FFN. CODE 4. 黒子のバスケ
FESTIVAL
KEMATIAN
—SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
“Midnight was coming, the nightmare was waiting,They always stay with you when you closed the eyes and hide under the blanket”.
—SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
“Midnight was coming, the nightmare was waiting,They always stay with you when you closed the eyes and hide under the blanket”.
DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI
FESTIVAL 6 : KUDARASHI(蔵出し)
“DELIVERY”
“DELIVERY”
“Aku ingin hidup bersama teman-temanku dengan bahagia,
keinginanku hanya satu. Yaitu membawamu ke taman bermain dan menaiki bingalala,
sayangnya, itu tak akan bisa terwujud dengan mudah… saat ini…”
黄瀬良太
(Kise Ryouta)
黄瀬良太
(Kise Ryouta)
IN OTHER SIDE STORY
KISE RYOUTA
—The story that nobody know—
—The story that nobody know—
Mendengarkan cerita Saya-san membuatku sadar.
Selama ini, ya, selama ini kedua anak kembar itu tidak pernah mendapatkan banyak kebahagiaan. Saya-san berusaha untuk mengurangi penderitaan mereka dan melanjutkan perjuangan Shuuma-san sendirian dari belakang, mungkin Kinakocchi berpikir bahwa selama Kohanecchi hidup nyaman dan tercukupi itu sudah lebih dari apapun, Kinakocchi tidak pernah mengharapkan belas kasih orang lain ataupun meminta belas kasih itu, dia bekerja dan berusaha untuk mengatasi semuanya sendiri. Aku selama ini mencoba mengikuti jalan pikir Kinakocchi dan yang aku tangkap adalah ; selama adikku bahagia dan tidak ada masalah, aku tidak keberatan kemalangan datang padaku asal jangan adikku, dan aku tak pernah mengharapkan adanya kebahagiaan untukku meski ada yang memberikannya.’
Selama ini, ya, selama ini kedua anak kembar itu tidak pernah mendapatkan banyak kebahagiaan. Saya-san berusaha untuk mengurangi penderitaan mereka dan melanjutkan perjuangan Shuuma-san sendirian dari belakang, mungkin Kinakocchi berpikir bahwa selama Kohanecchi hidup nyaman dan tercukupi itu sudah lebih dari apapun, Kinakocchi tidak pernah mengharapkan belas kasih orang lain ataupun meminta belas kasih itu, dia bekerja dan berusaha untuk mengatasi semuanya sendiri. Aku selama ini mencoba mengikuti jalan pikir Kinakocchi dan yang aku tangkap adalah ; selama adikku bahagia dan tidak ada masalah, aku tidak keberatan kemalangan datang padaku asal jangan adikku, dan aku tak pernah mengharapkan adanya kebahagiaan untukku meski ada yang memberikannya.’
Sedih? Tentu saja!
Aku tak bisa
membiarkan anak itu kelayapan sendiri, menanggung semua ini sendirian sementara
aku enak-enakan tidur di futon dan
melihat salju mereda. Eh, salju ternyata sudah mereda rupanya. Aku yang
terduduk tegak di Futon melihat
teman-teman menyimak tanpa suara cerita Saya-san sementara Mayuzumicchi
masih tertidur tak jauh dariku. Kebetulan karena ruangan ini luas dan aku
ditempatkan rada pojok dekat pintu geser, aku merangkak dan menggeser perlahan pintu
di samping kiriku dan kini aku sudah di luar mencoba untuk tidak mengundang
perhatian mereka, aku butuh sendirian dan angina segar.
Dari kamar kau akan
mendapati lorong dengan lantai linoleum*(lantai
kayu yang dipernis halus) yang panjang dan berbelok mengarah ke halaman
depan, jadi kalau kita mengikuti arah lantai ini maka kita akan sampai di
gerbang utama. Lantai linoleum ini lebarnya tidak begitu besar tapi cukup untuk
duduk-duduk di sepanjang pinggirnya, dari sini aku bisa melihat pekarangan yang
sangat putih ditutupi salju tebal. Duh, aku tidak bawa jersey-ku yang ada di gantungan baju jadinya menggigil seperti ini
bahkan hebusan napasku bisa kulihat secara jelas di depan mata.
“Kinakocchi… kau dimana…?
“Di sini…”
DEG! Suara yang sayup-sayup mengambang di udara membuatku tergelak, suara yang tenang dan terkesan jutek tapi hangat. Srek-srek… Aku melihat semak di depanku bergerak. Jantungku kalut, antara banyak perasaan bercampur aduk dan kepalaku nyaris meledak! Bagaimana kalau di semak itu muncul Kinakocchi? Apa yang harus kukatakan padanya? Tidak, aku tidak mau membuatnya tambah menderita tapi hatiku terlalu sakit menahannya, apalagi mengingat kejadian enam bulan lalu di Teikou. Rasanya melihat sosoknya saja hatiku sudah seperti diremas-remas.
“Meoww….”. “Huh? Itu kan… Saya?”
yang kumaksud bukan ibunya Kinakocchi tapi kucing hitam bermuka bête dengan lonceng kuning di
lehernya sedang keluar dari semak-semak dan melihatku. Entah kenapa meski
kucing hitam berwajah aneh ini tampak selalu memasang wajah sengit namun dia
tidak pernah mau jauh dariku, kucing aneh seaneh pemiliknya. Sekalinya aku pernah
memergoki kucing ini sedang asyik tidur di atas handuk olahragaku dan aku tak
tahu darimana dia datang.
“Masa kau ada di sini, sih? Jangan bilang yang menyahutiku itu kau,ya?” tanyaku sembari mengangkatnya yang sedari tadi bermanja-manja di kakiku yang tak beralas. Huh, aku mencari majikanmu tahu..,bukannya kau. Sementara aku menatap salju-salju berjatuhan dari atas langit selama sepuluh menit tiba-tiba telinga Saya berdiri, dia membuka matanya yang berwarna almond lalu menatap lurus kea rah sebuah pohon.
“Saya? Ada apa? Hei, waaah! Jangan ke sana…” aku menyusul Saya dengan tergopoh-gopoh karena lukaku masih basah menimbulkan rasa perih menusuk.
“Saya… kau dimana? Jangan berkeliaran…” sahutku lemas, aduh, aku harusnya bilang pada Midorimacchi untuk tidak menambah kadar obat bius di tubuhku ini.
“Meow…!” aku sampai di sebuah pekarangan bunga yang terletak di balik pohon besar itu, pekarangan yang dipenuhi bunga-bunga Daffodil putih di atas lahan yang tak begitu besar. angin musim dingin menerpa surai-surai rambutku yang agak basah karena keringat dan salju mencair. Saya melesat ke tengah-tengah kumpulan bunga Daffodil dan aku menemukan… menemukan sosok berambut hitam yang memeluk kucing sehitam rambutnya itu. Dia tetap memakai jersey miliknya hanya saja dia menggunakan rok lipit berwarna kelabu, banyak perban di bagian tangan juga kaki, lalu yang tak akan pernah kulupakan itu adalah luka bakar di sisi kiri wajah juga warna mata ruby yang selalu menatap dingin ke siapapun.
Kami terdiam dan membeku sangat lama. Kucing bête itu seolah-olah memberi kode untukku mengatakan sesuatu atau ini bakal berakhir menyakitkan, dasar kucing menyebalkan, aku juga tahu harusnya aku tersenyum dan menyapanya seperti biasa tapi semua hal yang biasa kulakukan malah berbalik menjadi tidak biasa.
“Kau…” Aarrgh! Entah kenapa hanya dengan mendengar satu kata itu membuatku ingin menangis! Hatiku mencelus dan rasa nyeri menyebar seperti racun, “Kau terlihat lebih baik….” Oke ini tidak lucu, aku harus menahan diri untuk tidak berlari memeluknya. “…..” Ayolah! Ayo katakan sesuatu Kise Ryouta! Kau seorang ACE! Masa berhadapan dengan gadis kecil yang notabenenya adalah teman semasa SMP-mu ini malah membuatku mati kutu?
“Ak..aku…”
“Maafkan aku…” Oh, Shit! Kata-kata itu menghujam ulu hatiku, kenapa dia musti minta maaf?
“Maafkan atas segalanya, kalian tidak perlu memojokkan Midori-nii lagi. Aku sudah melihatnya, aku bersyukur Haha-Ue hidup sehat dan bertemu kalian. Aku tak tahu harus bagaimana dan kau bebas membenciku apalagi mungkin Kagami-nii bakal marah besar sekali. Tapi tolong aku ingin kalian menjauh dari segalanya, aku tak akan membuat alasan sekuat ini hanya demi pertemanan,” gadis itu menatapku dengan sangat teduh, mata yang tidak pernah kulihat selama ini,
“Chichi-Ue, Kohane, sudah tidak ada. Aku tidak mau kehilangan lagi,
terutama… KAU. Ryouta…” Kali ini
tanpa banyak cingcong aku sudah berada di depannya, menangkap gadis mungil yang
masih tertegun tak berkutik di dalam pelukanku.
“Ryo,Ryouta? Lepas—“.
“Tidak.” Jawabku
tegas. Kuambil napas panjang lalu memperat pelukanku, “Aku, aku sudah tidak
peduli apa yang terjadi padaku. Aku terus menunggu, menunggumu datang dengan
wajah masammu seperti biasa lalu mengejekku halus di setiap kata-katamu. Aku
ingin kau mengangguk ketika aku mengajakmu pergi ke taman bermain dan naik
Bianglala bersama… aku tidak peduli dengan mimpi buruk ini. Sekalipun aku harus
terluka aku tetap akan memastikan kau kembali padaku.. bukannya aku pernah
bilang? Apapun yang terjadi aku akan bersamamu, akan kubawa kau pergi kemanapun
selama kita bersama…!” Aku bisa merasakan gadis itu sedikit menegang tapi tidak
kulonggarkan eratanku di tubuhnya(sementara Saya enak-enakan tidur di
pelukannya). Hanya ada hembusan angin bergemerisik menerobos dedaunan yang
arang-arang di pohon menemani kami yang masih terus saling menempel seperti
perangko dan surat.
“Ryouta… kau menganggap omonganku serius waktu itu?” tanyanya.
“Huh? Yang mana?” tanyaku balik. Kulihat wajahnya memerah seperti tomat, entah akibat dingin atau penyebab lainnya. Tiba-tiba kejailanku muncul, “Soal itu…!” tegasnya.
“Aku selalu menganggap apa yang kau katakan padaku itu serius…” senyumku.
“Kalau aku bilang itu bohong?” tukasnya gemetar.
“Kau bisa bilang demikian tapi tampaknya wajah dan perasaanmu tidak bicara seperti itu.”ujarku senang.
“Kau curang….” Sengitnya. Aha! Aku mendapatkan sifat kikuknya masih menempel
setia di dirinya itu. Namun sekilas aku menangkap ada sosok bersembunyi di
balik pohon tak jauh dari kami, helai rambut berwarna orange itu terhempas oleh
angin dengan tenang.
“Hei, ayo kembali…” wajah gadis itu membeku sesaat.
“Apa maksudmu?”
“Hei, ayo kembali…” wajah gadis itu membeku sesaat.
“Apa maksudmu?”
“Jangan pernah merasa kau tak memiliki tempat, kau punya kok. Kembalilah, kita hadapi ini semuanya bersama-sama dan biarkan aku melindungimu.” Tiba-tiba dia menyentakku dan aku nyaris terjengkang karena lukaku kembali menjerit-jerit. “Jangan konyol!” bentaknya. “Aku.., kau pikir masalah ini hanya seperti masalah spele? Jangan bercanda, kalau kau salah langkah maka kalian juga kau akan mati!” Aduh, kenapa sih cewek ini punya tempramen yang benar-benar sulit dikendalikan setidaknya biarkan momen-momen tenang tadi berjalan agak lama.
“Tapi, kalau kau bergerak sendirian maka kau yang akan tewas. Kau tidak berpikir kalau kau tewas siapa yang bakal sedih!?” Aku tak kalah sewot.
“Diam! Kau tidak pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan, kau hidup normal! Jangan bicara seolah-olah kau tahu segalanya soal aku, kau bukan siapa-siapa dalam hidupku!” Crap, kata-kata itu terlalu sakit menusuk hati ini tapi aku mencoba untuk tegar dan dengan segenap perasaan tersisa kukepalkan tangan untuk melawan argumennya.
“Aku memang tidak tahu! Aku juga bukan sok tahu, aku hanya ingin melindungimu! Apa itu salah!? Memangnya aku salah apa sampai kau setidak sukanya padaku. Aku pernah salah padamu? Aku salah apa, kalau aku salah coba katakan dimana kesalahanku dan berhentilah jadi kepala batu!” dengan wajah songong aku menatap manik mata itu tanpa gentar, dia terdiam kemudian dengan gerakan mengerikan dia sudah mencengkram kerah bajuku. Baiklah, apa aku akan ditusuk atau dihajar sampai sekarat olehnya? Tapi bukan pukulan yang kudapat tapi sesuatu yang mungil dan lembut tiba-tiba mendarat di bibirku.
EH? Pelan tapi pasti aku bisa merasakan sesuatu yang lembut itu berada di sana, agak lama hingga bibirku terasa hangat dan panas daripada sebelumnya.
“Akan kukatakan apa salahmu, kau sudah membuatku jatuh cinta padamu! Dasar bodoh..”
Dia berbalik dan kemudian berlari
hingga menghilang dibalik rimbunan semak belukar. Aku masih tercenung seperti
orang bodoh di tengah-tengah bunga-bunga yang menari-nari diterpa angin, kuraba
mulut atau lebih tepatnya bibirku sampai hawa panas menjalar di wajahku ini.
DIA
MENCIUMKU!! KINAKOCCHI ..MENCIUMKU!
Aku
langsung menutup mulut, entah sejak kapan juga mataku ini mulai basah hingga
aku tak sanggup berdiri lalu lungai terduduk di atas tanah, “kalau kubilang itu bohong?” Itu tidak
bohong! Kau mengatakannya tapi kau mencoba melepaskan perasaan itu, kau mencoba
memutuskan perasaan itu hingga menyiksamu sendiri. Seharusnya kusadari sejak
lama perasaannya, lalu merenggutnya agar dia tidak pergi dariku seperti
sekarang.
Jangan pergi…! Kumohon! Akan kubuktikan kalau perasaanmu itu bukanlah kebohongan!
Aku menangis di bawah salju yang terus turun tanpa henti jatuh ke bumi.
Jangan pergi…! Kumohon! Akan kubuktikan kalau perasaanmu itu bukanlah kebohongan!
Aku menangis di bawah salju yang terus turun tanpa henti jatuh ke bumi.
BACK TO 15 YEARS AGO
YUKIHIRA SHUUMA
Taman bermain—11.00 p.m
Taman bermain—11.00 p.m
Hal
terakhir yang kulihat adalah sosok besar hitam menerjangku.
Setelah merasa kalau si hitam—maksudnya karena aku tak bisa melihat siapa sosoknya itu—menghajar kepalaku dengan sesuatu atau senjata dan sepertinya dia juga menusuk ulu hatiku hingga aku ambruk ke tanah. Teriakan Saya adalah hal yang terakhir pula kudengar lalu segalanya kembali hitam, taka da yang kudengar bahkan aku tak melihat apapun sekalipun mataku sepertinya masih setengah terbuka terlebih air hujan mengguyur dengan deras hingga membuat lukaku mengalirkan banyak darah. Holy shit, rasa sakit tampak tidak lagi bisa kurasa atau kuraba saking mengerikannya luka ini. Niat hati ingin menolong kenapa malah aku yang di bawa ke rumah sakit sih?
“Hei, sudah bangun rupanya…” Aku terkesiap menyadari kalau sosok itu duduk di samping ranjangku, maksudku dia sedari tadi menguliti apel yang dipegangnya tanpa menoleh padaku, sementara mataku masih terlalu sulit melihat dalam kecerahan seperti ini. “Ung, yaah…anu, apa yang terjadi?” tanyaku linglung, Saya tidak menyahutiku namun suara kupasan Apel masih terdengar jelas. “Hei, Saya?” Panggilku untuk kesekian kalinya. “Kau dapat luka tusuk tapi tidak dalam kok, memang sempat menusuk bagian vital tapi tidak sampai membuatmu harus di kubur.” Omongannya itu punya banyak makna antara kejam dan perhatian ketika aku baru sadar sekarang aku sudah d rumah sakit dengan infus d tangan kiriku ini. Selama hampir sepuluh menit kami tidak bicara dan kuperhatikan lagi ternyata ada sesuatu yang berbeda dari diri orang yang diam-diam kutaksir ini, wajahnya! Di wajahnya sebuah perban menyerong dari arah kanan kea rah bagian mata kirinya hingga membalut kepalanya. Mataku terbelalak melihat wajah manis dan cantik kini sudah dibalut seperti mumi di hadapanku(dan masih sempat-sempatnya mengupas apel dengan tenang).
“Oi! Saya, kenapa wajahmu itu? Apa yang—.”
“Di saat si pelaku menusukmu sebenarnya dia hendak menebasmu lagi tapi aku berhasil menghalau tebasan keduanya tapi sayang aku kurang hati-hati makanya jadi punya luka yang kata dokter bakal permanen, jangan khawatir, lukanya tidak dalam hanya saja menimbulkan bekas yang lumayan abadi…” penjelasannya membuatku melongo, gadis ini mendorongku lalu mengorbankan wajahnya sendiri?! Yang benar saja, aku bahkan tidak bisa berkutik ketika itu terjadi.
“Ke, kenapa kau….”
“Langsung saja, kau orang pertama yang mau rela-rela mendekatiku. Kupikir selama ini kau hanya orang lemah dari keluarga bangsawan tapi ternyata itu salah. Ng, aku tahu soal dirimu dari Chichi Ue. Semuanya juga, jadi….” Saya berhenti sejenak dan menaruh apel yang baru setengah jalan dikupasnya, “Jadi aku merasa…aku tidak bisa mengabaikanmu. Aku.. ingin sedikit saja di sisimu, kurasa kau bakal tertawa kalau aku mengatakannya. Aku menyukaimu, satu hal lagi, wajahmu itu tidak baik untuk jangtungku..” tandas Saya. Sementara aku (masih) melongo seperti orang bodoh, wajah Saya yang menunduk seperti hantu sumur itu merah padam nyaris seperti rajungan rebus.
“Pfft….
Ahahahah…! Yaampun, aku kira kau mau bicara apa. Kau menarik, setidaknya…
perasaanku juga sama dengamu kok. Wajahmu itu membuatku meleleh…” Aku tertawa
lepas spontan dan tak tahu bagaimana
wajahku ini di depannya karena Saya memberikan ekspresi yang tak dapat
kudeskripsikan.
“Jadi….?” Tanyanya kikuk. “Sudah jelas,kan? Jangan tinggalkan aku dan tetaplah di sisiku,ya?” pertemuan yang aneh dan agak terdengar konyol tapi aku… sedikit saja, ingin membahagiakan anak ini. Boleh,kan? Aku boleh berada di sisinya… selama umur dan napas ini masih ada di bumi. Dari saat itulah kisah romantic terjadi di antara kami, kami tidak pernah saling menuntut untuk terus membahagiakan, selama Saya tetap di sisiku itu juga cukup, dan lagi aku masih harus bicara pada adikku, KARASU YUKIHIRA atas semua kejadian yang menimpa kami di tengah hujan badai. Akan kujelaskan sedikit, Karasu adalah anak yang pendiam, dia lebih sering mengurung diri ketimbang bergaul dengan anak-anak seusianya, lalu ada satu hal yang selama ini membuatku kuatir. Karasu terlihat tidak biasa, kecenderungannya dalam menyukai hal-hal sarkrastis, darah, psikopatik, dan semua yang agak abnormal bagiku rada berbahaya apalagi Oyaji juga Oka-san sudah sering membawanya ke Psikiater tapi nihil.
“Jadi….?” Tanyanya kikuk. “Sudah jelas,kan? Jangan tinggalkan aku dan tetaplah di sisiku,ya?” pertemuan yang aneh dan agak terdengar konyol tapi aku… sedikit saja, ingin membahagiakan anak ini. Boleh,kan? Aku boleh berada di sisinya… selama umur dan napas ini masih ada di bumi. Dari saat itulah kisah romantic terjadi di antara kami, kami tidak pernah saling menuntut untuk terus membahagiakan, selama Saya tetap di sisiku itu juga cukup, dan lagi aku masih harus bicara pada adikku, KARASU YUKIHIRA atas semua kejadian yang menimpa kami di tengah hujan badai. Akan kujelaskan sedikit, Karasu adalah anak yang pendiam, dia lebih sering mengurung diri ketimbang bergaul dengan anak-anak seusianya, lalu ada satu hal yang selama ini membuatku kuatir. Karasu terlihat tidak biasa, kecenderungannya dalam menyukai hal-hal sarkrastis, darah, psikopatik, dan semua yang agak abnormal bagiku rada berbahaya apalagi Oyaji juga Oka-san sudah sering membawanya ke Psikiater tapi nihil.
“Dia hidup di lingkungan yang baik tapi entah kenapa ada satu sisi dimana dia tidak bisa menerima lingkaran hidup baru di dalam diri dan kepribadiannya. Maksudnya, dia tidak bisa menerima kehidupan membahagiakan yang dapat membentuk kepribadiannya sehingga menjadi lebih baik, malah dia semakin menolak kehidupan itu danterus hidup dalam dunianya sendiri. Dia akan sulit menerima mana yang benar dan mana yang salah.” Kira-kira begitulah kata Psikiater terakhir yang kami kunjungi.
Kesimpulannya,
Karasu sulit membuka hidupnya yang
penuh drama horror fantasy yang sadis dan yang lebih berbahaya mungkin bakal
dipraktikannya di dunia nyata. Jujur aku tak mau berspekulasi yang tidak-tidak
tapi aku ingin bicara dengannya, meski kami kakak adik, dia tampaknya sangat
menjauhiku entah karena efek dibanding-bandingkan
aku juga tak tahu.
“Kau yakin mau membuat adikmu buka mulut?” Tanya Saya.
“Mau tidak mau, Karasu memang anak yang sedikit labil….” Jawabku sekenanya.
“Aku punya firasat tidak baik, kalau boleh aku ikut dengamu.” Anak ini memang tidak bisa diajak basa-basi. “Kau yakin? Masuk ke sarang macan.” Tanyaku jail. “Setidaknya aku masih berharap bisa membawamu keluar hidup-hidup dari rumah sakit.” Oke, dia benar-benar keren, entah omongannya atau imajinasinya yang kelewat sado. Akhirnya setelah dua setengah hari terkapar akupun kembali ke sekolah dengan sambutan seram dari Tora. Aku terpaksa berbohong (sedikit) mengingat dia tak akan mungkin percaya jadi kukatakan saja kalau beberapa hari lalu aku kecelakaan dan harus opname dua hari lebih sedikit. Sementara Saya mengatakan pada Ryuu kalau dia jatuh dari tangga(alasan klise namun ampuh untuk membodohi orang bodoh).
“Kau yakin mau membuat adikmu buka mulut?” Tanya Saya.
“Mau tidak mau, Karasu memang anak yang sedikit labil….” Jawabku sekenanya.
“Aku punya firasat tidak baik, kalau boleh aku ikut dengamu.” Anak ini memang tidak bisa diajak basa-basi. “Kau yakin? Masuk ke sarang macan.” Tanyaku jail. “Setidaknya aku masih berharap bisa membawamu keluar hidup-hidup dari rumah sakit.” Oke, dia benar-benar keren, entah omongannya atau imajinasinya yang kelewat sado. Akhirnya setelah dua setengah hari terkapar akupun kembali ke sekolah dengan sambutan seram dari Tora. Aku terpaksa berbohong (sedikit) mengingat dia tak akan mungkin percaya jadi kukatakan saja kalau beberapa hari lalu aku kecelakaan dan harus opname dua hari lebih sedikit. Sementara Saya mengatakan pada Ryuu kalau dia jatuh dari tangga(alasan klise namun ampuh untuk membodohi orang bodoh).
“Ryuu benar-benar polos, aku tak tega melihatnya.” Ujarku ketika Saya menemani pulang ke rumah, rencananya kami hendak menemui Karasu (yang entah malah kelihatan menyeramkan padahal aku tinggal serumah).
“Aku tak mau melibatkannya, maaf saja, meskipun dia salah satu anggota keluarga Houkutou Shichisei aku tak ingin masalah ini sampai menyebar pada keluarga inti lainnya.” Sungguh bijaksana.
Kami
sampai di rumah—rumahku—yang sederhana dan tampak biasa saja. Hanya ditumbuhi
beberapa Bunga Sakura yang sedang gundul akibat peralihan musim, aku tak
menyangka ini tahun kedua kami di SMA, sebentar lagi mungkin kami akan menghadapi
ujian. Aku was-was melihat sekeliling rumahku yang biasanya cerah sekarang
sedikit temaram akibat awan mendung, ugh, kenapa aku jadi parno? Aku mendengar
Saya mengikik kecil di sampingku, sialan, harusnya aku tahu gadis ini memang
sangat sensitive pada perubahan di sekitarnya.
“Mau masuk? Atau kau harus berlagak jadi pahlawan penerobos pintu geser di rumahmu sendiri?” Huh! Lihat saja, aku bisa melindunginya jadi aku membuka pintu depan kemudian tak ada sambutan apapun dari penghuni rumah… eh? Kemana mereka? Saya mengampit lenganku dan tampaknya sudah bersiap mengeluarkan katana-nya. Aduh semoga mereka baik-baik saja, baik ayah maupun ibu. Kami tidak menemukan tanda-tanda kehidupan, aku tak menemukan riuhnya para asisten ibu yang memasak di dapur, sampai kami menemui lorong dan menemukan jalan menuju paviliun rumah bagian belakang. “Shuu, kakimu.” Saya berbisik menunjuk kakiku yang berbalut kaos kaki yang tadinya putih sekarang berubah menjadi kehitaman. Bukan! Ini darah! Mendung saja yang membuatnya nampak hitam, tapi cairan ini kental dan berbau anyir!
“SHUU..!”
Aku tak memerdulikan peringatan Saya, aku langsung menerobos masuk ke dalam
bangunan dengan mengambil sebuah pedang yang tergeletak tak jauh dari pintu
depan. Kudobrak pintu itu dan menemukan pemandangan paling mengerikan sepanjang
hidupku ini. Aku melihat… Ayahku sedang merangkak ke arahku dengan kedua kaki
putus, Ibuku tergeletak dengan kepala penuh darah sementara beberapa asisten
ibu dipaku di dinding sepanjang ruangan. Dan yang sedang berdiri dengan tangan
penuh darah dan pedang di tangannya itu tentu dengan wajah dingin bukan seperti
biasanya.. menatapku nanar dan sinis.
“Haiii….Aniki, kau terlambat, aku sedang membuat karya seni.. edisi bulan ini adalah edisi untuk pembukaan gerbang sebelum pesta pelepasan.” Astaga! Demi apa, kenapa adikku yang sehari-hari normal dan tampak kalem sekarang menjadi manusia tak berhati dengan seragam sekolah SMP –nya ini? Apalagi kami memang tidak begitu mirip, rambut dia belum dirombak sepertiku yang rada bengal hanya saja potongannya tidak jauh beda! Aku seperti melihat sisi lain kecil diriku yang seperti boneka kutukan!
“Ughhh…. Shuu..la..ri..”. “Ayah!!” Aku terkejut kala beliau masih menggapai-gapaiku dengan kaki penuh darah, aku langsung melesat bak angin ketika Karasu hendak menyerang kembali. Dia bukan adikku, dia orang sinting!
“KARASUU! Hentikan…!” teriakku setelah menjauhkan ayah dari kami, aku menangkis pedang pendeknya yang sudah berlumur darah—entah darah siapa—hanya satu hal yang kupikirkan sekarang ; mengalahkan KARASU.
“Kenapa Aniki? Bukankah Aniki senang dengan kirimanku beberapa hari lalu? Mereka anak-anak yang manis,kan?” tuturnya perlahan. DEG! Makhluk hitam yang kemarin itu, jangan katakan…jangan katakan kalau itu. “Kau yang mengirim iblis gila itu?” desisku.
“Aku mengirim mereka untuk hadiah, kebetulan aku menemukan Buku bersampul coklat yang bertuliskan PERSEMBAHAN SETAN UNTUK FESTIVAL KEMATIAN. Jadi boleh dibilang aku membuat sedikit percobaan, pergi ke sebuah kuil di daerah Miwarigumi lalu membuka segel terlarang dan membuat sedikit ritual. Aku hanya ingin memamerkan hasil eksperimenku ini, jiwa-jiwa pilihan memang produk terbaik.” Damn, Shit! Karasu benar-benar sudah di luar kendali, sekarang aku paham apa yang terjadi. “Kau, selama berapa tahun kau sudah merencakan ini bocah tolol?” geramku tetap dalam posisi bertahan(aku tak tahu kemana Saya).
“….” Karasu diam. “Jawab aku, adik tidak punya otak! Katakan sejak kapan—.” Ups! Aku langsung menghindar ketika Karasu melemparkan sebuah pisau pemotong kue yang cukup tajam melesat beberapa senti di pipiku.
“Sudah lama, sekitar SD kelas 5. Aku menemukan buku itu di ruang perpustakaan ayah. Sayangnya ayah melarang dan langsung memarahiku kala aku hendak membacanya. Aku mengambilnya diam-diam, membuka satu persatu isi bab itu, tidak ada yang spesial tapi semakin lama banyak suara yang menyuruhku untuk terus membaca. Akhirnya aku mencoba mengikuti tiap detail buku, sampai di dalam Festival Akagosai tahun pertama SMP aku mulai berani melakukannya, memanfaatkan setiap momen festival konyol itu untuk mengundang para anak-anak untuk dijadikan makanan untuk… Maou-sama*(raja kegelapan).” Aku tercekat, napasku langsung kutahan mendengar cerita gila Karasu yang masih berusia 15 tahun.
“Aku
pikir menyiksa anak kecil bukan perbuatan baik, makanya aku ragu tapi semakin
kemari wajah kesakitan mereka semakin menyenangkan. Entah kenapa aku yang bosan
pada hidup monoton keparat ini bisa menikmati begitu dalamnya arti sebuah
kehidupan, dan mulai saat itu aku… terus mengumpulkan mereka, mengumpulkan para
jiwa-jiwa kedengkian dan terus mengurung para anak-anak untuk dijadikan persembahan. Lantas di dalam buku, Maou-sama mengatakan untuk
menyempurnakan mereka kita harus menghabisi setiap jiwa terdekat dalam hidup,
tak lain tak bukan….” Aku tak perlu menebak apa kelanjutan kata-katanya itu.
“Kau benar-benar harus dibersihkan,ya?” sahutku sinis.
“Mungkin aku yang akan membersihkanmu duluan…” Aku terhenyak tepat ketika Karasu mengayunkan tebasan mautnya dari arah kiri, aku menangkisnya meski kalah tenaga(maklum aku habis sakit). “Karasuu…! Buka matamu! Kau ini kenapa…?” teriakku di sela-sela adu pedang. “Aku baik-baik saja Aniki, aku tidak kenapa-kenapa.” Senyum tulusnya itu makin membuatku bergidik ngeri, kenapa adikku bisa berubah menjadi psikopat gila seperti ini? Apa aku kurang menyayanginya, tapi aku terus memerhatikannya dari kecil lantas apa yang kurang?
“Kau benar-benar harus dibersihkan,ya?” sahutku sinis.
“Mungkin aku yang akan membersihkanmu duluan…” Aku terhenyak tepat ketika Karasu mengayunkan tebasan mautnya dari arah kiri, aku menangkisnya meski kalah tenaga(maklum aku habis sakit). “Karasuu…! Buka matamu! Kau ini kenapa…?” teriakku di sela-sela adu pedang. “Aku baik-baik saja Aniki, aku tidak kenapa-kenapa.” Senyum tulusnya itu makin membuatku bergidik ngeri, kenapa adikku bisa berubah menjadi psikopat gila seperti ini? Apa aku kurang menyayanginya, tapi aku terus memerhatikannya dari kecil lantas apa yang kurang?
“Karasu, kau lelah dibanding-bandingkan?” tanyaku.
“Aku tak butuh dibanding-bandingkan dengan orang payah sepertimu..!” Aku terlempar menabrak tembok beton, yaampun sepertinya tulang belakangku patah. “Shu…! Karasu..hentikan..!” kudengar lirihan Ayah dari pinggir, huh, kaki Ayah sudah dibalut perban dan…kemana Saya? Aku tak melihatnya.
“Orang tua diam saja, ini harus segera diselesaikan.” Sial, harusnya aku tidak dekat-dekat dengan tembok dan sekarang aku malah tidak bisa bergerak.
“Aku tak butuh dibanding-bandingkan dengan orang payah sepertimu..!” Aku terlempar menabrak tembok beton, yaampun sepertinya tulang belakangku patah. “Shu…! Karasu..hentikan..!” kudengar lirihan Ayah dari pinggir, huh, kaki Ayah sudah dibalut perban dan…kemana Saya? Aku tak melihatnya.
“Orang tua diam saja, ini harus segera diselesaikan.” Sial, harusnya aku tidak dekat-dekat dengan tembok dan sekarang aku malah tidak bisa bergerak.
“Aniki, sepertinya tanganmu sudah
capek,ya? Bagaimana kalau aku menolong untuk merenggangkannya.” Aku berteriak
tertahan tepat ketika Karasu menginjak tanganku yang memegang pedang, apa aku
bakal mati di tangan adik kandungku sendiri? “Ucapkan selamat tinggal, Aniki..”. Kupejamkamkan mata menunggu
apa yang berikutnya terjadi, namun detik berikutnya yang kudengar adalah
jeritan melengking Karasu akibat tangannya terpotong secara brutal, tak lupa
darah bermuncratan kemana-mana. Karena kondisi gelap aku tak begitu menangkap
apa yang terjadi di dalam adegan secepat kilat itu dan yang paling membuatku
terbelalak adalah ketika kedua kaki Karasu terpotong seperti daging Ham. Kaki-kaki
itu melayang lalu jatuh menimbulkan bunyi gedebuk ngeri, darah Karasu sudah
berhamburan hingga aku pun juga kena.
“Boleh
kukatakan kalau Mata dibayar oleh mata,
kaki di bayar oleh kaki, dan NYAWA DIBAYAR OLEH NYAWA. Jadi tolong jangan permainkan
nyawa-nyawa di sekitarmu atau kau mau kehilangan seluruh anggota gerak tubuh
brengsekmu itu?” Suara yang dingin, Karasu mendelik dengan tatapan nyalang ke
arah oknum yang bahkan lebih sadis daripada dirinya, paras ayu menyimpan sejuta
kengerian, wajah Saya dengan perban menyerong dan sepasang mata merah berpendar
bak monster di balik kegelapan. Bagus, sekarang aku dikelilingi banyak monster.
“Keparaatt….aarrrghh…. kubalas kau..wanita..ja—.”
CRASSH..! Aku menatap horror kala Saya dengan entengnya memotong
satu lagi tangan Karasu yang tersisa, tangan kiri Karasu—tangan adikku yang
masih tersisa—kini sudah terpotong hingga meninggalkan lengannya saja. Dia
meraung-raung, menggelepar-gelepar karena sudah tak bisa lagi mengayunkan
pedang atau berlari mengejar kami. “Brengseeekkk..!! aku..aku akan..mengutuk
kalian…! lihat saja nanti..! arrggh..!” Sekali lagi dengan tendangan super,
Saya melayangkan tendangan keras ke arah dagu Karasu hingga badan cilik itu
terhempas jauh dan menggelinding ke dekat tiang kayu.
“Aku
tak takut dengan ocehanmu, bocah keparat.”
“Saya, hentikan. Kumohon…” aku merenggut tangan penuh darah itu, kucengkram erat berharap Saya yang biasanya kembali. “Aku tidak apa-apa, maaf,ya?” Aku menggeleng cepat, ini memang sulit melihat saudara kandungmu terkapar dengan tangan dan kaki terpotong-potong tapi kalau tidak begitu mungkin kami yang terpotong.
“Kita pergi dari sini.” Saya memapahku lalu aku menemukan sosok Ryuu sudah membopong ayahku keluar. “Ryuu…”. “Tenang, rahasiamu aman bersamaku meski aku banyak dibohongi oleh dua sejoli seharian penuh.” Sahutnya ceria, aku tersenyum penuh arti.
Ketika kami sampai di ruang keluarga tiba-tiba terdengar bunyi ledakan
dari arah paviliun belakang. Shit!
Karasu masih bisa meledakkan pemanas di sana, bisa gawat kalau menjalar sampai
ke titik gas lain di rumah ini. Tepat dugaanku, api menjalar dengan cepat dan
menyulut gas-gas juga pemanas lain di rumah, kami langsung bergegas hingga aku
menemukan sosok Karasu bersama segerombolan makhluk hitam membantunya bergerak
melata di sekitar dinding, dia ada.. DIA MENEMPEL DI ATAS RUANG KELUARGA!
“Ani..kiii……ayo kita..bermain bersama…”
Bulu kudukku meremang, sosok Karasu hanya dengan badan tanpa kaki dan tangan
menyatu bersama para gumpalan daging hitam berlemak yang menguarkan suara-suara
aneh, matanya sudah tidak pada tempatnya, yang satu bola matanya menyerong ke
kanan dan yang satu ke kiri dengan mulut berbusa. “UWAAA..!” Teriakan Ryuu
menyadarkanku ketika api sudah berkobar hebat, ayah dan Ryuu sudah berada di
luar tapi aku dan Saya terjebak!
“Cepat lari duluan! Aku akan menghadangnya..!” seru Saya.
“Apa!? Yang benar saja, kau mau aku meninggalkanmu lagi! Tidak! Kalau kau tinggal aku juga!” aku tak kalah nyolot.
“Jangan bersikap egois di saat seperti ini!” sahutnya kesal.
“Aku masih bisa bertarung, aku masih bawa pedang!” selakku.
“SAYA! SHUUMAA…!!”
Tepat
ketika Karasu menyongsong kami dengan pisau daging besarnya, Saya mendorongku
keras sekali hingga aku terlempar keluar dari pintu geser lalu jatuh ke halaman
dengan keras. Detik berikutnya, Saya menusuk Karasu tepat di tenggorokannya
kemudian dia melihatku dan seolah-olah mengatakan ;
“Aku akan menemui kembali.. aku janji..”
Setelah adegan itu titik pemanas terakhir di ruang keluarga meledak dan api langsung membumbung tinggi hingga aku tak tahu lagi harus berkata apa. Tiba-tiba buku bersampul coklat usang terhempas dari kobaran api tapi buku tersebut tidak hangus, tepat di sampingku buku itu jatuh.
“Aku akan menemui kembali.. aku janji..”
Setelah adegan itu titik pemanas terakhir di ruang keluarga meledak dan api langsung membumbung tinggi hingga aku tak tahu lagi harus berkata apa. Tiba-tiba buku bersampul coklat usang terhempas dari kobaran api tapi buku tersebut tidak hangus, tepat di sampingku buku itu jatuh.
“SAYA!!”
Kemudian
pemadam kebakaran datang dan aku langsung jatuh pingsan tak sadarkan diri
selama hampir sebulan di rumah keluarga KIRISHIKI.
Dan aku tak tahu dimana keberadaan SAYA setelahnya…
Dan aku tak tahu dimana keberadaan SAYA setelahnya…
KUROKO TETSUYA
Kuil Yukibana. The Story that Nobody Know
Kuil Yukibana. The Story that Nobody Know
Suhu ruangan semakin turun, aku
memutuskan untuk keluar sebentar.
Akibat kemampuan yang dinamakan Missdirection ini aku nyaris tidak diketahui oleh siapapun, bahkan saking mereka seriusnya aku dengan santai melenggang pergi kea rah pintu geser yang langsung berpapasan dengan halaman samping kuil dan lantai Linoleum yang panjang hingga mengitari kuil mulai dari koridor sayap kiri hingga kanan. Kalian tahu kenapa aku keluar? Karena aku sadar sedari tadi aku tidak menemukan sosok Kise-kun di atas futon, kondisi yang tidak aman membuatku kuatir makanya aku ingin memastikan kemana Kise-kun pergi dengan luka seperti itu tampaknya dia tak akan jauh dari sini.
Akibat kemampuan yang dinamakan Missdirection ini aku nyaris tidak diketahui oleh siapapun, bahkan saking mereka seriusnya aku dengan santai melenggang pergi kea rah pintu geser yang langsung berpapasan dengan halaman samping kuil dan lantai Linoleum yang panjang hingga mengitari kuil mulai dari koridor sayap kiri hingga kanan. Kalian tahu kenapa aku keluar? Karena aku sadar sedari tadi aku tidak menemukan sosok Kise-kun di atas futon, kondisi yang tidak aman membuatku kuatir makanya aku ingin memastikan kemana Kise-kun pergi dengan luka seperti itu tampaknya dia tak akan jauh dari sini.
Sebenarnya agak was-was sendiri,
ingin sekali kuajak Kagami-kun atau
Aomine-kun untuk mencari tapi
tampaknya bakal heboh kalau aku tiba-tiba mengatakan kalau Kise-kun tidak ada di pembaringan, jadi
kuputskan untuk sedikit menghilang dan mencarinya sendiri sebelum yang lain
ricuh karenanya.
“Kise-kun! Kau dimana?” sahutku sekencang mungkin tapi agak jauh dari pintu, tidak ada sahutan, sepertinya aku memang harus sedikit berkeliling di sekitar sini. Salju sudah menumpuk hampir setebal 20 cm, mungkin ketebalannya masih bisa bertambah lagi. Yaampun aku tak tahu harus bagaimana, semua perasaan duka dan sakit masih menggerogoti hatiku, terutama mendengar cerita Saya-san yang pilu tentang masa lalu dan kunci dari kejadian ini. Meski harus bersadar karena ceritanya bakal panjang.
“Kise-kun! Kau dimana?” sahutku sekencang mungkin tapi agak jauh dari pintu, tidak ada sahutan, sepertinya aku memang harus sedikit berkeliling di sekitar sini. Salju sudah menumpuk hampir setebal 20 cm, mungkin ketebalannya masih bisa bertambah lagi. Yaampun aku tak tahu harus bagaimana, semua perasaan duka dan sakit masih menggerogoti hatiku, terutama mendengar cerita Saya-san yang pilu tentang masa lalu dan kunci dari kejadian ini. Meski harus bersadar karena ceritanya bakal panjang.
“Meow…meow..”. Aku terhenyak ketika seekor kucing berwajah(agak)aneh menyapaku dari balik semak-semak.
“Itu… Saya?” Ah, yang kumaksud bukan ibu Kinako-chan ya? Memang keliatan tidak sopan kedengarannya tapi kucing berlonceng emas dengan sepasang mata almond malas itu memang bernama Saya, katanya kedua anak kembar itu yang menamai kucing dengan wajah unik di depanku saat ini.
“Saya, hei mau kemana?” Aku langsung
mengejar kucing hitam berekor panjang yang kembali masuk ke rimbunan semak, aku
susah payah menerobos lebatnya semak sampai menemukan tanah lapang penuh bunga
yang disusun rapi, Bunga Daffodil putih kesukaan Kohane dan Kinako.
“KISE-KUN!” Syukurlah aku menemukan Kise-kun yang terkapar di lebatnya bunga-bunga harum ini. Tampaknya dia hanya pingsan akibat obat, dan sebagian mungkin karena kondisinya masih sangat lemah. “Syukurlah dia tidak apa-apa.” Batinku memerhatikan wajah Kise-kun yang letih dengan mata terpejam, sepertinya dia habis menangis? Apalagi kulitnya yang putih sekarang malah berubah menjadi pucat dan dingin. Aku harus segera membawa Kise-kun kembali sebelum udara malah makin membuat kondisinya memburuk. Tapi… aku tak kuat membawanya sendiri, apa aku harus mengirim pesan ke Aomine-kun(Kalau aku mengirim ke Kagami-kun dia bisa ribut)? Sepertinya itu pilihan terbaik. Kubuka ponsel flip milikku lalu mengetikkan nama Aomine-kun di sana.
SREK…!
Aku terkesiap dan spontan berhenti mengetik setelah aku mendengar suara langkah kaki, dia tak jauh dariku dan tampaknya agak mencurigkan. Kupererat dekapan pada kepala Kise-kun yang lunglai di pahaku, dengan segenap keberanian kutatap orang bertudung putih dengan gerakan yang aneh. Tangan dan kakinya tampak seperti alat bantu gerak, ya, alat yang ditransplanttasi untuk membantu para penyandang cacat yang tak punya kaki atau tangan atau bahkan keduanya.
Aku terkesiap dan spontan berhenti mengetik setelah aku mendengar suara langkah kaki, dia tak jauh dariku dan tampaknya agak mencurigkan. Kupererat dekapan pada kepala Kise-kun yang lunglai di pahaku, dengan segenap keberanian kutatap orang bertudung putih dengan gerakan yang aneh. Tangan dan kakinya tampak seperti alat bantu gerak, ya, alat yang ditransplanttasi untuk membantu para penyandang cacat yang tak punya kaki atau tangan atau bahkan keduanya.
“…..Se…”
Aku mendengar suara dari mulutnya yang berkomat-kamit tidak jelas. “Kise..Ryouta…?” Huh? Apa yang dikatakannya?.
“Apa..kau…tahu..Kise Ryouta…?” orang aneh berusia sekitar mungkin tiga puluhan atau yah sekitar itu mendumelkan perkataan terbata-bata bak robot, suaranya bergetar dan tidak lancar membuatku sedikit gentar. “Apa..kau..tahu..Kise..Ryouta…?” sekali lagi, kenapa harus Kise-kun?
“Kau siapa?” tanyaku kemudian.
“…..” dia hanya diam.
“Anda siapa…?” sedikit kuformalkan pertanyaanku untuk berjaga-jaga.
Tanpa menjawabku dia membuka tudung
putihnya, tangannya memang tangan palsu yang tampak masih belum 100% jadi tapi
cukup membuktikan kalau dia memang tidak punya tangan maupun kaki. Kenapa bisa
begitu? Kenapa orang ini tidak punya sepasang tangan dan kaki? Apalagi bekas
potongannya bukan seperti habis diamputasi, tidak rapi. Dia bukan penyandang
cacat, dia pasti dulunya orang normal. Kutelan ludah beberapa kali, sepertinya
dia berbahaya.
“Anda…kenal Kise-kun?” kembali kulayangkan pertanyaan. Tapi yang kudapat adalah
sosok mengejutkan dan hampir membuatku berteriak, wajah yang nyaris mirip
dengan Kise-kun hanya saja rambutnya
lebih pendek dan agak acak-acakan, lalu ada bekas luka di tengah lehernya,
bekas seperti jahitan. Kemudian… auranya..aura yang mengerikan…! Aku tak kuat,
entah darimana menguar bau busuk dari badannya itu meski parasnya biasa saja
atau bisa kubilang sangat tampan di umurnya sekarang.
“Kau tahu…Kise…?” suaranya sedikit parau, pita suaranya mungkin rusak akibat sesuatu.
“Anda…kenal?” Tanyaku kembali masih dengan banjir keringat di belakang leher juga di seluruh pelipisku, aduh, hawa di sini dingin tapi kenapa bagiku terasa begitu panas? Orang ini …siapa!?
“Tidak …kenal….” Eh? Apa maksudnya.
“Na..maku… KA..RA..SU.., APA..KAU..TAHU..KISE.. RYOUTA…?”
.....
............
.....
..............
Tidak ada komentar:
Posting Komentar