berbahaya.
“Suatu pujian setelah sekian lama tidak bertemu” Pembicaraan dewasa ini bukan hal yang kusukai. “Atsushi, ayo ke meja. Bisa dingin kalau kau tidak berada di dekatku”. Aku nyaris tersedak mendengar perkataan Murocchin yang terdengar geli di telingaku. “Maaf, Murocchin. Bisa kau lakukan dengan biasa saja?”. Perkataannya itu membuatku kelihatan seperti kekasih Murocchin. Aakh! Jangan pikirkan yang macam-macam! Apa ini karena hawa dingin makanya aku agak sensi?(dari dulu sepertinya aku memang tipe yang agak sensi).
“Suatu pujian setelah sekian lama tidak bertemu” Pembicaraan dewasa ini bukan hal yang kusukai. “Atsushi, ayo ke meja. Bisa dingin kalau kau tidak berada di dekatku”. Aku nyaris tersedak mendengar perkataan Murocchin yang terdengar geli di telingaku. “Maaf, Murocchin. Bisa kau lakukan dengan biasa saja?”. Perkataannya itu membuatku kelihatan seperti kekasih Murocchin. Aakh! Jangan pikirkan yang macam-macam! Apa ini karena hawa dingin makanya aku agak sensi?(dari dulu sepertinya aku memang tipe yang agak sensi).
Aku
duduk di meja penuh dengan makanan, minuman, dan sake. Suasana di sekitar kami
sangat canggung tapi wanita itu kelihatan tidak begitu, sikapnya biasa-biasa
saja meski dikelilingi oleh orang asing.
“Aku beruntung dikelilingi orang-orang keren di sini, sayangnya aku tidak bisa kencan dengan kalian” sengirnya. Aku melihat Minecchin tersedak minumannya sementara Midocchin kelihatan bête.
“Hei, sudah berapa kali kubilang jangan bicara seperti cabe-cabean dong! Ingat mumurmu” sindir Midocchin, astaga Midocchin terlalu sopan sampai bisa mengatai wanita asing ini cabe-cabean.
“Memangnya kenapa? Sudah hampir sepuluh tahun dan terakhir kali pertemuan kita aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berkenalan. Menyebalkan sekali, kau juga sudah semakin pandai bicara” wanita itu meneguk segelas sake dan kesinisan Midocchin tadi langsung ditampik oleh tatapan setajam sinar laser dari matanya.
“Ma, maaf. Bi, bisa kita kembali pada pembicaraan?” Tanya Kagamicchin.
“A, ano. Sebelumnya anda bilang pernah bertemu kami, memangnya kapan dan dimana? Maaf sebelumnya, kami sama sekali tidak mengenal siapa anda” Kurocchin menyela sopan, semua mata tertuju pada wanita itu. Dia menghela napas dan tersenyum kecut sebelum dia berkata-kata, aku merasakan wajah wanita ini mirip seseorang, benar, mirip sekali.
“Kurasa akan rumit berbicara dari awal. Kalian tidak akan mengerti karena memang sengaja tidak dilibatkan. Mungkin dari tadi kalian merasa wajahku mirip seseorang,benar? Tebakanku benar, ah, yah, aku rasa kalian juga lebih mengenal putri-putri kecilku dibandingkan aku” dia terdiam, jantungku berdebar tidak karuan seperti ada yang hendak meledak beberapa saat lagi.
“Perkenalkan, namaku SAYA KIRISHIKI, atau harus kusebut, SAYA YUKIHIRA. Aku Ibu Kohane dan Kinako”
“Aku beruntung dikelilingi orang-orang keren di sini, sayangnya aku tidak bisa kencan dengan kalian” sengirnya. Aku melihat Minecchin tersedak minumannya sementara Midocchin kelihatan bête.
“Hei, sudah berapa kali kubilang jangan bicara seperti cabe-cabean dong! Ingat mumurmu” sindir Midocchin, astaga Midocchin terlalu sopan sampai bisa mengatai wanita asing ini cabe-cabean.
“Memangnya kenapa? Sudah hampir sepuluh tahun dan terakhir kali pertemuan kita aku sama sekali tidak diberi kesempatan untuk berkenalan. Menyebalkan sekali, kau juga sudah semakin pandai bicara” wanita itu meneguk segelas sake dan kesinisan Midocchin tadi langsung ditampik oleh tatapan setajam sinar laser dari matanya.
“Ma, maaf. Bi, bisa kita kembali pada pembicaraan?” Tanya Kagamicchin.
“A, ano. Sebelumnya anda bilang pernah bertemu kami, memangnya kapan dan dimana? Maaf sebelumnya, kami sama sekali tidak mengenal siapa anda” Kurocchin menyela sopan, semua mata tertuju pada wanita itu. Dia menghela napas dan tersenyum kecut sebelum dia berkata-kata, aku merasakan wajah wanita ini mirip seseorang, benar, mirip sekali.
“Kurasa akan rumit berbicara dari awal. Kalian tidak akan mengerti karena memang sengaja tidak dilibatkan. Mungkin dari tadi kalian merasa wajahku mirip seseorang,benar? Tebakanku benar, ah, yah, aku rasa kalian juga lebih mengenal putri-putri kecilku dibandingkan aku” dia terdiam, jantungku berdebar tidak karuan seperti ada yang hendak meledak beberapa saat lagi.
“Perkenalkan, namaku SAYA KIRISHIKI, atau harus kusebut, SAYA YUKIHIRA. Aku Ibu Kohane dan Kinako”
Hening.Ikan
tuna di tangan Kagamicchin jatuh ke piring, Kurocchin menjatuhkan nasinya, lalu Shoyu*(kecap asin) milik Takacchin tumpah karena kepenuhan, sementara
aku dan Murocchin tidak jadi minum.
Semua ternganga sangat lama(minus Midocchin),
Akacchin saja sampai menjatuhkan perban di tangannya,lalu
kulihat Minecchin juga menumpahkan
minumannya yang dituang ke gelas.
“EEEEEHHHHH…..!!?” itulah ekspresi kami mendengar penuturan si wanita—maksudku Saya-san—beberapa menit kemudian. Pak Zen terkekeh sementara orang yang mengumumkan bahwa dia adalah IBU KINACCHIN DAN HANECCHIN hanya tertawa-tawa geli melihat wajah bodoh kami. Uhh! Aku merasa dipermainkan, mungkin dia berbohong—buktinya dia hanya tersenyum tanpa memerlihatkan segurat ekspresi serius di wajahnya—dan itu membuatku kesal. “Anda berbohong,ya?” sindirku, semua orang mengarahkan tatapannya padaku sementara Saya-san hanya tersenyum sinis—bukan—maksudku senyum yang mengerikan.
“Untuk apa aku membodohi bocah bau kencur sepertimu?” aduh, suaranya dingin menusuk-nusuk gendang telingaku. Dia menengok kea rah Kisecchin dan Mayucchin yang terkapar di sudut ruangan lalu disela-sela kepenatan itu Pak Zen berkata;
“Tolong control emosimu, Saya. Kau ke sini juga karena suatu alasan, bukankah kau sudah mendengar bagaimana kejadian itu kan? Tidakkah kau mengerti perasaan anak-anak ini?” aku tak mengerti arah pembicaraan menuju, Midocchin kelihatan cemas akan sesuatu karena sedari tadi dia hanya memandangi Saya-san. Saya-san lalu beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil sekotak P3K di samping Akacchin, dia memberi kode agar aku dan Murocchin menghampirinya. Eh? Apa kami akan dijadikan mumi lalu dikubur hidup-hidup?
“EEEEEHHHHH…..!!?” itulah ekspresi kami mendengar penuturan si wanita—maksudku Saya-san—beberapa menit kemudian. Pak Zen terkekeh sementara orang yang mengumumkan bahwa dia adalah IBU KINACCHIN DAN HANECCHIN hanya tertawa-tawa geli melihat wajah bodoh kami. Uhh! Aku merasa dipermainkan, mungkin dia berbohong—buktinya dia hanya tersenyum tanpa memerlihatkan segurat ekspresi serius di wajahnya—dan itu membuatku kesal. “Anda berbohong,ya?” sindirku, semua orang mengarahkan tatapannya padaku sementara Saya-san hanya tersenyum sinis—bukan—maksudku senyum yang mengerikan.
“Untuk apa aku membodohi bocah bau kencur sepertimu?” aduh, suaranya dingin menusuk-nusuk gendang telingaku. Dia menengok kea rah Kisecchin dan Mayucchin yang terkapar di sudut ruangan lalu disela-sela kepenatan itu Pak Zen berkata;
“Tolong control emosimu, Saya. Kau ke sini juga karena suatu alasan, bukankah kau sudah mendengar bagaimana kejadian itu kan? Tidakkah kau mengerti perasaan anak-anak ini?” aku tak mengerti arah pembicaraan menuju, Midocchin kelihatan cemas akan sesuatu karena sedari tadi dia hanya memandangi Saya-san. Saya-san lalu beranjak dari tempat duduknya lalu mengambil sekotak P3K di samping Akacchin, dia memberi kode agar aku dan Murocchin menghampirinya. Eh? Apa kami akan dijadikan mumi lalu dikubur hidup-hidup?
“Setidaknya,
tanganmu tidak mengalami cidera serius tapi tolong jangan banyak bergerak.
Keretakan ini akan jadi parah kalau kau terlalu memaksakan diri” aku
terbengong-bengong melihat Saya-san
membalut tangan Murocchin dengan
cekatan, tanpa basa-basi dia juga menempelkan plester besar di kepalaku dan
meneteskan beberapa alcohol juga obat merah.
“Anda hebat sekali, Kirishiki-san” puji Murocchin.
“Cukup panggil aku Saya, nama Kirishiki adalah nama keluarga intiku, sementara aku sudah membuang nama Yukihira berpuluh tahun lalu” ucapnya, perban selesai dibalut kemudian Saya-san duduk kembali di posisinya semula.
“Jadi, bisa aku bertanya sekarang?” Minecchin angkat suara.
“Apa?”. “Kenapa kau tahu tentang kondisi kami? Lalu kenapa kau bisa bersama dengan si kacamata itu?” tuding Minecchin tajam. Sepertinya kali ini Saya-san tidak akan menampik perkataan siapapun, butuh beberapa waktu sampai pertanyaan Minecchin terjawab. “Hoi! Aku bukan bicara pada orang bisu,kan!?” seru Minecchin.
“Aomine, hentikan!” selak Midocchin galak. Wow, aku baru pertama kalinya melihat Midocchin seganas ini. “Haha, untuk kali pertama aku dibentak-bentak oleh bocah SMA” desis Saya-san. Raut wajahnya menjadi pasrah dan tidak berdaya, aku bisa melihat banyak sekali beban yang dipikulnya juga bagaimana dia menerima kenyataan kalau satu dari anak kesayangannya tewas seperti itu. Terlepas dari penampilannya yang seperti yakuza, Saya-san tetap seorang ibu dan dia adalah yang berhak mengetahui ini—meski dia tampak tak keberatan kalau kami mencampuri masalah internal keluarganya—aku turut bangga pada Saya-san. Sosok ibuku tak mungkin bisa menyainginya, ibuku biasanya hanya sibuk belanja, bersih-bersih, memarahiku yang suka makan cemilan terlalu banyak, lalu menyuruhku belajar. Beda dengan Saya-san, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ibuku sehari-hari membawa senjata tajam lalu memiliki banyak musuh, mungkin kehidupanku bakal jauh dari kata normal.
Lagian aku juga tidak mau ibuku membawa katana, bisa-bisa kalau aku membangkang perintahnya aku bisa berakhir jadi steik di panggangan. Kurasa ‘simpati’ tidak cukup untuk mengobati perasaan wanita ini.
“Maaf, aku turut sedih. Etto, maksudku.. aku juga, kalau aku membayangkan bagaimana kalau ibuku tiba-tiba menghilang, ternyata dia berjuang keras demi aku, aku tidak bisa mengatakan kalau itu adalah sebuah pelarian…, anda hebat, Hanecchin dan Kinacchin pasti bangga padamu”
“Anda hebat sekali, Kirishiki-san” puji Murocchin.
“Cukup panggil aku Saya, nama Kirishiki adalah nama keluarga intiku, sementara aku sudah membuang nama Yukihira berpuluh tahun lalu” ucapnya, perban selesai dibalut kemudian Saya-san duduk kembali di posisinya semula.
“Jadi, bisa aku bertanya sekarang?” Minecchin angkat suara.
“Apa?”. “Kenapa kau tahu tentang kondisi kami? Lalu kenapa kau bisa bersama dengan si kacamata itu?” tuding Minecchin tajam. Sepertinya kali ini Saya-san tidak akan menampik perkataan siapapun, butuh beberapa waktu sampai pertanyaan Minecchin terjawab. “Hoi! Aku bukan bicara pada orang bisu,kan!?” seru Minecchin.
“Aomine, hentikan!” selak Midocchin galak. Wow, aku baru pertama kalinya melihat Midocchin seganas ini. “Haha, untuk kali pertama aku dibentak-bentak oleh bocah SMA” desis Saya-san. Raut wajahnya menjadi pasrah dan tidak berdaya, aku bisa melihat banyak sekali beban yang dipikulnya juga bagaimana dia menerima kenyataan kalau satu dari anak kesayangannya tewas seperti itu. Terlepas dari penampilannya yang seperti yakuza, Saya-san tetap seorang ibu dan dia adalah yang berhak mengetahui ini—meski dia tampak tak keberatan kalau kami mencampuri masalah internal keluarganya—aku turut bangga pada Saya-san. Sosok ibuku tak mungkin bisa menyainginya, ibuku biasanya hanya sibuk belanja, bersih-bersih, memarahiku yang suka makan cemilan terlalu banyak, lalu menyuruhku belajar. Beda dengan Saya-san, aku tidak bisa membayangkan bagaimana kalau ibuku sehari-hari membawa senjata tajam lalu memiliki banyak musuh, mungkin kehidupanku bakal jauh dari kata normal.
Lagian aku juga tidak mau ibuku membawa katana, bisa-bisa kalau aku membangkang perintahnya aku bisa berakhir jadi steik di panggangan. Kurasa ‘simpati’ tidak cukup untuk mengobati perasaan wanita ini.
“Maaf, aku turut sedih. Etto, maksudku.. aku juga, kalau aku membayangkan bagaimana kalau ibuku tiba-tiba menghilang, ternyata dia berjuang keras demi aku, aku tidak bisa mengatakan kalau itu adalah sebuah pelarian…, anda hebat, Hanecchin dan Kinacchin pasti bangga padamu”
Tidak
hanya Saya-san, semua orang ternganga
mendengar ucapanku. Tapi aku bukan sesumbar,kok! Itu adalah perasaanku yang
sebenarnya, betapa sedihnya mendengar kalau ibumu ternyata masih hidup tapi kau
tidak bisa melihatnya. Mungkin Hanecchin
akan sangat bahagia—andai saja dia masih hidup.
“Atsushi, aku juga turut bangga padamu” Murocchin menepuk bahuku sambil menahan tawa. Mukaku merah seketika, hei! Apa aku mengatakan hal yang aneh!? Tidak kan?
“Kohane-chan, pasti akan sangat bahagia melihat anda masih hidup. Ternyata selama ini Shin-chan menghilang bukan karena alasan lain,ya? Kau membawa malaikat penolong kemari. Kau hebat, Shin-chan!” kali ini pujian Takacchin membuat Midocchin berubah seketika menjadi tomat, dia tidak menyahut hanya saja wajahnya terlalu merah padam karena pujian paling tulus sepanjang hidupnya(mungkin).
“Atsushi, aku juga turut bangga padamu” Murocchin menepuk bahuku sambil menahan tawa. Mukaku merah seketika, hei! Apa aku mengatakan hal yang aneh!? Tidak kan?
“Kohane-chan, pasti akan sangat bahagia melihat anda masih hidup. Ternyata selama ini Shin-chan menghilang bukan karena alasan lain,ya? Kau membawa malaikat penolong kemari. Kau hebat, Shin-chan!” kali ini pujian Takacchin membuat Midocchin berubah seketika menjadi tomat, dia tidak menyahut hanya saja wajahnya terlalu merah padam karena pujian paling tulus sepanjang hidupnya(mungkin).
“Astaga,
aku kalah” tukas Saya-san. “Entah
kenapa kalian mengingatkanku pada Shuu, terutama wajah si kepala kuning yang
sedang tidur manis di sana” Kisecchin?
Ada apa dengan Kisecchin? “Shuu?
Siapa yang anda maksudkan, Saya-san?”
Tanya Kurocchin.
“Ayah Kinako dan Kohane, orang yang selalu kucintai. Shuuma Yukihira”. Kami menahan napas mendengar pengakuan itu, ayah Kinacchin dan Hanecchin berarti suami Saya-san? Begitu,ya? Jadi Kisecchin dan Shuuma-san itu mirip, aku jadi penasaran. “Memangnya darimana kemiripan mereka?” tukas Akacchin. Saya-san merogoh sakunya, di sana dia membawa sebuah benda, mirip tempat foto mini yang diberi gantungan kunci. Di sana aku melihat dengan jelas, sosok Saya-san dan.., astaga orang yang tersenyum di sampingnya sangat mirip dengan Kisecchin hanya saja warna rambutnya berbeda, kalau Kisecchin berambut kuning maka orang yang ada di dalam foto itu berambut hitam kecoklatan yang kelihatannya dihighlight pada tiap ujung rambut.
“Mirip,kan?” Saya-san memasang cengiran yang penuh arti. “Aku bertemu dengannya di lapangan basket, dia itu punya kemampuan hanya saja dia terlalu polos dan bodoh sampai-sampai membuang statusnya dan malah menjadi atlet basket. Aku yakin pelatih-pelatih kalian tahu soal Shuu, mereka seangkatan dan pernah menjuarai liga nasional.”. Eh? Pemain basket? Aku tidak pernah dengar berarti kantoku kami tahu soal orang ini.
“Berarti ayah kantoku juga para kantoku lain yang membimbing kami tahu soal anda dan Shuuma-san?” Tanya Kagamicchin.
“Sayangnya kalian tidak akan mendapat jawaban dari mereka, tentu mereka tahu tentang kematian Shuu dan menutupinya sebisa mungkin dari kalian. Mereka juga tidak akan pernah membicarakan soal aku meski mereka mengenalku dengan baik. Hidup tidak selalu indah dipandang dan dirasakan,kan?” Saya-san kembali meneguk sakenya. Aku mulai berpikir, kenapa Saya-san tidak pernah ingin sosoknya dikenang baik di keluarga atau di kalangan kerabat juga teman-temannya. “Jadi, anda juga mengenal Mayuzumi-san?” bisik Minecchin perlahan.
“Aku sangat mengenalnya. Aku menyayangi Chihiro, tapi aku tidak tahu apakah Chihiro bisa memaafkan tindakanku. Aku mengambil langkah yang salah ketika kudeta berlangsung, kurasa meninggalnya Shuu memberi luka dalam bagi keluarganya. Aku berusaha melindungi mereka, hanya saja si keras kepala itu tidak mau mendengarku. Aaah~ kepalaku sakit mengingatnya” Saya-san memejamkan mata dan tangannya menutupi wajah hingga aku tak menyadari kalau Saya-san meloloskan satu air mata di balik poni rambut dan tangan yang menutupi itu.
“Kurasa Shuuma-san, Kinako-chan, dan Kohane-chan sangat bangga memiliki ibu seperti anda” tutur Kurocchin. Semua menatap Kurocchin, lalu temanku itu melanjutkan perkataannya. “Mungkin Shuuma-san tidak ingin akhir seperti itu. Akashi-kun juga,kan pasti merasakan bagaimana hebatnya ibumu meski almarhum sudah tidak ada, aku juga merasa, kematian Shuuma-san juga Kohane-chan tidak akan sia-sia karena keberadaan anda. Kinako-chan juga pasti akan sangat bahagia bila anda dan Mayuzumi-san kembali berkumpul dan membangun kembali keluarga yang indah, yang diinginkan oleh Shuuma-san juga Kohane-chan. Saya-san orang yang hebat, anda berjuang keras karena kurasa Kinako-chan juga sangat mirip dengan Saya-san”. Baik aku dan semua orang di meja ini terdiam mendengar perkataan Kurocchin, Saya-san tersenyum dan dia mengelus pipi Kurocchin perlahan.
“Aku bahagia, putri-putriku memiliki teman-teman yang sangat baik. Kalian menjaga mereka, berperan sebagai keluarga, terima kasih telah menggantikan peranku. Kalian juga kau, Tetsuya-kun”. Ah, aku bisa melihat semburat merah di pipi Kurocchin, wah apakah ini tandanya Kurocchin berhasil ditaklukan oleh tante-tante? Tapi kurasa tidak akan sopan memanggilnya seperti itu(karena aku masih sayang nyawaku).
Acara selanjutnya adalah kami makan-makan dan melahap habis sushi di depan kami—sementara Kagamicchin dan Minecchin berebut paha ayam—aku makan camilan buatan Pak Zen dan menegguk dua gelas jus jeruk, Saya-san tampak menikmati makanannya bersama Akacchin. Kulirik kea rah seberang meja, Midocchin dan Takacchin terlihat akrab dari sebelumnya. Nampaknya mereka sedang melepas kangen, Kurocchin dan Murocchin bersenda gurau tanpa menghiraukanku yang ada di tengah-tengah mereka.
“Nee, Saya-san” sahut Murocchin. “Ya, ada apa Tatsuya-kun?”
“Ada yang ingin kutanyakan sedari tadi. Mengenai desa ini, ah, mungkin Pak Zen jauh lebih paham tapi aku hanya meminta jawaban atas keingintahuan saya” semua menunggu kata-kata Murocchin dan pertanyaannya adalah ;
“Kenapa di desa ini tidak ada anak-anak?” Eh?. “Sebelumnya aku mendengar Akashi-kun mengatakan hal tersebut, di sini tidak ada anak-anak, hanya orang tua yang sudah renta atau jompo. Kemana mereka? Ada alasan khusus mengenai itu atau…” Murocchin menggantungkan perkataannya, kulihat raut wajah Pak Zen berubah pasrah dan kuyu, mata Saya-san menajam, keheningan membelenggu seketika.
“Soal itu…” suara Pak Zen yang parau memecah keheningan. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu, jantungku nyaris melorot mendengar ketukan yang lumayan nyaring itu. Kami terdiam sejenak, ketukan kembali terdengar.
“Biar kubukakan” sahut Murocchin. “Eh! Tatsuya, jangan!” selak Kagamicchin.
“Kau berlebihan Taiga, mungkin ada yang bertamu” ujar Murocchin.
“Tapi tidak ada orang lain selain kita di kuil ini” tandas Midocchin.
“Ayah Kinako dan Kohane, orang yang selalu kucintai. Shuuma Yukihira”. Kami menahan napas mendengar pengakuan itu, ayah Kinacchin dan Hanecchin berarti suami Saya-san? Begitu,ya? Jadi Kisecchin dan Shuuma-san itu mirip, aku jadi penasaran. “Memangnya darimana kemiripan mereka?” tukas Akacchin. Saya-san merogoh sakunya, di sana dia membawa sebuah benda, mirip tempat foto mini yang diberi gantungan kunci. Di sana aku melihat dengan jelas, sosok Saya-san dan.., astaga orang yang tersenyum di sampingnya sangat mirip dengan Kisecchin hanya saja warna rambutnya berbeda, kalau Kisecchin berambut kuning maka orang yang ada di dalam foto itu berambut hitam kecoklatan yang kelihatannya dihighlight pada tiap ujung rambut.
“Mirip,kan?” Saya-san memasang cengiran yang penuh arti. “Aku bertemu dengannya di lapangan basket, dia itu punya kemampuan hanya saja dia terlalu polos dan bodoh sampai-sampai membuang statusnya dan malah menjadi atlet basket. Aku yakin pelatih-pelatih kalian tahu soal Shuu, mereka seangkatan dan pernah menjuarai liga nasional.”. Eh? Pemain basket? Aku tidak pernah dengar berarti kantoku kami tahu soal orang ini.
“Berarti ayah kantoku juga para kantoku lain yang membimbing kami tahu soal anda dan Shuuma-san?” Tanya Kagamicchin.
“Sayangnya kalian tidak akan mendapat jawaban dari mereka, tentu mereka tahu tentang kematian Shuu dan menutupinya sebisa mungkin dari kalian. Mereka juga tidak akan pernah membicarakan soal aku meski mereka mengenalku dengan baik. Hidup tidak selalu indah dipandang dan dirasakan,kan?” Saya-san kembali meneguk sakenya. Aku mulai berpikir, kenapa Saya-san tidak pernah ingin sosoknya dikenang baik di keluarga atau di kalangan kerabat juga teman-temannya. “Jadi, anda juga mengenal Mayuzumi-san?” bisik Minecchin perlahan.
“Aku sangat mengenalnya. Aku menyayangi Chihiro, tapi aku tidak tahu apakah Chihiro bisa memaafkan tindakanku. Aku mengambil langkah yang salah ketika kudeta berlangsung, kurasa meninggalnya Shuu memberi luka dalam bagi keluarganya. Aku berusaha melindungi mereka, hanya saja si keras kepala itu tidak mau mendengarku. Aaah~ kepalaku sakit mengingatnya” Saya-san memejamkan mata dan tangannya menutupi wajah hingga aku tak menyadari kalau Saya-san meloloskan satu air mata di balik poni rambut dan tangan yang menutupi itu.
“Kurasa Shuuma-san, Kinako-chan, dan Kohane-chan sangat bangga memiliki ibu seperti anda” tutur Kurocchin. Semua menatap Kurocchin, lalu temanku itu melanjutkan perkataannya. “Mungkin Shuuma-san tidak ingin akhir seperti itu. Akashi-kun juga,kan pasti merasakan bagaimana hebatnya ibumu meski almarhum sudah tidak ada, aku juga merasa, kematian Shuuma-san juga Kohane-chan tidak akan sia-sia karena keberadaan anda. Kinako-chan juga pasti akan sangat bahagia bila anda dan Mayuzumi-san kembali berkumpul dan membangun kembali keluarga yang indah, yang diinginkan oleh Shuuma-san juga Kohane-chan. Saya-san orang yang hebat, anda berjuang keras karena kurasa Kinako-chan juga sangat mirip dengan Saya-san”. Baik aku dan semua orang di meja ini terdiam mendengar perkataan Kurocchin, Saya-san tersenyum dan dia mengelus pipi Kurocchin perlahan.
“Aku bahagia, putri-putriku memiliki teman-teman yang sangat baik. Kalian menjaga mereka, berperan sebagai keluarga, terima kasih telah menggantikan peranku. Kalian juga kau, Tetsuya-kun”. Ah, aku bisa melihat semburat merah di pipi Kurocchin, wah apakah ini tandanya Kurocchin berhasil ditaklukan oleh tante-tante? Tapi kurasa tidak akan sopan memanggilnya seperti itu(karena aku masih sayang nyawaku).
Acara selanjutnya adalah kami makan-makan dan melahap habis sushi di depan kami—sementara Kagamicchin dan Minecchin berebut paha ayam—aku makan camilan buatan Pak Zen dan menegguk dua gelas jus jeruk, Saya-san tampak menikmati makanannya bersama Akacchin. Kulirik kea rah seberang meja, Midocchin dan Takacchin terlihat akrab dari sebelumnya. Nampaknya mereka sedang melepas kangen, Kurocchin dan Murocchin bersenda gurau tanpa menghiraukanku yang ada di tengah-tengah mereka.
“Nee, Saya-san” sahut Murocchin. “Ya, ada apa Tatsuya-kun?”
“Ada yang ingin kutanyakan sedari tadi. Mengenai desa ini, ah, mungkin Pak Zen jauh lebih paham tapi aku hanya meminta jawaban atas keingintahuan saya” semua menunggu kata-kata Murocchin dan pertanyaannya adalah ;
“Kenapa di desa ini tidak ada anak-anak?” Eh?. “Sebelumnya aku mendengar Akashi-kun mengatakan hal tersebut, di sini tidak ada anak-anak, hanya orang tua yang sudah renta atau jompo. Kemana mereka? Ada alasan khusus mengenai itu atau…” Murocchin menggantungkan perkataannya, kulihat raut wajah Pak Zen berubah pasrah dan kuyu, mata Saya-san menajam, keheningan membelenggu seketika.
“Soal itu…” suara Pak Zen yang parau memecah keheningan. Tiba-tiba seseorang mengetuk pintu, jantungku nyaris melorot mendengar ketukan yang lumayan nyaring itu. Kami terdiam sejenak, ketukan kembali terdengar.
“Biar kubukakan” sahut Murocchin. “Eh! Tatsuya, jangan!” selak Kagamicchin.
“Kau berlebihan Taiga, mungkin ada yang bertamu” ujar Murocchin.
“Tapi tidak ada orang lain selain kita di kuil ini” tandas Midocchin.
Kami
semua menegang, Murocchin perlahan
menjulurkan tangannya untuk membuka pintu geser, terdengar lagi ketukan yang
berkali-kali. Ukh, aku merinding seketika! Kenapa hawa di sini sangat mencekam?
Ketukan terus menerus terdengar, Murocchin
menangkap handel pintu kemudian, perlahan dia menggesernya.
Sebuah
tangan menjulur dari balik pintu! Tangan itu hitam dengan kuku-kuku yang
panjang! Dia menangkap Murocchin!!
HIMURO TATSUYA
Kuil Yukibana—ruang tengah—14.00 p.m
Kuil Yukibana—ruang tengah—14.00 p.m
Aku
nyaris memukuli orang yang memegang tanganku dengan erat itu.
Bahkan aku bisa mendengar suara teriakan tertahan dari teman-temanku, dengan segenap keberanian kuperhatikan lagi sosok yang menjulurkan tangannya dari sela-sela pintu. Shit, dia memakai cadar dan caping! Hanya bola matanya saja yang terlihat, bola mata itu menusuk tajam ke arahku, baik, apakah ini adalah akhir hidupku? Kali ini apakah malaikat maut datang langsung ke tempat ini dan membawaku ikut serta bersamanya.
“Himeka?” Pak Zen berdiri dengan susah payah lalu menghampiriku yang sedari tadi ingin lari sekencang-kencangnya tapi kakiku terlalu lemas akibat sambutan tak terduga dari sosok pemilik tangan hitam legam berkuku tajam itu.
“Kakek Zen? Ma, maafkan aku! Aku kemari untuk mengantarkan sayuran.., a,anu, habis di depan kuil gelap sekali dan tidak ada orang sama sekali jadinya aku sedikit ketakutan…” gadis berumur duapuluhan yang dikuncir kuda menunduk dalam-dalam, untung aku belum sempat menjotosnya—huff untunglah Tatsuya kau batal mati.
“Makanya kau mengetuk-ngetuk pintu sampai seperti itu dan kau hampir membuat pemuda ini kehilangan kesadaran akibat perbuatanmu. Oh, kau habis dari ladang,ya? Himeka, kau harusnya menaruh perlatan berladangmu sebelum kemari itu kan berbahaya” ucap Pak Zen, gadis berambut ungu gelap itu hanya tersenyum kecut lalu meminta maaf beberapa kali lalu ikut bergabung bersama kami.
“Kau tahu, jantungku seperti lari turun ke perut” sahut Aomine-kun.
“Ha…haha, untungnya aku tidak minta dipeluk Shin-chan” kelakar Takao-kun meski wajahnya terlihat ketakutan dan terus meper-meper ke Midorima-kun yang risih.
“Menjauh dariku, kau mempersempit tempatku duduk! Lagian siapa juga yang sudi mau memelukmu? Aku masih normal” cibir Midorima-kun diiringi gelak tawa Taiga dan anak-anak lainnya. Sekarang kondisi masih tegang, kami tahu adegan tadi adalah salah satu adegan paling horror di hari ini namun aku bersyukur setidaknya tangan yang memegangku tadi adalah tangan manusia.
“Maaf,ya. Aku tahu kau pasti sangat takut, tenang saja aku manusia kok, kakiku masih menapak di tanah” candaannya terdengar mengerikan di telingaku.
“Tidak apa, ano, Himeka-san? Tadi anda bilang anda habis berlandang, tapi kan badai salju sedang turun?” ucapku.
“Un, kami punya rumah kaca dan tempat budidaya tanaman, baik itu sayuran dan bunga. Sayangnya kami belum bisa pulang karena badai salju, aku ke sini juga susah payah menerobos angin kencang. Oh, perkenalkan namaku Uzumaki Himeka, aku warga di Desa Miwarigumi dan aku bekerja sebagai pembudidaya tanaman juga ahli botani di sini” dia memerkenalkan diri dan aku menyabut uluran tangannya. Oh,ya sebelumnya dia memakai alat seperti sarung tangan yang mengerikan,apa itu ya?
“Tadi kau sempat memakai sesuatu di tanganmu, apa itu semacam alat?” tanyaku.
“Ya, ini alat untuk memetik tunas-tunas sayur. Makanya di ujung sarung tangan ini agak runcing dan kelihatan seperti monster, ini hanya untuk menanam bijih dan kecambah juga tunas, kalau kami tidak memakainya maka hasilnya bakal jelek dan bisa gagal tumbuh, tanaman yang tunasnya rapuh harus diperlakukan agak istimewa” jelas Himeka-san memerlihatkan sarung tangan dengan ujung meruncing dan ternyata itu terbuat dari kulit hewan.
Bahkan aku bisa mendengar suara teriakan tertahan dari teman-temanku, dengan segenap keberanian kuperhatikan lagi sosok yang menjulurkan tangannya dari sela-sela pintu. Shit, dia memakai cadar dan caping! Hanya bola matanya saja yang terlihat, bola mata itu menusuk tajam ke arahku, baik, apakah ini adalah akhir hidupku? Kali ini apakah malaikat maut datang langsung ke tempat ini dan membawaku ikut serta bersamanya.
“Himeka?” Pak Zen berdiri dengan susah payah lalu menghampiriku yang sedari tadi ingin lari sekencang-kencangnya tapi kakiku terlalu lemas akibat sambutan tak terduga dari sosok pemilik tangan hitam legam berkuku tajam itu.
“Kakek Zen? Ma, maafkan aku! Aku kemari untuk mengantarkan sayuran.., a,anu, habis di depan kuil gelap sekali dan tidak ada orang sama sekali jadinya aku sedikit ketakutan…” gadis berumur duapuluhan yang dikuncir kuda menunduk dalam-dalam, untung aku belum sempat menjotosnya—huff untunglah Tatsuya kau batal mati.
“Makanya kau mengetuk-ngetuk pintu sampai seperti itu dan kau hampir membuat pemuda ini kehilangan kesadaran akibat perbuatanmu. Oh, kau habis dari ladang,ya? Himeka, kau harusnya menaruh perlatan berladangmu sebelum kemari itu kan berbahaya” ucap Pak Zen, gadis berambut ungu gelap itu hanya tersenyum kecut lalu meminta maaf beberapa kali lalu ikut bergabung bersama kami.
“Kau tahu, jantungku seperti lari turun ke perut” sahut Aomine-kun.
“Ha…haha, untungnya aku tidak minta dipeluk Shin-chan” kelakar Takao-kun meski wajahnya terlihat ketakutan dan terus meper-meper ke Midorima-kun yang risih.
“Menjauh dariku, kau mempersempit tempatku duduk! Lagian siapa juga yang sudi mau memelukmu? Aku masih normal” cibir Midorima-kun diiringi gelak tawa Taiga dan anak-anak lainnya. Sekarang kondisi masih tegang, kami tahu adegan tadi adalah salah satu adegan paling horror di hari ini namun aku bersyukur setidaknya tangan yang memegangku tadi adalah tangan manusia.
“Maaf,ya. Aku tahu kau pasti sangat takut, tenang saja aku manusia kok, kakiku masih menapak di tanah” candaannya terdengar mengerikan di telingaku.
“Tidak apa, ano, Himeka-san? Tadi anda bilang anda habis berlandang, tapi kan badai salju sedang turun?” ucapku.
“Un, kami punya rumah kaca dan tempat budidaya tanaman, baik itu sayuran dan bunga. Sayangnya kami belum bisa pulang karena badai salju, aku ke sini juga susah payah menerobos angin kencang. Oh, perkenalkan namaku Uzumaki Himeka, aku warga di Desa Miwarigumi dan aku bekerja sebagai pembudidaya tanaman juga ahli botani di sini” dia memerkenalkan diri dan aku menyabut uluran tangannya. Oh,ya sebelumnya dia memakai alat seperti sarung tangan yang mengerikan,apa itu ya?
“Tadi kau sempat memakai sesuatu di tanganmu, apa itu semacam alat?” tanyaku.
“Ya, ini alat untuk memetik tunas-tunas sayur. Makanya di ujung sarung tangan ini agak runcing dan kelihatan seperti monster, ini hanya untuk menanam bijih dan kecambah juga tunas, kalau kami tidak memakainya maka hasilnya bakal jelek dan bisa gagal tumbuh, tanaman yang tunasnya rapuh harus diperlakukan agak istimewa” jelas Himeka-san memerlihatkan sarung tangan dengan ujung meruncing dan ternyata itu terbuat dari kulit hewan.
“Apa
hanya Uzumaki-san yang bekerja di
ladang? Dari umurmu, kurasa kau kelihatan hanya terpaut lima atau mungkin tujuh
tahun di atas kami” Tanya Akashi-kun.
“Aku baru tinggal di desa ini semenjak tiga tahun lalu, Kakek Zen selaku perwakilanku bekerja di sini memberiku juga tim budidaya tanaman sebuah tempat tinggal, pekerjaan yang melelahkan apalagi desa ini agak sulit untuk menuju ke kota” Himeka-san menggaruk kepalanya yang tidak gatal—mungkin antara tidak enak atau bagaimana dengan Pak Zen. “Desa ini memang agak sulit mencari transportasi, begitulah keadaannya” tutur Pak Zen.
“Ah, anu maaf menyela. Himeka-san, anda baru tinggal di sini sebentar tapi..boleh aku bertanya pada anda perihal desa ini?” selakku. Himeka-san hanya menatapku tidak berkedip lalu aku melanjutkan,
“Apa anda tahu kenapa di sini tidak ada anak-anak?” dari respon Himeka-san yang bingung tampaknya aku salah bertanya padanya. “Aku tak tahu, seharusnya kau menanyakannya pada Kakek Zen,kan? Ma, maaf, padahal aku kemari hanya untuk mengantarkan sayuran!” sifatnya ini, mirip sekali dengan Sakurai-kun.
“Taka pa. biar Kakek Zen dan aku yang menjawabnya” kali ini Saya-san buka suara. Kami menunggu jawaban dari Saya-san dan Pak Zen, kemudian Pak Zen menghela napas berat dan merogoh sesuatu dari balik lengan Hakama miliknya. Sebuah boneka Hinamatsuri yang sudah usang dan ada banyak bercak di sana-sini. Bercak hitam yang tidak wajar.
“Ini, Boneka Putri Hinamatsuri, kan? Boneka perayaan untuk anak perempuan” sahut Midorima-kun.
“Aku baru tinggal di desa ini semenjak tiga tahun lalu, Kakek Zen selaku perwakilanku bekerja di sini memberiku juga tim budidaya tanaman sebuah tempat tinggal, pekerjaan yang melelahkan apalagi desa ini agak sulit untuk menuju ke kota” Himeka-san menggaruk kepalanya yang tidak gatal—mungkin antara tidak enak atau bagaimana dengan Pak Zen. “Desa ini memang agak sulit mencari transportasi, begitulah keadaannya” tutur Pak Zen.
“Ah, anu maaf menyela. Himeka-san, anda baru tinggal di sini sebentar tapi..boleh aku bertanya pada anda perihal desa ini?” selakku. Himeka-san hanya menatapku tidak berkedip lalu aku melanjutkan,
“Apa anda tahu kenapa di sini tidak ada anak-anak?” dari respon Himeka-san yang bingung tampaknya aku salah bertanya padanya. “Aku tak tahu, seharusnya kau menanyakannya pada Kakek Zen,kan? Ma, maaf, padahal aku kemari hanya untuk mengantarkan sayuran!” sifatnya ini, mirip sekali dengan Sakurai-kun.
“Taka pa. biar Kakek Zen dan aku yang menjawabnya” kali ini Saya-san buka suara. Kami menunggu jawaban dari Saya-san dan Pak Zen, kemudian Pak Zen menghela napas berat dan merogoh sesuatu dari balik lengan Hakama miliknya. Sebuah boneka Hinamatsuri yang sudah usang dan ada banyak bercak di sana-sini. Bercak hitam yang tidak wajar.
“Ini, Boneka Putri Hinamatsuri, kan? Boneka perayaan untuk anak perempuan” sahut Midorima-kun.
“Aku
tidak ingin membuat siapapun ketakutan ketika tinggal di desa ini. Apalagi
Himeka, aku tidak ingin nyalimu mengendur karena aku yakin kau adalah seorang
yang pekerja keras. Ini, boneka yang dititipkan oleh salah seorang warga di
desa beberapa waktu lalu, dia memintaku membakarnya karena sebuah alasan yang
masih tidak masuk akal, yang memintaku membakar boneka Hina ini adalah seorang
ibu, dia kehilangan putrinya akibat apa,ya? Mungkin bisa dibilang kecelakaan.
Putrinya tewas ketika bersekolah di Tokyo, si ibu mengatakan putrinya tewas
tergencet truk setelah pergi ke festival di dekat sekolahnya”. Tunggu, apa Pak
Zen mengatakan.. ‘festival’?
“Selepas kematian putrinya, si ibu hidup biasa bersama sang suami sampai…, si ibu datang ke kuil ini, sambil menangis histeris dia memintaku membakar boneka Hina kesayangan putrinya. Dia bilang, dia melihat makhluk aneh menggunduk hitam dan terus memanggil-manggil dirinya—suaranya persis seperti si anak, tak hanya itu, suaminya pun ditemukan tewas tertancap paku beton sewaktu memperbaiki rumah. Tentu saja si ibu mengatakan itu adalah ulah makhluk hitam tadi…”
Aku tiba-tiba bergidik, cerita mengerikan itu nyaris membuatku tidak berkedip atau mengambil napas.
“Setelah itu, satu persatu orang tua yang memiliki anak kecil di desa ini pergi ke kota. Namun tetap saja aku mendengar hal yang serupa, anak-anak yang pergi ke festival itu pasti terkena kecelakaan atau bunuh diri. Makanya di sini tidak ada anak-anak, karena tidak ada anak-anak yang berhasil kembali ke sini dalam keadaan hidup. Masih beruntung kalau orang tuanya yang kembali, tapi ada juga yang orang tuanya terkena musibah mendadak” cerita ini, mengingatkanku pada cerita Akashi-kun.
“FESTIVAL AKAGOSAI” desis Akashi-kun.
“Kau mengetahuinya? Hebat sekali, karena itu berarti tujuan kita sama. Festival yang hanya boleh dihadiri oleh anak-anak atau orang tua bersama anak-anaknya. Makanya aku menempelkan kertas mantra di ruangan ini…” sahut Saya-san.
“Apa itu maksudnya, roh-roh itu ada di sini?” Tanya Himeka-san.
“Mereka mencium darah, mereka suka darah karena mengingatkan bagaimana kejinya mereka diperlakukan ketika menjadi tumbal di acara jahanam itu” tandas Saya-san. “Mereka bukan roh baik, mereka setan. Mereka anak-anak iblis yang terjebak di dunia ini” tukas Taiga, sesaat aku melihat wajah Taiga terlihat berbeda dari biasanya, auranya berubah? Apakah ini hanya firasatku saja?
“Selepas kematian putrinya, si ibu hidup biasa bersama sang suami sampai…, si ibu datang ke kuil ini, sambil menangis histeris dia memintaku membakar boneka Hina kesayangan putrinya. Dia bilang, dia melihat makhluk aneh menggunduk hitam dan terus memanggil-manggil dirinya—suaranya persis seperti si anak, tak hanya itu, suaminya pun ditemukan tewas tertancap paku beton sewaktu memperbaiki rumah. Tentu saja si ibu mengatakan itu adalah ulah makhluk hitam tadi…”
Aku tiba-tiba bergidik, cerita mengerikan itu nyaris membuatku tidak berkedip atau mengambil napas.
“Setelah itu, satu persatu orang tua yang memiliki anak kecil di desa ini pergi ke kota. Namun tetap saja aku mendengar hal yang serupa, anak-anak yang pergi ke festival itu pasti terkena kecelakaan atau bunuh diri. Makanya di sini tidak ada anak-anak, karena tidak ada anak-anak yang berhasil kembali ke sini dalam keadaan hidup. Masih beruntung kalau orang tuanya yang kembali, tapi ada juga yang orang tuanya terkena musibah mendadak” cerita ini, mengingatkanku pada cerita Akashi-kun.
“FESTIVAL AKAGOSAI” desis Akashi-kun.
“Kau mengetahuinya? Hebat sekali, karena itu berarti tujuan kita sama. Festival yang hanya boleh dihadiri oleh anak-anak atau orang tua bersama anak-anaknya. Makanya aku menempelkan kertas mantra di ruangan ini…” sahut Saya-san.
“Apa itu maksudnya, roh-roh itu ada di sini?” Tanya Himeka-san.
“Mereka mencium darah, mereka suka darah karena mengingatkan bagaimana kejinya mereka diperlakukan ketika menjadi tumbal di acara jahanam itu” tandas Saya-san. “Mereka bukan roh baik, mereka setan. Mereka anak-anak iblis yang terjebak di dunia ini” tukas Taiga, sesaat aku melihat wajah Taiga terlihat berbeda dari biasanya, auranya berubah? Apakah ini hanya firasatku saja?
“Aduh,
mendengar semua cerita ini membuatku kebelet. Shin-chan temani aku ke toilet” rengek Takao-kun. “Apa kewajibanku sampai harus mengantarmu ke WC?” Tanya
Midorima-kun.
“Shin-chan! Kau dengar,kan? Roh-roh iblis itu mungkin masih berkeliaran di sini, kau mau aku jadi salah satu mangsa mereka!” sembur Takao-kun lagi, sementara Midorima-kun tidak merespon hingga Takao-kun kesal dan meminta izin ke belakang sendirian, gawat kalau sendirian, di saat begini kami harus saling menjaga satu sama lain.
“Aku temani, Takao-kun!” sahutku lalu kami melenggang pergi ke belakang.
Tak kusangka ternyata kuil yang tadi pagi terlihat artistic berubah mengerikan tanpa penerangan dan derit lantai kayu ini membuatku was-was, tapi untunglah Takao-kun tidak terlihat takut sama sekali jadi aku tenang. Selepas ke toilet yang jaraknya ampun-ampunan tersebut kami bergegas kembali ke ruang tengah. “Kyahahaha…..”. astaga, aku mendengar sesuatu.., tawa anak-anak? Seperti tawa perempuan, tapi ada banyak…! Spontan aku menghentikan langkah, menoleh ke segala arah namun, KOSONG!
“Himuro-san? Kenapa?” Tanya Takao-kun. Aku tidak menjawab, sekali lagi aku mendengar sebuah suara “Kyahahaha… oni chan…”. DEG! Suaranya mendekat, terdengar jelas di telingaku. “Himuro-san, kau kenapa? Kau membuatku takut,nih!” sahut Takao-kun kemudian.
“A, apa? Oh.. maaf, aku hanya seperti mendengar…sesuatu…” kata-kataku lenyap begitu melihat sebuah benda tergeletak tidak jauh dari kami.
BULU-BULU GAGAK DAN.. GUMPALAN RAMBUT!!
“Shin-chan! Kau dengar,kan? Roh-roh iblis itu mungkin masih berkeliaran di sini, kau mau aku jadi salah satu mangsa mereka!” sembur Takao-kun lagi, sementara Midorima-kun tidak merespon hingga Takao-kun kesal dan meminta izin ke belakang sendirian, gawat kalau sendirian, di saat begini kami harus saling menjaga satu sama lain.
“Aku temani, Takao-kun!” sahutku lalu kami melenggang pergi ke belakang.
Tak kusangka ternyata kuil yang tadi pagi terlihat artistic berubah mengerikan tanpa penerangan dan derit lantai kayu ini membuatku was-was, tapi untunglah Takao-kun tidak terlihat takut sama sekali jadi aku tenang. Selepas ke toilet yang jaraknya ampun-ampunan tersebut kami bergegas kembali ke ruang tengah. “Kyahahaha…..”. astaga, aku mendengar sesuatu.., tawa anak-anak? Seperti tawa perempuan, tapi ada banyak…! Spontan aku menghentikan langkah, menoleh ke segala arah namun, KOSONG!
“Himuro-san? Kenapa?” Tanya Takao-kun. Aku tidak menjawab, sekali lagi aku mendengar sebuah suara “Kyahahaha… oni chan…”. DEG! Suaranya mendekat, terdengar jelas di telingaku. “Himuro-san, kau kenapa? Kau membuatku takut,nih!” sahut Takao-kun kemudian.
“A, apa? Oh.. maaf, aku hanya seperti mendengar…sesuatu…” kata-kataku lenyap begitu melihat sebuah benda tergeletak tidak jauh dari kami.
BULU-BULU GAGAK DAN.. GUMPALAN RAMBUT!!
Degup
jantungku tidak karuan, Takao-kun
meyusuri kemana arah pandangku sampai dia juga ikut pucat melihat gumpalan
rambut dan bulu-bulu gagak itu. Darimana? Darimana rambut itu. “Ku, kurasa kita
harus bergegas…” bisik Takao-kun.
Ketika kami melangkah, aku melihat gumpalan rambut itu… MERAYAP….!! Tidak! Tidak
Tatsuya, bukan saatnya berkhayal yang tidak-tidak. Kurasa aku hanya
berhalusinasi melihat rambut panjang itu bergerak ke samping.
“Ayo, Himuro-san! Kalau kita tidak bergegas kita bisa dimarahi!” Takao-kun menyeretku yang masih membatu di tempat.
“Kyahahaha… kyahahaha…. Mati..mati.. mama, papa, kakak-kakak”
“Ayo, Himuro-san! Kalau kita tidak bergegas kita bisa dimarahi!” Takao-kun menyeretku yang masih membatu di tempat.
“Kyahahaha… kyahahaha…. Mati..mati.. mama, papa, kakak-kakak”
Instingku
kembali membawaku pada pemandangan yang tak kalah mengerikan, Ada sesuatu menggantung terbalik di ATAS
KAMI!! Mereka menggunduk, bergerombol mungkin, dengan titik-titik merah
berkedip-kedip seperti mata! Sesuatu terjuntai kebawah, basah, dan bau
anyir…ukh! Darah!?
“Himuro-san! Kau lihat apa, sih sebenarnya!?” tegur Takao-kun. Wajahku semakin pucat ketika aku tidak mendapati makhluk aneh itu di atas kami lagi, dia menghilang! Kemana? Kemana mereka pergi.
“Oni-chan… ashobi mashoo….”. Tepat setelah suara mengikik itu lenyap, aku melihat makhluk bergunduk itu di ujung lorong persis di belakang Takao-kun, ada yang berkilap di antara hitam legam tubuh-tubuh mereka. Jangan bilang…!
“TAKAO-KUN…!!!” ZREEB!! Detik berikutnya sebuah belati menghunus tepat di tengah-tengah perut Takao-kun, belati itu terlempar dengan kecepatan mengerikan hingga menembus badannya dengan ganas! Darah mengucur hebat tak ayal aku juga terkena cipratan darahnya. Dari sela-sela mulutnya, kulihat darah juga membanjir tak terbendung.
“Ku, kurasa… aku berhasil.., khh, aku sudah memperkirakannya…, kau taka pa-apa? Himuro…san…” Tubuh mungil itu lunglai dan berhasil kutangkap sebelum membentur lantai, bajuku penuh dengan darah dan sialnya tangan kananku belum bisa bergerak. Aku terduduk di lantai kayu yang digenangi darah Takao-kun.
“Himuro-san! Kau lihat apa, sih sebenarnya!?” tegur Takao-kun. Wajahku semakin pucat ketika aku tidak mendapati makhluk aneh itu di atas kami lagi, dia menghilang! Kemana? Kemana mereka pergi.
“Oni-chan… ashobi mashoo….”. Tepat setelah suara mengikik itu lenyap, aku melihat makhluk bergunduk itu di ujung lorong persis di belakang Takao-kun, ada yang berkilap di antara hitam legam tubuh-tubuh mereka. Jangan bilang…!
“TAKAO-KUN…!!!” ZREEB!! Detik berikutnya sebuah belati menghunus tepat di tengah-tengah perut Takao-kun, belati itu terlempar dengan kecepatan mengerikan hingga menembus badannya dengan ganas! Darah mengucur hebat tak ayal aku juga terkena cipratan darahnya. Dari sela-sela mulutnya, kulihat darah juga membanjir tak terbendung.
“Ku, kurasa… aku berhasil.., khh, aku sudah memperkirakannya…, kau taka pa-apa? Himuro…san…” Tubuh mungil itu lunglai dan berhasil kutangkap sebelum membentur lantai, bajuku penuh dengan darah dan sialnya tangan kananku belum bisa bergerak. Aku terduduk di lantai kayu yang digenangi darah Takao-kun.
ZRUUTT… ZRUUT…. KRIIITT….KRIIT ….
Ada Sesuatu yang merayap di lantai
Kumpulan tangan – tangan kecil yang tak terhitung jumlahnya bersatu dengan gumpalan daging berambut yang menghitam dengan banyak mata bergerak merayap perlahan.
Ada Sesuatu yang merayap di lantai
Kumpulan tangan – tangan kecil yang tak terhitung jumlahnya bersatu dengan gumpalan daging berambut yang menghitam dengan banyak mata bergerak merayap perlahan.
KE
ARAHKU!!
FESTIVAL KEMATIAN -SEKUEL-
FFN. CODE 4.
黒子のバスケ
FESTIVAL KEMATIAN
—SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI
SEKUEL PERSEMBAHAN SETAN
“Every part of world there’s an evil
side. Here’s the story side belongs to Yuzu Yukihira. Presented to all reader I
love, Thanks for the support. This story can’t success without you”
FESTIVAL
1 : YAKUSAMASHI (厄醒し)
“(Disaster Awakening)”
“(Disaster Awakening)”
Dosaku,
adalah Dosaku, dan dosamu adalah dosamu. Pembunuhan seperti apa yang akan kau
buat jadi sekenario? Entahlah, yang jelas, festival ini telah dimulai. Festival
kematian... -行平黄名子-
(Yukihira Kinako)
(Yukihira Kinako)
PROLOG
KINAKO YUKIHIRA –
Kuil Yukibana—Musim Dingin. 06.00 a.m
Pagi
yang bersalju, dingin, dan sejuk.
Bunga Daffodil di tanganku masih meneteskan embun, aku memetiknya tidak jauh dari kebun bunga di kuil. Aku tidak punya uang untuk membeli bunga yang lebih baik dari ini, jadi segini saja sudah cukup,kan? Aku menelusuri jalan setapak yang di paving block, diatas batako-batako abu ini terhampar es tipis, kalau tidak berhati-hati siapapun bisa terpeleset. Kemarin hujan salju hebat baru saja mengguyur dilanjutkan oleh hujan semalam suntuk—maka jadilah kawasan Tokyo berubah seperti kota mati.
Bunga Daffodil di tanganku masih meneteskan embun, aku memetiknya tidak jauh dari kebun bunga di kuil. Aku tidak punya uang untuk membeli bunga yang lebih baik dari ini, jadi segini saja sudah cukup,kan? Aku menelusuri jalan setapak yang di paving block, diatas batako-batako abu ini terhampar es tipis, kalau tidak berhati-hati siapapun bisa terpeleset. Kemarin hujan salju hebat baru saja mengguyur dilanjutkan oleh hujan semalam suntuk—maka jadilah kawasan Tokyo berubah seperti kota mati.
Suara
kicau burung Suzume*(burung gereja)
menyapa, mereka bertengger di sebuah batu marmer indah yang menjulang setinggi
badanku. Di sana tertulis; “Keluarga
Yukihira—Shuuma Yukihira—Kohane Yukihira—“. Selamat pagi, Tou-sama*(ayah), Kohane, kalian
baik-baik saja? Semoga di sana kalian tidak memprotes kelakuanku yang masih
saja kurang ajar,ya. Kuletakkan bunga putih itu di atas nisan dan membakar
dupa, syal berwarna merah di leherku kulilitkan lebih erat, aku tidak punya
jaket jadi aku terpaksa memakai Jersey
Seirin. Jaket ini sama sekali tidak bisa menghalau dingin tapi tak apalah
kurasa aku bakal terbiasa dengan udara gila di musim ini.
“Sudah
kuduga kau kemari, Nona kecil…” suara parau itu membuyarkan lamunanku, sosok
berwajah welas asih terpancar dari keriput di wajahnya yang sama sekali tidak
terlihat letih meski umurnya sudah hampir delapan puluhan.
“Menjenguk adik dan ayah?” aku mengangguk, bukannya aku sok-sokan tidak menyambut sapaannya melainkan aku Tidak bisa menjawab. “Sudah berapa lama insiden itu terjadi? Tepat seminggu benar,kan. Aku mengerti sekali perasaanmu tidak ada yang tidak mungkin merasa senang ketika kau tahu satu-satunya hal yang kau punya tiba-tiba diambil dengan cara yang mengenaskan. Mereka sudah tenang di sana, doamu adalah kiriman terbaik untuk mereka” Kakek Kepala Kuil tersenyum seraya melihat kea rah nisan yang tetap terdiam meski salju menumpuk di atas permukaannya.
“Kau masih menggunakan seragam itu berarti kau masih menyayangi mereka,kan?” aku enggan menjawab, sudah hampir tiga bulan aku pergi meninggalkan mereka dan jaket inilah yang membuatku selalu ingat akan keberadaan mereka. Aku tak tahu apakah mereka memaafkanku atau tidak yang jelas ini pilihanku, terserah mereka menganggapku sebagai orang jahat itu bukan masalah, itu adalah yang terbaik.
“Hari ini jam Sembilan akan ada upacara persembahan dan doa untuk adikmu. Kurasa anak-anak akan datang, apakah itu cukup membantu?” aku hanya tersenyum, Kakek Zen sudah banyak membantuku. Beliau menerimaku di sini ketika aku pergi dari rumah sakit dan aku sekarang tinggal di kuil ini. Kuil yang lumayan jauh dari kota dan letaknya nyaris tidak diketahui banyak orang, Kuil di Desa Miwarigumi adalah tempat dimana ayah dimakamkan singkatnya ini desa tempat tinggal keluargaku sebelum pindah ke kota, Kakek Zen sudah seperti kakek kandungku. Berita meninggalnya Kohane seminggu lalu membuatku nyaris bunuh diri tapi Kakek Zen tetap sabar memberiku kekuatan.
“Menjenguk adik dan ayah?” aku mengangguk, bukannya aku sok-sokan tidak menyambut sapaannya melainkan aku Tidak bisa menjawab. “Sudah berapa lama insiden itu terjadi? Tepat seminggu benar,kan. Aku mengerti sekali perasaanmu tidak ada yang tidak mungkin merasa senang ketika kau tahu satu-satunya hal yang kau punya tiba-tiba diambil dengan cara yang mengenaskan. Mereka sudah tenang di sana, doamu adalah kiriman terbaik untuk mereka” Kakek Kepala Kuil tersenyum seraya melihat kea rah nisan yang tetap terdiam meski salju menumpuk di atas permukaannya.
“Kau masih menggunakan seragam itu berarti kau masih menyayangi mereka,kan?” aku enggan menjawab, sudah hampir tiga bulan aku pergi meninggalkan mereka dan jaket inilah yang membuatku selalu ingat akan keberadaan mereka. Aku tak tahu apakah mereka memaafkanku atau tidak yang jelas ini pilihanku, terserah mereka menganggapku sebagai orang jahat itu bukan masalah, itu adalah yang terbaik.
“Hari ini jam Sembilan akan ada upacara persembahan dan doa untuk adikmu. Kurasa anak-anak akan datang, apakah itu cukup membantu?” aku hanya tersenyum, Kakek Zen sudah banyak membantuku. Beliau menerimaku di sini ketika aku pergi dari rumah sakit dan aku sekarang tinggal di kuil ini. Kuil yang lumayan jauh dari kota dan letaknya nyaris tidak diketahui banyak orang, Kuil di Desa Miwarigumi adalah tempat dimana ayah dimakamkan singkatnya ini desa tempat tinggal keluargaku sebelum pindah ke kota, Kakek Zen sudah seperti kakek kandungku. Berita meninggalnya Kohane seminggu lalu membuatku nyaris bunuh diri tapi Kakek Zen tetap sabar memberiku kekuatan.
“Apakah
kau siap kembali menghadapi ancaman dari Keluarga Inti?” pertanyaannya kembali
membawaku ke masa sepuluh tahun dimana masa mengerikan itu terekam jelas di
otakku. “Festival itu diselenggarakan oleh pihak yang sangat kau kenal”
Bajingan-bajingan itu harus kumusnahkan segera mungkin sebelum para Kiseki no sedai bergerak. Sayangnya darah Saika tidak sengaja ditransfer ke Kagami-nii, dialah yang bisa melacak keberadanku karena aku induknya.
“Waktunya kau pergi…, Kinako-chan. Aku yakin mereka masih menyayangimu. Kapanpun itu, jangan pernah merasa sendirian. Kau punya mereka yang ada di belakangmu” Kakek Zen mengelus kepalaku, hatiku yang mendingin sedikit hangat berkat tangannya.
Bajingan-bajingan itu harus kumusnahkan segera mungkin sebelum para Kiseki no sedai bergerak. Sayangnya darah Saika tidak sengaja ditransfer ke Kagami-nii, dialah yang bisa melacak keberadanku karena aku induknya.
“Waktunya kau pergi…, Kinako-chan. Aku yakin mereka masih menyayangimu. Kapanpun itu, jangan pernah merasa sendirian. Kau punya mereka yang ada di belakangmu” Kakek Zen mengelus kepalaku, hatiku yang mendingin sedikit hangat berkat tangannya.
Tak
perlu waktu lama aku sudah melesat meninggalkan Kakek Zen, di atas dahan pohon
aku bertengger berkamuflase di pepohonan rindang yang putih ditutup salju.
Sebelum aku pergi, aku mendengar suara dari bawah.
“Ohayou Gozaimasu. Kakek Zenzo, kenapa anda ada di sini?”
“Ohayou. Oh, tadi ada tamu. Aku sekalian mengganti bunga-bunga di makam”
“Anda sudah terbiasa,ya. Bagaimana acara hari ini?”
“Sudah dengan segala persiapannya, Akashi Seijuurou -sama”
Aku
melenyapkan diri dibalik kegelapan, aku tahu siapa sosok berambut amber itu namun aku tidak ingin
menemuinya. Aku tidak bisa lagi menemui
mereka.
KUROKO TETSUYA
SMA Seirin – Gymnasium, 07.00 a.m
SMA Seirin – Gymnasium, 07.00 a.m
Sekolah
sibuk dengan persiapan Natal
Natal di sekolah adalah acara yang paling ditunggu-tunggu oleh murid-murid. Mereka bisa merayakan natal dengan gembira, berdansa, makan makanan enak, bertukar kado, dan berbagi kebahagiaan di bawah gemerlap lampu pohon Natal di Gym. Sayangnya kali ini aku yang berada di Gym tidak merasakankan adanya hal-hal yang kusebutkan tadi, aku terpekur menunggu Kagami-kun sambil membawa sebuah buket bunga berisi bunga Daffodil, mawar putih, Suzuran*(lily lembah), dan beberapa bunga lainnya. Hari ini adalah hari penting, aku sudah janji dengan Kagami-kun, Furihata-kun, Kawahara-kun, dan Fukuda-kun untuk berangkat ke Desa Miwarigumi, desa dimana Kohane dimakamkan.
Natal di sekolah adalah acara yang paling ditunggu-tunggu oleh murid-murid. Mereka bisa merayakan natal dengan gembira, berdansa, makan makanan enak, bertukar kado, dan berbagi kebahagiaan di bawah gemerlap lampu pohon Natal di Gym. Sayangnya kali ini aku yang berada di Gym tidak merasakankan adanya hal-hal yang kusebutkan tadi, aku terpekur menunggu Kagami-kun sambil membawa sebuah buket bunga berisi bunga Daffodil, mawar putih, Suzuran*(lily lembah), dan beberapa bunga lainnya. Hari ini adalah hari penting, aku sudah janji dengan Kagami-kun, Furihata-kun, Kawahara-kun, dan Fukuda-kun untuk berangkat ke Desa Miwarigumi, desa dimana Kohane dimakamkan.
Nyeri
masih membekas di hatiku, mataku tiga hari bengkak dan sekarang masih saja
meloloskan satu-dua bulir air mata. Memang sudah seminggu semenjak Kohane
meninggal akibat jatuh dari lantai tujuh apartemen milik Mayuzumi-san, ponselku nyaris jadi korban ketika
aku mendengar berita itu. Yang selalu bisa menguatkanku adalah Kagami-kun dan tentu saja teman-teman lainnya
meski mereka pasti merasakan hal yang sama pahitnya.
“Ohayou Gozaimasu, Kuroko” sapa suara renyah dari sampingku, Furihata-kun.
“Ohayou Gozaimasu, sendirian saja? Dimana Kawahara-kun dan Fukuda-kun?” sapaku balik. “Oh,ya aku lupa bilang kalau mereka bakal berangkat bareng para senpai jadi kita bertiga saja” jawabnya.
“Ohh…” aku hanya memberi respon seadanya, moodku sedang turun dan kesedihan ini tidak bisa lepas setiap kali aku mendengar nama Kohane.
“Kau terlihat pucat, Kuroko. Aku tahu perasaanmu, aku juga shock mendengar berita itu dan buru-buru aku pergi ke tempat teman-teman. Hal ini tetap dirahasiakan dari anak-anak lain jadi kau bisa tenang, bersedih memang hak setiap orang tapi kita harus bisa melangkah maju meski kita ditinggalkan” nasihat Furihata-kun, aku mengangguk memerhatikan wajahnya yang samar terlihat letih dan ada bekas tangisan di matanya.
“Walau aku tidak begitu dekat dengan Kohane-chan tapi aku merasakan kesedihan yang sama denganmu, Kuroko, kau pasti juga memikirkan apa yang dirasakan Kinako-chan andai saja dia ada di sini dan mendengar semua kenyataan itu” kali ini aku tidak bisa menjawab, berulang kali aku memikirkan bagaimana untuk membawa kembali Kinako berujung pada kematian Kohane, kalau Kinako tahu akan hal ini maka aku sudah tidak bisa lagi memerlihatkan mukaku padanya.
“Ohayou Gozaimasu, Kuroko” sapa suara renyah dari sampingku, Furihata-kun.
“Ohayou Gozaimasu, sendirian saja? Dimana Kawahara-kun dan Fukuda-kun?” sapaku balik. “Oh,ya aku lupa bilang kalau mereka bakal berangkat bareng para senpai jadi kita bertiga saja” jawabnya.
“Ohh…” aku hanya memberi respon seadanya, moodku sedang turun dan kesedihan ini tidak bisa lepas setiap kali aku mendengar nama Kohane.
“Kau terlihat pucat, Kuroko. Aku tahu perasaanmu, aku juga shock mendengar berita itu dan buru-buru aku pergi ke tempat teman-teman. Hal ini tetap dirahasiakan dari anak-anak lain jadi kau bisa tenang, bersedih memang hak setiap orang tapi kita harus bisa melangkah maju meski kita ditinggalkan” nasihat Furihata-kun, aku mengangguk memerhatikan wajahnya yang samar terlihat letih dan ada bekas tangisan di matanya.
“Walau aku tidak begitu dekat dengan Kohane-chan tapi aku merasakan kesedihan yang sama denganmu, Kuroko, kau pasti juga memikirkan apa yang dirasakan Kinako-chan andai saja dia ada di sini dan mendengar semua kenyataan itu” kali ini aku tidak bisa menjawab, berulang kali aku memikirkan bagaimana untuk membawa kembali Kinako berujung pada kematian Kohane, kalau Kinako tahu akan hal ini maka aku sudah tidak bisa lagi memerlihatkan mukaku padanya.
“Kalau Kinako tahu—“
“Maka aku akan menyeretnya ke sini dan menyelesaikan masalah” suara angkuh itu menggema di seluruh penjuru ruangan, sosok bertubuh tinggi besar dengan sepasang matanya yang tajam tak mau kalah itu berkacak pinggang dua meter di belakangku. Dia membawa sebuah buket bunga di tangannya lalu berjalan menghampiri kami.
“Kau tidak akan bisa mengocok dadu kalau kau takut untuk kembali ke kotak tempatmu berada, kau tahu, tidak ada orang yang bisa menentukan dimana letak pion sebelum dadu yang kau pegang dilempar. Mau maju atau mundur atau bahkan diam, itu tergantung padamu. Mengubah takdir juga sama, kau takkan maju menuju finish tanpa usaha melawan takut” Kagami-kun menjitak pelan kepalaku, entah apa yang dia berikan tapi seolah-olah semangatnya merasuk ke dalam diriku dan membuat mataku terbuka.
“Kita juga berjuang untuk bagian Kohane juga,yak an?” sahut Furihata-kun.
“Ya! Aku yakin, Kinako akan kembali dan kita akan bermain basket bersama-sama lagi!” kami melakukan bro fist, kami sudah bertekad tidak akan terkurung dalam kesedihan lagi, karena kami adalah KLUB BASKET SMA SEIRIN! Perasaan ini akan kami sampaikan pada anak itu, lalu kembali bermain basket di lapangan bersama semuanya.
“Ah, sudah saatnya pergi. Bus pertama datang jam setengah delapan” kata Furi.
“Yaah, kita tidak akan mau disuruh lari dari desa ke sini karena terlambat oleh pelatih,kan?” cengir Kagami-kun dan sukses membuatku tersenyum juga.
Kami
bergegas pergi ke halte lalu melihat jadwal keberangkatan Bus dan syukurlah
kami tidak terlambat, ada bus pagi untuk pergi ke Desa Miwarigumi. Desa itu
terkenal dengan bunga-bunga musim dinginnya, entah kenapa hanya di desa itu
saja bunga-bunga bisa bermekaran sekalipun di musim dingin. Tujuan kami adalah
Kuil Yukibana*(雪花) atau biasanya disebut Kuil Bunga Salju, kuil itu
tidak banyak dikenal orang dan terpencil jadi agak sulit menuju ke sana apalagi
bus hanya menurunkan kami di jalan arteri desa lalu kami harus jalan untuk
mencapai kuil di atas bukit itu.
“Kita
masih harus jalan lagi?” Tanya Kagami-kun.
“Iya, kira-kira di atas bukit sana” tunjuk Furihata-kun.
“Bunga-bunga di sini tidak layu,ya meski kemarin hujan salju. Mereka bermekaran seperti biasa. Apa ini bunga segala musim?” aku merunduk dan berjongkok di dekat sebuah petak bunga Ajisai yang bergerombol tertutup salju. “Kurasa mereka sudah seperti ini dari dulu mungkin?” Furi memberi opini tapi tetap saja bunga-bunga di sini terlihat tidak begitu wajar karena tetap tumbuh di udara ekstrim. Kami berjalan menelusuri jalanan yang masih belum di aspal, di kanan kiri terbentang sawah dan padang bunga, penduduknya juga menyapa kami dengan hangat. Namun ada satu hal yang aku herankan sedari tadi, Di sini tidak ada anak-anak.
“Iya, kira-kira di atas bukit sana” tunjuk Furihata-kun.
“Bunga-bunga di sini tidak layu,ya meski kemarin hujan salju. Mereka bermekaran seperti biasa. Apa ini bunga segala musim?” aku merunduk dan berjongkok di dekat sebuah petak bunga Ajisai yang bergerombol tertutup salju. “Kurasa mereka sudah seperti ini dari dulu mungkin?” Furi memberi opini tapi tetap saja bunga-bunga di sini terlihat tidak begitu wajar karena tetap tumbuh di udara ekstrim. Kami berjalan menelusuri jalanan yang masih belum di aspal, di kanan kiri terbentang sawah dan padang bunga, penduduknya juga menyapa kami dengan hangat. Namun ada satu hal yang aku herankan sedari tadi, Di sini tidak ada anak-anak.
“Kagami,
Kuroko, Furihata di sini!” Oh, sepertinya itu Izuki-senpai, senior yang lain sudah siap dengan bunga-bunga di tangan
mereka. Pelatih tampak membawa sapu tangan dan awan-awan kesedihan masih
mengambang disekelilingnya, aku tidak bisa berbohong karena hatiku memang tidak
bisa sekuat Kagami-kun, awan mendung
itu tetap menggantung karena itulah sesungguhnya perasaanku sekarang. Kami
menaiki tangga yang kurasa cocok dijadikan latihan karena anak tangga ini terlalu banyak, kapten
terlihat uring-uringan di sebelah Kiyoshi-senpai.
“Acaranya di kuil utama, kalian jangan macam-macam,ya” peringat kapten kami yang sudah kehabisan tenaga. Di halaman utama Kuil Yukibana kami melihat sudah banyak orang berkumpul.
“Kurokocchi, Kagamicchi, kalian sudah datang” Kise-kun terlihat gagah dengan setelah serba hitam bersanding dengan Kasamatsu-san yang membawa buket besar berisi bunga Lily. “Kise-kun, yang lain sudah datang? Kau cepat sekali” aku menerima uluran tangannya, Kise-kun tersenyum sebentar lalu menjawab, “Ya, aku ke sini agar menjadi tamu pertama di undangan Kohanecchi” aku bisa merasakan nada kesedihan di ucapannya namun aku tidak membangkang, Kise-kun mungkin adalah salah satu yang paling terpukul atas kejadian ini.
“Taiga, kau datang tepat waktu. Maaf tadi aku berangkat bareng Atsushi, Alex tidak ikut?” Himuro-kun tak kalah kerennya dengan jas hitam tanpa dasi yang dikenakannya.
“Alex akan datang nanti siang, saat acara pemasangan dupa dan doa akhir”
“Aku turut berduka, Taiga. Maafkan aku”
“Untuk apa kau minta maaf Tatsuya? Anggaplah ini adalah kasus kecelakaan, aku tidak bisa banyak membantu juga. Kami harus membawa Kinako kembali hanya itu misi kami” ujar Kagami-kun.
“Atsushi sempat panic, aku mencoba menenangkannya dan aku mendapat kabar kalau Klub basket Touou sempat gempar. Kurasa kau harus bicara pada Aomine-kun” sahut Himuro-san. Oh iya, Aomine-kun dan anggota Touou!
“Acaranya di kuil utama, kalian jangan macam-macam,ya” peringat kapten kami yang sudah kehabisan tenaga. Di halaman utama Kuil Yukibana kami melihat sudah banyak orang berkumpul.
“Kurokocchi, Kagamicchi, kalian sudah datang” Kise-kun terlihat gagah dengan setelah serba hitam bersanding dengan Kasamatsu-san yang membawa buket besar berisi bunga Lily. “Kise-kun, yang lain sudah datang? Kau cepat sekali” aku menerima uluran tangannya, Kise-kun tersenyum sebentar lalu menjawab, “Ya, aku ke sini agar menjadi tamu pertama di undangan Kohanecchi” aku bisa merasakan nada kesedihan di ucapannya namun aku tidak membangkang, Kise-kun mungkin adalah salah satu yang paling terpukul atas kejadian ini.
“Taiga, kau datang tepat waktu. Maaf tadi aku berangkat bareng Atsushi, Alex tidak ikut?” Himuro-kun tak kalah kerennya dengan jas hitam tanpa dasi yang dikenakannya.
“Alex akan datang nanti siang, saat acara pemasangan dupa dan doa akhir”
“Aku turut berduka, Taiga. Maafkan aku”
“Untuk apa kau minta maaf Tatsuya? Anggaplah ini adalah kasus kecelakaan, aku tidak bisa banyak membantu juga. Kami harus membawa Kinako kembali hanya itu misi kami” ujar Kagami-kun.
“Atsushi sempat panic, aku mencoba menenangkannya dan aku mendapat kabar kalau Klub basket Touou sempat gempar. Kurasa kau harus bicara pada Aomine-kun” sahut Himuro-san. Oh iya, Aomine-kun dan anggota Touou!
Aku
melihat Aomine-kun bersama Momoi-san juga senior-senior dan anggota Touou
lainnya, mereka sangat terpukul, Momoi-san
bahkan menangis di sana bahkan sampai pelatih mereka turut hadir di depan altar
yang dipasang oleh foto Kohane. Hatiku seperti diiris-iris melihat pemandangan
seperti ini, “Selamat datang di Desa Miwarigumi. Perkenalkan namaku Zenzo, aku
kepala kuil di sini ng…,silakan masuk acara akan segera dimulai, ah, kalian
pasti teman-temannya Kohane-chan,ya? Aku
bersyukur anak manis itu punya teman-teman yang baik” seorang kakek berambut
putih menyapa kami, dia mengenakan baju tebal dengan tongkat di tangan kirinya.
Matanya terlihat menutup sepertinya kakek ini sudah sangat tua namun terlihat
tetap bugar di cuaca dingin dia masih bisa jalan-jalan.
“Wah, kalian sudah datang rupanya. Acara akan segera dimulai” pria berambut merah amber menyahut dari belakang Pak Zenzo, Akashi-kun!
“Akashicchi, kau datang cepat. Apa Rakuzan juga datang ke sini?” sapa Kise-kun.
“Ya, karena ini juga acara yang penting bagi Mayuzumi-san dan keluarganya” jawab Akashi-kun sederhana. Benar juga, Mayuzumi-san itu kerabat dekat Kohane dan menurut keterangan, dia dan ibunyalah yang menemukan Kohane sudah tewas jatuh dari gedung.
“Wah, kalian sudah datang rupanya. Acara akan segera dimulai” pria berambut merah amber menyahut dari belakang Pak Zenzo, Akashi-kun!
“Akashicchi, kau datang cepat. Apa Rakuzan juga datang ke sini?” sapa Kise-kun.
“Ya, karena ini juga acara yang penting bagi Mayuzumi-san dan keluarganya” jawab Akashi-kun sederhana. Benar juga, Mayuzumi-san itu kerabat dekat Kohane dan menurut keterangan, dia dan ibunyalah yang menemukan Kohane sudah tewas jatuh dari gedung.
“Tidak
baik berlama-lama di tengah udara seperti ini, ayo masuk, acara akan segera
dimulai” Pak Zenzo membimbing kami ke dalam kuil, Momoi-san seperti biasa menyerudukku tapi kali ini bukan nada kebahagiaan
di teriakannya tapi kesedihan, Aomine-kun
juga tidak banyak bicara dia hanya menatapku penuh arti.
“Aku turut berduka, Aomine-kun. Maafkan aku, aku gagal lagi”
“Tidak, jangan minta maaf, Tetsu. Aku sudah mengerti, tapi sayang ini sudah sangat terlambat” ujar Aomine-kun dengan wajah suram, aku mengerti perasaannya dan tentu saja aku hanya bisa diam.
“Aku turut berduka, Aomine-kun. Maafkan aku, aku gagal lagi”
“Tidak, jangan minta maaf, Tetsu. Aku sudah mengerti, tapi sayang ini sudah sangat terlambat” ujar Aomine-kun dengan wajah suram, aku mengerti perasaannya dan tentu saja aku hanya bisa diam.
Di
acara ini aku hanya bisa mengirim doa, foto Kohane yang tersenyum di depanku
tepat di pajang di atas altar dikelilingi bunga dan dupa sekarang hanya bisa
dipandang dari sana. Kohane sudah tidak ada, kenyataan yang sampai sekarang
tidak ingin kuakui. Kemudian secara bergiliran kami memberi bunga di altar, aku
tak lupa berdoa tapi di tengah buket-buket bunga yang ditaruh aku melihat ada
sesuatu yang terselip di sana.
BULU BURUNG GAGAK
BULU BURUNG GAGAK
Mataku
membulat, tengkukku merinding seperti ada yang memerhatikan dari jauh, dengan
cepat kuambil helaian bulu hitam itu lalu beranjak menuju ke tempat Kagami-kun duduk.
“Kagami-kun” bisikku, “Huaaa! Kau sedang apa, sialan bahkan di saat seperti ini kemampuanmu itu tetap mengesalkan!?” semburnya panic. “Ini…,” kuperlihatkan helaian bulu hitam itu, mata Kagami-kun langsung membulat, sesuatu yang mengerikan sepertinya terlintas di pikirannya sama denganku. “Hei, Kuroko” panggilnya. “Ya?”, Kagami-kun memberi kode kepadaku untuk membawa anak-anak yang berkepentingan menuju keluar kuil, aku mengangguk lalu dengan kecepatan kilat aku mengirim e-mail kepada semuanya—aku tak ingin membuat ricuh suasana ini—tak lupa juga aku ingin Mayuzumi-san ikut. Dialah yang berhak tahu soal ini.
Kemudian tidak sampai lima belas menit semuanya sudah berkumpul di kebun belakang kuil yang penuh oleh tetumbuhan(aku agak sanksi jangan-jangan ini adalah pondok pengembangan botani bukannya kuil). Akashi-kun melambai lalu kami berdua berjingkat lalu pergi.
“Tetsu, kenapa kau memanggil kami?” Tanya Aomine-kun.
“Sebenarnya aku tidak mau merusak suasana tapi…, aku terpaksa melakukannya” kusodorkan helai bulu hitam itu, sudah kuduga respon semua orang sama sepertiku dan Kagami-kun. Untuk beberapa saat kami tidak saling bicara, mereka masih menahan napas tentu masih bersama tatapan horror di wajah masing-masing.
“Aku…” Mayuzumi-san berbisik dari samping Akashi-kun. “Aku menemukan benda yang sama ketika Kohane jatuh, aku tidak seratus persen yakin tapi aku tahu benda yang melewatiku ketika aku di beranda adalah bulu itu. Tapi sayangnya aku tidak menghiraukannya karena Ibuku sangat histeris dan memintaku menelepon polisi dan paramedic” aku ternganga, kenapa kami sering sekali mendapati bulu-bulu ini disetiap TKP?
“Ngomong-ngomong, aku memiliki hal yang harus kubicarakan pada kalian” sahut Akashi-kun.
“Kagami-kun” bisikku, “Huaaa! Kau sedang apa, sialan bahkan di saat seperti ini kemampuanmu itu tetap mengesalkan!?” semburnya panic. “Ini…,” kuperlihatkan helaian bulu hitam itu, mata Kagami-kun langsung membulat, sesuatu yang mengerikan sepertinya terlintas di pikirannya sama denganku. “Hei, Kuroko” panggilnya. “Ya?”, Kagami-kun memberi kode kepadaku untuk membawa anak-anak yang berkepentingan menuju keluar kuil, aku mengangguk lalu dengan kecepatan kilat aku mengirim e-mail kepada semuanya—aku tak ingin membuat ricuh suasana ini—tak lupa juga aku ingin Mayuzumi-san ikut. Dialah yang berhak tahu soal ini.
Kemudian tidak sampai lima belas menit semuanya sudah berkumpul di kebun belakang kuil yang penuh oleh tetumbuhan(aku agak sanksi jangan-jangan ini adalah pondok pengembangan botani bukannya kuil). Akashi-kun melambai lalu kami berdua berjingkat lalu pergi.
“Tetsu, kenapa kau memanggil kami?” Tanya Aomine-kun.
“Sebenarnya aku tidak mau merusak suasana tapi…, aku terpaksa melakukannya” kusodorkan helai bulu hitam itu, sudah kuduga respon semua orang sama sepertiku dan Kagami-kun. Untuk beberapa saat kami tidak saling bicara, mereka masih menahan napas tentu masih bersama tatapan horror di wajah masing-masing.
“Aku…” Mayuzumi-san berbisik dari samping Akashi-kun. “Aku menemukan benda yang sama ketika Kohane jatuh, aku tidak seratus persen yakin tapi aku tahu benda yang melewatiku ketika aku di beranda adalah bulu itu. Tapi sayangnya aku tidak menghiraukannya karena Ibuku sangat histeris dan memintaku menelepon polisi dan paramedic” aku ternganga, kenapa kami sering sekali mendapati bulu-bulu ini disetiap TKP?
“Ngomong-ngomong, aku memiliki hal yang harus kubicarakan pada kalian” sahut Akashi-kun.
“FESTIVAL
AKAGOSAI akan diselenggarakan seminggu dari sekarang, tepatnya minggu depan
hari Rabu” kami terkejut, festival
itu adalah festival yang masih mengundang banyak kontroversi, “Aku punya
sedikit kecurigaan” kata Kise-kun.
“Apa itu?” Tanya Murasakibara-kun.
“KOHANECCHI BUKAN TERBUNUH, TAPI DIBUNUH” kata-kata yang
meluncur dari mulut Kise-kun membuat
jantungku nyaris melorot, “Di, dibunuh?” Tanya Takao-kun. “Aku bukannya mengasumsikan hal yang berlebihan tapi entah
kenapa kalau Mayuzumicchi terlibat di
sini berarti…”.
“Kau mau bilang semua ini berhubungan dengan KELUARGA YUKIHIRA?” tandas Mayuzumi-san. Anggukan Kise-kun membuat tengkukku merinding. Bagaimana mungkin? Kenapa ada orang sekejam itu? Apa alasannya, modusnya, kedoknya, atau apapun sampai menghilangkan nyawa gadis kecil?!
“…..” Aku mendengar Kagami-kun seperti menggumamkan sesuatu, tatapan Kagami-kun menuju kea rah pepohonan yang rimbun. “Kagami-kun, ada apa?” tanyaku.
“Kau mau bilang semua ini berhubungan dengan KELUARGA YUKIHIRA?” tandas Mayuzumi-san. Anggukan Kise-kun membuat tengkukku merinding. Bagaimana mungkin? Kenapa ada orang sekejam itu? Apa alasannya, modusnya, kedoknya, atau apapun sampai menghilangkan nyawa gadis kecil?!
“…..” Aku mendengar Kagami-kun seperti menggumamkan sesuatu, tatapan Kagami-kun menuju kea rah pepohonan yang rimbun. “Kagami-kun, ada apa?” tanyaku.
“KINAKO”.
Eh?. “Aku melihat KINAKO”, salju turun dari langit perlahan lalu adegan
berikutnya adalah sosok Kise-kun dan
Kagami-kun sudah menghambur ke
rerimbunan pohon.
KAGAMI TAIGA
Kuil Yukibana—halaman belakang—09.00 a.m.
Kuil Yukibana—halaman belakang—09.00 a.m.
Sedari tadi aku merasa ada aura dan aroma yang amat kukenal.
Aku tidak tahu siapa tapi keberadaannya sangat tipis sekali, makanya dari tadi aku hanya diam memerhatikan sekeliling kebun yang penuh dengan bunga ini. Sampai ketika kami cukup lama berada di sana mataku menangkap sosok yang memiliki aura tipis dan bau yang samar kurasakan tadi.
“Kagami-kun, ada apa?” Tanya Kuroko.
“KINAKO, aku melihat Kinako” belum sempat melihat respon semua orang di sana, aku melihat Kise sudah menghambur kea rah yang kutuju, gawat, kalau sampai dia terlibat lagi dengan hal-hal berbahaya maka semua akan menjadi buruk!
“Taiga, Kise-kun!!” seruan Tatsuya tidak kugubris, temperature yang semakin turun kuacuhkan, bahkan salju sudah menampakkan diri dan turun dari langit ke bumi tak kupedulikan, aku merangsek ke semak-semak yang ditumpuki salju tipis dan sepertinya semak-semak di sini sukses membuatku naik darah saking rimbunnya.
“Oi, Kise! Berhenti, kau tidak tahu apa yang ada di sana, berbahaya Kise!” teriakku.
“Tapi aku juga merasakannya, Kinakocchi ada di sana!” tampik Kise sesaat setelah aku mencengkram lengannya, tatapannya yang putus asa dan di luar kendali itu mengingatkanku pada hari dimana kami bertaruh nyawa di Teikou sekitar enam bulan lalu.
“Kumohon! Aku sudah cukup bersabar kalau begini terus tidak ada gunannya nyawaku kembali, aku sudah memilih untuk tetap di jalan ini! Ini dosaku, aku salah, aku ingin minta maaf pada anak itu. Kau tidak paham bagaimana Kohanecchi menginginkan kembali Kinakocchi tapi, semuanya—“,
Aku tidak tahu siapa tapi keberadaannya sangat tipis sekali, makanya dari tadi aku hanya diam memerhatikan sekeliling kebun yang penuh dengan bunga ini. Sampai ketika kami cukup lama berada di sana mataku menangkap sosok yang memiliki aura tipis dan bau yang samar kurasakan tadi.
“Kagami-kun, ada apa?” Tanya Kuroko.
“KINAKO, aku melihat Kinako” belum sempat melihat respon semua orang di sana, aku melihat Kise sudah menghambur kea rah yang kutuju, gawat, kalau sampai dia terlibat lagi dengan hal-hal berbahaya maka semua akan menjadi buruk!
“Taiga, Kise-kun!!” seruan Tatsuya tidak kugubris, temperature yang semakin turun kuacuhkan, bahkan salju sudah menampakkan diri dan turun dari langit ke bumi tak kupedulikan, aku merangsek ke semak-semak yang ditumpuki salju tipis dan sepertinya semak-semak di sini sukses membuatku naik darah saking rimbunnya.
“Oi, Kise! Berhenti, kau tidak tahu apa yang ada di sana, berbahaya Kise!” teriakku.
“Tapi aku juga merasakannya, Kinakocchi ada di sana!” tampik Kise sesaat setelah aku mencengkram lengannya, tatapannya yang putus asa dan di luar kendali itu mengingatkanku pada hari dimana kami bertaruh nyawa di Teikou sekitar enam bulan lalu.
“Kumohon! Aku sudah cukup bersabar kalau begini terus tidak ada gunannya nyawaku kembali, aku sudah memilih untuk tetap di jalan ini! Ini dosaku, aku salah, aku ingin minta maaf pada anak itu. Kau tidak paham bagaimana Kohanecchi menginginkan kembali Kinakocchi tapi, semuanya—“,
“Aku paham, aku mengerti bagaimana rapuhnya kau. Kalau kau tetap mengikuti emosi dan egomu, kau hanya menyia-nyiakan semua pengorbanan kedua anak kembar itu” tegasku dengan tatapan langsung menghujam matanya. Kise tergelak, dia diam, kami hanya mendengar gemerisik daun dan tanganku tidak kulepaskan dari lengannya. “Maaf, Kagamicchi” desisnya.
“Tak apa, kau sudah berjuang. Aku mengerti. Dia penting bagimu” jawabku lebih tenang.
“Hei kalian berdua! Seenaknya saja kalian main lari begitu, cepat kembali!” seru Aomine datang dari belakangku. “Ah, maaf..” beberapa detik selanjutnya aku melihat sesu atu dari pohon. Burung Gagak. Burung gagak di musim dingin?! Hei, jangan bercanda, mana ada burung gagak di hari seperti ini. Tapi burung itu terpaku pada kami, seolah-olah menargetkan kami dan tatapan matanya yang sok polos itu membuatku merinding.
“Memang ada gagak di musim dingin?” Tanya Aomine.
“Tentu saja ada, mereka memangsa orang-orang kepo seperti kalian”
DEG!! Kami semua berjengit, seseorang berambut hitam berkacamata merah bersandar di batang pohon tak jauh dari kami. Auranya menyeramkan, tapi perilakunya santai sama sekali tidak ada tanda-tanda adanya ancaman.
“Kalian, oh, benar-benar anak-anak klub basket,ya? Kalau tidak salah kau yang berambut biru dan kuning adalah Kiseki no sedai, ahh~ benar sekali. Aku senang bertemu dengan kalian semua. Perkenalkan namaku Naraku..” dia berdiri, kemudian sepersedetik adegan berikutnya adalah dia sudah ada di antara aku dan Kise, mataku nyaris tidak bergeser sesentipun. Brengsek, kapan dia berpindah tempat!!?
“Namaku Naraku Yukihira, senang berkenalan dengan kalian. Bocah-bocah” dengan entengnya dia menendang tepat di perut Kise, cengkramanku terlepas dan membuatku terpelanting sampai Aomine harus menahanku. Sementara Kise terlempar hingga menabrak pohon lalu jatuh terkapar di tanah.
“KISEE..!!”
“Ahh, bukan,bukan begitu caranya kau menyambut orang baru, anak muda” sebelum dia menghajar wajahku dengan kepalan tangannya, Aomine sudah melayangkan tinjunya sayang dia berhasil lolos. “Bajingan, siapa kau!? Kau mau apa tiba-tiba menyerang kami?” seru Aomine geram.
“Aduh, jangan marah-marah, sayang aku tidak ingin meladeni kalian tapi ini tugas jadi apa boleh buat” aku tahu targetnya adalah Kise, dengan agak memaksa aku merangsek maju melindungi Kise yang meringkuk memegangi luka lamanya. “Kise, kau baik-baik sa—“
“Kagami!!” Si keparat itu menendang lagi dengan kakinya tapi yang nyaris membuat jantungku lepas adalah Kise menahan serangan itu tapi kekuatannya kalah telak jadilah kami berdua terhempas begitu saja hingga melayang dan terjatuh di tanah lapang yang dipagari oleh kayu. Sepertinya ini masih aeral kuil syukurlah kami tidak terperosok ke jurang.
“Suiit, tak kusangka orang yang pernah koma tiga bulan bisa menahan seranganku tadi, aku cukup serius lho” pria itu akan kutendang kalau saja dia tidak selicin belut,pakaian formal, lalu benda yang tergantung di samping celanannya itu…, Katana!?.gila, orang stress macam apa yang tahu-tahu menyerang kami padahal dia baru saja menunjukkan batang hidungnya.
“Oops, maaf. Tapi kurasa kau kurang sopan ya? Siapa namamu anak muda?” dia menghalau tinju Aomine dari belakang tanpa menoleh, tapi Aomine sama sekali tidak gentar dia malah menyeringai lalu mengambil ancang-ancang dengan kakinya. “Aomine Daiki, camkan ini baik-baik, bajingan berbaju keren”. “Owh, nama yang sesuai. Sayang sekali, kau tak cukup pintar melawanku” dia mencengkram tangan Aomine, meninju perutnya lalu menendang Aomine hingga tersungkur di sebelahku.
“Aomine! Hei, mulutmu berdarah!” seruku.
“Uhuk, cih. Diam, aku juga tahu, sial tenaganya seperti Bison!” geramnya kesal.
“Aku harus memberi applause kalian cukup kuat, sayang tidak sebanding dengan kami. Kalau saja Nona muda ada di sini dia bisa membela kalian,ya?” Nona muda? Siapa yang dimaksud, tunggu dulu tadi dia menyebut namanya adalah…;
“Kau, dari keluarga Yukihira? Kenapa brengsek sepertimu tiba-tiba—“
“Karena kalian terlalu ikut campur masalah ini, padahal sebentar lagi rencana kami akan berhasil. Sayangnya kalian terlalu kepo, bahkan kami harus menyingkirkan Nona muda kami tapi agak mengecewakan tuan putri yang satu lagi terlalu kepala batu hingga mau memihak kalian semua” aku tidak mengerti apa yang dimaksudkan olehnya, apa mungkin!? Mungkinkah!...
“Kau yang membunuh Kohanecchi” sinis Kise. “Aku tidak akan sekejam itu, dia salah satu kesayanganku lho” jawabnya agak falmboyan(mirip sekali dengan Mibuchi-san).
“Brengsek!” Kise mengepalkan tangannya, tapi sebelum aku mencoba menahan Kise si lelaki bernama Naraku itu tampak mencabut benda yang terselip di pinggangnya.
“KISE JANGAN…!!” dia hendak menebas Kise, sial, sial!! Kalau begini ceritanya Kise bakal mati, aku tidak menghiraukan ngilu di badanku yang kuutamakan sekarang adalah menjauhkan Kise sebelum tubuhnya terbelah dua.
“Ahaha, maaf,ya Kise Ryouta-sama, aku tak punya pilihan. Matilah dengan tenang”
“Kise….!!”
CRAANG!
Napasku tertahan dengan pemadangan yang kulihat di depan mataku, seseorang menahan katana mengerikan itu yang sebentar lagi menghampiri kepala Kise, darahku berdesir, perasaan yang lama sudah hampir kulupakan, perasaan seorang sahabat yang amat berterima kasih telah dilindungi.
Perasaan yang sama seperti enam bulan lalu.
“Khu, khu,khu… aku terkejut, diluar dugaan kau datang terang-terangan kemari. Hime-sama*(tuan putri).” Mata setajam pisau itu menghujam ke sosok yang tengah mengayunkan katana di depannya.
“Itu karena kau berani menyentuh mereka, akan kutebas kepalamu dan kujadikan makanan binatang” kata-kata sedingin e situ membuatku merinding.
“….Kenapa….,” bisik Kise.
“KINAKO…?”
gadis kecil dengan jersey Seirin,
perban di tangan juga mata kirinya, dan hanya memiliki satu tangan…, berdiri
gagah tak gentar di depan kami yang ternganga dan masih terjebak di dalam
keterkejutan.
AKASHI
SEIJUUROU
Kuil Yukibana—halaman belakang—09.55 a.m
Kuil Yukibana—halaman belakang—09.55 a.m
Perasaanku
tidak enak semenjak tadi
Yang kumaksud adalah kenapa anak-anak itu belum kembali, benarkah kalau mereka berhasil menemukan Kinako? Tapi ada apa ini, kenapa hatiku mengatakan yang sebaliknya.
“Akacchin, kau keliahatan gusar sekali dari tadi, kenapa?” Tanya Murasakibara sambil membuka snack hangat di tangannya, aku terdiam sejenak enggan untuk menjelaskannya karena aku memang tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku.
“Apa kau mengkhawatrkan mereka? Mereka paling juga datang sebentar lagi, apa butuh di cek?” Tanya Takao.
“Ng, aku rasa memang harus mengeceknya apalagi ini sudah hampir duapuluh menit mereka pergi. Aku takut mereka malah tersesat atau jatuh di suatu tempat” ujarku seraya melangkah kea rah rerimbunan pohon. Aku terkejut ketika seekor gagak berkoak dari atas pohon tak jauh dari tempatku berada, burung gagak itu melihatku tanpa melakukan apapun. Aneh sekali, ada yang tidak beres kenapa ada burung gagak di saat musim dingin? Kuperhatikan burung itu terus tanpa bergeming, sampai Himuro-san menepuk pundakku. “Kau kenapa, Akashi-kun?” tanyanya.
“Anu, burung gagak itu—“
DUAAKK…! Sesuatu melintas diantara kami, seperti menghantam benda atau sejenisnya. Aku melihat ada sebuah batu tergeletak sudah dalam kondisi pecah, sepertinya menghantam batu yang lain, tunggu siapa yang melemparnya?
“Akashi! Di belakangmu!” teriak Mayuzumi-san, ternyata dia melemparkan sebuah batu yang cukup besar untuk menghalau batu lain yang hendak mampir di kepalaku(tentu dengan kekuatan missdirectionnya).
“Yare-yare*(yaampun), kupikir aku berhasil melubangi kepalanya tapi tetap saja ada pengganggu di sekitar sini” suara yang berat seperti binatang itu, tidak, maksudku dia memang mirip seekor binatang. Tubuhnya besar dan kekar, rambutnya panjang hitam dan mata kanannya buta—ada bekas luka di sana—dia menggunakan blazer hitam dengan kemeja warna biru di baliknya dan menenteng sesuatu, benda panjang itu aku sangat mengenalnya!Sebuah katana….!
“Aku sangka ada hewan langka berada di sini” ucap Mayuzumi-san dingin.
“Sungguh bocah kurang ajar, jaga mulutmu. Setidaknya kali ini tidak ada yang akan bisa melindungimu lagi, Chihiro Mayuzumi” eh mereka saling kenal?
“Mayuzumi-san, dia kenalanmu?” Tanya Kuroko.
“Dia hanya hewan liar yang memakai pakaian formal, si beruang dari keluarga inti. Aozaki Yukihira” jawab Mayuzumi-san. Yukihira?! Dia salah satu famili Yukihira, apa mungkin dia mengenal Kinako?
Yang kumaksud adalah kenapa anak-anak itu belum kembali, benarkah kalau mereka berhasil menemukan Kinako? Tapi ada apa ini, kenapa hatiku mengatakan yang sebaliknya.
“Akacchin, kau keliahatan gusar sekali dari tadi, kenapa?” Tanya Murasakibara sambil membuka snack hangat di tangannya, aku terdiam sejenak enggan untuk menjelaskannya karena aku memang tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku.
“Apa kau mengkhawatrkan mereka? Mereka paling juga datang sebentar lagi, apa butuh di cek?” Tanya Takao.
“Ng, aku rasa memang harus mengeceknya apalagi ini sudah hampir duapuluh menit mereka pergi. Aku takut mereka malah tersesat atau jatuh di suatu tempat” ujarku seraya melangkah kea rah rerimbunan pohon. Aku terkejut ketika seekor gagak berkoak dari atas pohon tak jauh dari tempatku berada, burung gagak itu melihatku tanpa melakukan apapun. Aneh sekali, ada yang tidak beres kenapa ada burung gagak di saat musim dingin? Kuperhatikan burung itu terus tanpa bergeming, sampai Himuro-san menepuk pundakku. “Kau kenapa, Akashi-kun?” tanyanya.
“Anu, burung gagak itu—“
DUAAKK…! Sesuatu melintas diantara kami, seperti menghantam benda atau sejenisnya. Aku melihat ada sebuah batu tergeletak sudah dalam kondisi pecah, sepertinya menghantam batu yang lain, tunggu siapa yang melemparnya?
“Akashi! Di belakangmu!” teriak Mayuzumi-san, ternyata dia melemparkan sebuah batu yang cukup besar untuk menghalau batu lain yang hendak mampir di kepalaku(tentu dengan kekuatan missdirectionnya).
“Yare-yare*(yaampun), kupikir aku berhasil melubangi kepalanya tapi tetap saja ada pengganggu di sekitar sini” suara yang berat seperti binatang itu, tidak, maksudku dia memang mirip seekor binatang. Tubuhnya besar dan kekar, rambutnya panjang hitam dan mata kanannya buta—ada bekas luka di sana—dia menggunakan blazer hitam dengan kemeja warna biru di baliknya dan menenteng sesuatu, benda panjang itu aku sangat mengenalnya!Sebuah katana….!
“Aku sangka ada hewan langka berada di sini” ucap Mayuzumi-san dingin.
“Sungguh bocah kurang ajar, jaga mulutmu. Setidaknya kali ini tidak ada yang akan bisa melindungimu lagi, Chihiro Mayuzumi” eh mereka saling kenal?
“Mayuzumi-san, dia kenalanmu?” Tanya Kuroko.
“Dia hanya hewan liar yang memakai pakaian formal, si beruang dari keluarga inti. Aozaki Yukihira” jawab Mayuzumi-san. Yukihira?! Dia salah satu famili Yukihira, apa mungkin dia mengenal Kinako?
Suasana hening sejenak, tidak ada yang bergerak dari tempat masing-masing sementara pria berkulit gelap itu asyik menepuk-nepuk pundaknya dengan pedang(yang Nampak berbahaya). “Aaaah, musim dinginku harus hilang karena ulah kalian, jadi bagaimana kalau kita mengakhirinya?”
Belum
sempat mataku berkedip dia sudah ada di depanku, entah apalagi yang terjadi
tapi tampaknya si beruang gila menghantamku dengan tangannya, namun yang
dihajarnya bukanlah aku namun Himuro-san!
Himuro-san menjadikannya tameng
sayang kekuatan si beruang berkali lipat
darinya, alhasil kami terpelanting hingga masuk ke bagian dalam pepohonan.
“Himuro-san! Akashi!!” seruan Takao menyadarkanku, ugh sepertinya kepalaku berdarah menghantam batang pohon. “Hi, Himuro-san! Kau tidak apa-apa?!” sahutku, badannya masih menimpaku, Himuro-san mengerang keras dan tampaknya tangan si beruang menghancurkan bagian lengan kanannya.
“Lenganmu terluka, kau harus cepat ke me—“
“Haa, di sini tidak ada rumah sakit tahu tuan berambut merah” benturan keras terjadi, aku terhempas jauh sementara Himuro-san tetap melindungiku. Aku melihat Murasakibara menghentikan tendangan Aozaki dan melempar kami jauh, adu kekuatan sempat terjadi tapi…,
“Kau mengganggu”Desis Aozaki. “Kau juga!” bentak Murasakibara yang ternyata sudah berdarah-darah, tangannya memar dan kepalanya mengucur darah kental.
“Murasakibara, berhenti! Jangan melawannya…!” teriakku.
“Murasakibara-kun, Akashi-kun, Himuro-san!!” oh tidak! Kuroko, dia bersama Takao menyusul kea rah kami, “Hentikan bodoh jangan kemari!!” seruku, tapi terlambat Aozaki sudah menghajar Takao dan Kuroko hingga terhempas jauh dan menabrak tanah. Aku tak bisa melindungi mereka karena kepalaku pening sekali, tanganku robek sedikit tapi kalau aku meninggalkan Himuro-san maka itu lebih berbahaya.
“Himuro-san! Akashi!!” seruan Takao menyadarkanku, ugh sepertinya kepalaku berdarah menghantam batang pohon. “Hi, Himuro-san! Kau tidak apa-apa?!” sahutku, badannya masih menimpaku, Himuro-san mengerang keras dan tampaknya tangan si beruang menghancurkan bagian lengan kanannya.
“Lenganmu terluka, kau harus cepat ke me—“
“Haa, di sini tidak ada rumah sakit tahu tuan berambut merah” benturan keras terjadi, aku terhempas jauh sementara Himuro-san tetap melindungiku. Aku melihat Murasakibara menghentikan tendangan Aozaki dan melempar kami jauh, adu kekuatan sempat terjadi tapi…,
“Kau mengganggu”Desis Aozaki. “Kau juga!” bentak Murasakibara yang ternyata sudah berdarah-darah, tangannya memar dan kepalanya mengucur darah kental.
“Murasakibara, berhenti! Jangan melawannya…!” teriakku.
“Murasakibara-kun, Akashi-kun, Himuro-san!!” oh tidak! Kuroko, dia bersama Takao menyusul kea rah kami, “Hentikan bodoh jangan kemari!!” seruku, tapi terlambat Aozaki sudah menghajar Takao dan Kuroko hingga terhempas jauh dan menabrak tanah. Aku tak bisa melindungi mereka karena kepalaku pening sekali, tanganku robek sedikit tapi kalau aku meninggalkan Himuro-san maka itu lebih berbahaya.
“Berhenti
disitu gorilla sialan, kau mau kupotong dan kutempel kepalamu di
perapian,hah!?” kini Mayuzumi-san
dengan gagah melempar ranting yang cukup tajam,Aozaki menerima ranting tajam
tersebut hingga menembus telapaknya. Kupikir itu adalah akhir tapi si
gorilla—atau beruang itu—malah bertambah beringas.
“Hei, hei, Chihiro-kun kau lupa atau tolol? Benda ini tidak akan bisa membunuhku,kau tahu?” Uh-oh! Tidak, Aozaki menyerbu kea rah Mayuzumi-san, apa yang harus kulakukan? Tidak ada benda tajam di sini. Namun yang kulihat adalah sosok Mayuzumi-san dengan tangkas beradu kekuatan dan saling bertempur dengan Aozaki, aku tak menyangka ternyata dia cukup punya kemampuan beladiri meski tubuhnya kecil.
“Kenapa
Chihiro-kun? Kau lebih letoy daripada
sebelumnya?” seringai Aozaki. Perasaanku tidak enak dan benar saja Aozaki
mencengkram Mayuzumi-san lalu meninju
perutnya, tidak sampai disana Aozaki menghantamkan tubuh pucat Mayuzumi-san hingga berbenturan dengan tanah.
Darah keluar dari mulut dan kepalanya! Aozaki meng-ko Mayuzumi-san dengan
sangat mudah, “Ma, Mayuzumi-san!!”
“Selanjutnya giliranmu, merah” dengan kecepatan gila yang ditunjukannya di awal dia sudah bersiap menghajar wajahku tanpa belas kasih, sepersedetik kemudian adegan berganti, sesuatu menembus bahu Aozaki. Sebuah mata pisau besar yang sudah diasah dan dibentuk tajam menghunus bahu gorilla itu hingga tersungkur dan mengerang hebat.
“Selanjutnya giliranmu, merah” dengan kecepatan gila yang ditunjukannya di awal dia sudah bersiap menghajar wajahku tanpa belas kasih, sepersedetik kemudian adegan berganti, sesuatu menembus bahu Aozaki. Sebuah mata pisau besar yang sudah diasah dan dibentuk tajam menghunus bahu gorilla itu hingga tersungkur dan mengerang hebat.
“Si,
siapa?” tanyaku, aku menengok yang kulihat di ujung sana adalah sosok samar
tapi lamat-lamat aku mengenali siapa sosok dengan jersey di tubuhnya.
“KINAKO?” Tidak mungkin, kenapa? Apa akhirnya Kinako kembali?
“Akacchin, cepat ke sana! Ayo lari sebelum dia bergerak!” Murasakibara membawa Mayuzumi-san di gendongannya bersama Takao yang ternyata sudah siuman meski kepalanya terluka.
“KINAKO?” Tidak mungkin, kenapa? Apa akhirnya Kinako kembali?
“Akacchin, cepat ke sana! Ayo lari sebelum dia bergerak!” Murasakibara membawa Mayuzumi-san di gendongannya bersama Takao yang ternyata sudah siuman meski kepalanya terluka.
“Ayo, Akashi-kun! Kita
ke sana!” seru Kuroko membantuku memapah Himuro-san.
Kami
sampai di tanah lapang dengan pagar pembatas yang memisahkan tanah itu dengan
jurang di bawahnya. Mataku membulat melihat sosok yang terkapar di rerumputan,
Aomine, Kagami, dan Kise sudah babak belur dengan banyak luka sementara Kinako
dengan tegar berdiri menatapku. Ada seorang lagi, seorang yang tak kukenal tapi
dia sudah terluka parah. Darah mengucur dari dadanya –dia pasti habis ditebas
oleh pedang—sementara aku hanya bisa melongo, Kinako tersenyum padaku.
“Ohisashiburi,
Sei-nii*(Lama tak jumpa, Sei-nii)”
Jantungku mendadak berdetak tak karuan, hatiku sakit melihat senyum yang ditunjukannya, senyum yang sangat persis seperti Kohane hanya saja tersirat sebuah kesedihan yang sangat dalam di senyumnya.
“Kagami-kun!!” seru Kuroko. “Ku, Kuroko?” aku tersadar kembali dengan sahutan Kuroko dan Kagami hingga akhirnya sosok Kinako sudah menghilang, Hah!? Kemana dia? Kemana Kinako pergi?
Jantungku mendadak berdetak tak karuan, hatiku sakit melihat senyum yang ditunjukannya, senyum yang sangat persis seperti Kohane hanya saja tersirat sebuah kesedihan yang sangat dalam di senyumnya.
“Kagami-kun!!” seru Kuroko. “Ku, Kuroko?” aku tersadar kembali dengan sahutan Kuroko dan Kagami hingga akhirnya sosok Kinako sudah menghilang, Hah!? Kemana dia? Kemana Kinako pergi?
“Ki,
Kinak-chan, pergi?” Tanya Himuro-san di bahuku. “Himuro-san, kau sudah sadar?” sahutku
memastikan. “Un, aku tidak apa-apa. Tulangku sepertinya retak atau mungkin
patah tapi aku baik-baik saja” itu tidak baik-baik saja, Himuro-san.
“Yang lebih penting kita harus pergi dari si—“. Ternyata perkiraanku
salah, Aozaki sudah berdiri di belakangku, hendak menerkam kami yang terlambat
menyadari keberadaanya.
“Mati kau” desisnya penuh kesadisan.
“AKASHI!!”
CRAASSH!
Aozaki
jatuh seketika, darahnya muncrat bertebaran dari arah punggung. Kakiku lemas,
aku tidak tahu apa-apa sampai sosok besar itu tumbang dan kini aku bisa melihat
siapa orang yang menebas Aozaki itu.
“Haah, belum apa-apa kalian sudah seenaknya melakukan hal tolol”.
Sosok wanita berambut hitam panjang sepunggung, puntung rokok terselip di bibir yang digincu merah tua, pakaian formal putih tak berlengan dengan rok span sepaha memerlihatkan kakiknya yang jenjang dengan Highheels hitam mengkilap, dia tampak mengaggumkan tapi auranya mengerikan. Mata magenta itu melirik ke arahku, dia menyarungkan katananya lalu dengan santai menghampiri kami, siapa dia? Kawan? Atau lawan?
“Kurasa aku belum begitu terlambat,kan?” tukasnya lembut.
“Kau nyaris membuat jantungku melorot karena kau terlambat, ralat, kita terlambat” sahut sosok dibalik tudung dengan jubbah berwarna coklat. Eh, suara ini.
“Maaf
membuat kalian semua menunggu, AKASHI”
“MI, MIDORIMA!” pria berambut hijau itu menyunggingkan senyum seraya membuka tudungnya, bersama dengan wanita tersebut kami hanya dibuat ternganga heran.
“MI, MIDORIMA!” pria berambut hijau itu menyunggingkan senyum seraya membuka tudungnya, bersama dengan wanita tersebut kami hanya dibuat ternganga heran.
Apakah masih ada
hal lain yang harus kami ketahui? Lalu,
Siapa
wanita yang bersama Midorima ini?
Langganan:
Postingan (Atom)
PENGALAMAN MAGANG DI CCA
Selamat datang, 'selamat menikmati postingan ini buat kalian yang sedang membacanya, ya kalian, siapa lagi? sudah lama blog ini diting...

-
FFN. CODE 4 . 黒子のバスケ FESTIVAL KEMATIAN — SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)— “Snow fell down when the new year fall ...
-
FFN. CODE 4 . 黒子のバスケ FESTIVAL KEMATIAN — SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)— “Midnight was coming, the nightmare was...