Kamis, 28 Januari 2016

FESTIVAL KEMATIAN —SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)— FESTIVAL 3 : TSUMIHOROBOSHI (罪滅し) “ATONEMENT”

FESTIVAL KEMATIAN
 
SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI

“There’s no time to suggest, to make an alibi, to miserable something damn shit. This is time for KILLING the Sin. The Atonement of us”

FESTIVAL  3 : TSUMIHOROBOSHI (罪滅し)
                        “ATONEMENT”

            “Perasaan yang selalu tertahan itu selalu menunggu untuk disampaikan pada kami. Penebusan dosa apa yang harus kami lakukan? Namun.. kami tidak tahu, kapan dan dimana raga kami akan dikubur kelak oleh kematian”
青峰大樹
(Aomine Daiki)

PART 1

TAKAO KAZUNARI
-Kuil Yukibana- 14.55 p.m

            Rasanya perutku seperti diaduk-aduk dan dipaksa untuk mengeluarkan isinya.

            Yah, sebenarnya ini memang seratus persen salahku. Mengingat betapa berbahayanya kondisi yang tengah terjadi aku—masih dengan wajah santai ini—melenggang pergi menuju ke toilet. Berkat ketololanku yang menganggap remeh keadaan, kini aku berakhir terkapar di pangkuan Himuro-san. Ah, bukan, bukan maksudnya kami sedang melakukan adegan mesra atau shooting film drama yang penuh jeritan dan air mata tapi ini lebih mengerikan daripada Shooting FILM HORROR! 

Aku yang terhunus langsung dari belakang hingga terkoyak perutnya sama sekali tidak berdaya untuk melawan, apalagi sekarang sesosok makhluk aneh menggelepar-gelepar atau mungkin merayap di lantai kayu dengan gerakan slow motion

            Aku bisa merasakan Himuro-san yang badannya sudah menegang juga panas-dingin, tangan kanannya yang disangga oleh kain karena retak akibat insiden tadi pagi tak mampu melindungiku—boro-boro melindungiku, melindungi dirinya saja juga belum tentu bisa. Darah mengucur deras dari sela-sela mulutku, pandanganku semakin buram, kalau begini terus aku bisa mati kehabisan darah. Tuhan, tolonglah aku dan Himuro-san

Akh, sial, padahal aku tak ingin melibatkan orang terdekatku dalam kondisi begini(kalau Shin-chan sih aku tidak tahu).

            “ZRUUT..ZRUUT….”

            Bunyi benda lunak diseret itu membuat telingaku linu, sontak badanku terguncang sedikit akibat Himuro-san mendekapku begitu kencang dengan tangan kirinya. Keringat pemuda itu keluar sebesar biji jagung, sementara aku harus mencari pasokan oksigen agar nyawaku bisa bertahan barang sepuluh atau duapuluh menit kedepan(atau aku akan menyusul Kohane-chan) untungnya mataku masih bisa diandalkan, dengan Hawk Eyes aku memperluas radius pengelihatanku untuk mencari posisi aman dan siapapun gerangan yang berada di dekat kami. 

            “Ta, Takao-kun! Darahmu…”

            “Huh? A, apa…ada apa?”. Oh bagus, sekarang darahku semakin menjadi-jadi! Spontan aku terbatuk kencang membuat beberapa liter darah terbuang dari mulutku. Rasanya seperti ditimpa sesuatu saja. Tenggorokanku nyaris tak mampu lagi menahan banyaknya darah yang membanjir, ayolah, aku tak mau mati muda di sini! 

Tak elit sekali,kan kalau di Koran nanti terpampang ‘Seorang Atlet Basket Tewas Terbunuh Pisau Dapur’ dan aku yakin aku bakal jadi hantu gentayangan karena tidak sudi menerima cara matiku. Lupakan dulu masalah pribadi, sekarang nyawa kami terancam dan tubuhku terlalu lemah untuk lari. 

            “…Onii..chan… ayo..ikut kami..”.
            “Panas…sesak! Mereka kejam… kami dibakar..dikubur…. kami tidak mau mati!”
            “Benci…kami benci mereka..! kembalikan kami… mama..papa!”

 Ah, aku merasa mendengar sesuatu dari gumpalan lemak hitam yang merayap itu. Suara anak-anak yang menggaung lalu samar menghilang, apakah itu adalah roh-roh anak kecil yang dijadikan tumbal di Festival Akagosai? Kalau begitu berarti cerita Akashi benar, anak-anak ini—ralat—roh-roh anak-anak ini menjadi jahat akibat dendam mereka, kebencian mereka terhadap perlakuan para oknum-oknum tak bertanggung jawab yang biadab menipu mereka dengan es serut untuk mengikuti ritual itu. Ketika mereka mati dan tertinggal di dunia ini, roh mereka bercampur baur dengan roh-roh lain yang memiliki dendam yang sama sehingga menjadi hitam. 

            Aku merasa kasihan pada mereka, mereka masih kecil dan polos untuk dijadikan persembahan oleh orang dewasa idiot yang hanya mencari rasa aman dengan nyawa anak-anak. Kalau aku jadi orang tua mereka, aku pasti sudah menjotos para pelaku hingga mati. Dan sekarang aku nyaris mati akibat pisau yang masih tertancap di bagian tengah perutku, kemeja putihku berubah seketika menjadi merah gelap ini berarti aku mendapat tugas untuk membersihkan juga menjahitnya segera sebelum ibuku mengira anaknya tengah menghadapi masa pubertas dengan jalan yang salah lalu melapor pada polisi kemudian aku berakhir di tempat karantina para anak badung liar.

            Ah lupakan soal masa puber, aku bahkan ragu apakah nyawaku yang tipis ini masih bisa diselamatkan tepat waktu atau tidak. 

“Takao-kun! Bertahanlah, jangan tutup matamu! Tetaplah sadar, akh! Pisaunya, sebentar aku harus mencabutnya, tahan sebentar saja!”

 Himuro-san dengan cekatan mencabut pisau itu hingga darahku berpindah ke tempatnya, aku berteriak tertahan menahan rasa nyeri menusuk ketika Himuro-san mencabut pisau brengsek itu dari belakang punggungku, yang berarti pisau itu tepat menembus badanku ini. 

“Uwaa!!” aku hampir terguling ketika benda mengkilap melesat tepat menyerempet bahu Himuro-san, cih, ternyata mereka tidak hanya menggunakan satu pisau! Berapa banyak benda tajam yang mereka isap di gumpalan itu?

            “Hi…muro..-san…l-lari..”.
            “Jangan bercanda! Mana mungkin aku membiarkanmu sendirian dalam kondisi seperti ini? Kalau aku banyak bergerak bisa-bisa kau kehilangan nyawa—“ 

            “Tapi, kalau tidak…ukh, lari sekarang…, kita juga..bisa..ma-mati!” dengan tergagap aku menyela ucapannya. Mata greentea itu memandangku dengan panic dan histeris meski dia tidak sepanik Kagami yang melihat seekor kucing melompat di hadapannya tapi tanpa bersuara pun mata Himuro-san tampak berteriak-teriak lebih dari Kagami saat ini, mungkin yang ada di pikirannya adalah ; ‘bagaimana cara menyelamatkanku tanpa membunuhku seketika’ atau semacam itulah. Bagian perutku berdenyut hebat, akh! Sudah tidak ada waktu, aku bahkan sampai melengkungkan badan untuk menahan luka menganga ini, kalau tidak lari sekarang aku bakal ditanyai oleh Enma*(Raja Neraka) mengapa aku membiarkan seseorang ikut terbunuh padahal giliran matinya masih lama? Kemudian aku dijebloskan ke neraka akibat jawabanku. 

            “HIMURO-SAN KUMOHON LARI!”. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada aku berteriak memohon, tapi bukannya mengikuti saranku, Himuro-san tetap bergeming dan semakin erat mendekapku yang terkapar seperti Ikan Mas. Dia tidak gemetaran lagi, napasnya tidak memburu seperti beberapa menit lalu, aduh, apa jangan-jangan dia siap mati bersamaku? Tidak! Jangan, kumohon, aku tidak mau memberimu penderitaan lebih dari ini Himuro-san!

            “Aku, daripada hidup tapi menyesal setengah mati akibat mengabaikanmu tewas di sini…, lebih baik aku ikut mati bersamamu. Kurasa Taiga akan mengutukku di depan batu nisan tapi aku rasa lebih pantas mendengarkan omelannya kelak dari alam kubur ketimbang hidup tapi dengan mengorbankan nyawa seorang teman.” 

Aku ternganga, dari bawah sini aku bisa melihat sepintas senyumnya yang membayang. Gila! Dia keren banget, maksudku, dia benar-benar terlihat sangat hebat di mataku sekarang, Himuro-san tidak gentar meski jarak kami dengan benda aneh itu hanya tinggal limapuluh meter lagi. Aku salut padanya, dia tidak hanya hebat di lapangan saja kurasa pribadinya yang seperti inilah yang membuat Himuro-san banyak disegani siapapun.

            “Giliranmu….Dendam!..balas dendam!..benciii…!”
            Oke, aku ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya ketika gundukan lemak menjijikan itu langsung melesat bak motor balap dengan sebuah pisau dapur sebesar kepalan tangan Murasakibara menyongsong kami yang sama-sama tidak berdaya.

            Apakah ini akhir untuk kami? Aah, aku berharap bisa hidup kembali menjadi orang yang lebih baik kalau memang harus ditakdirkan mati di sini.

            “Masih terlalu cepat seratus tahun”
            Sesuatu yang hitam dan mengerikan seperti monster meninju makhluk aneh itu hingga terpelanting ke belakang. Sosok berbadan besar dengan seragam polos putihnya yang berkibar. Rambt Raven berwarna merah kehitaman itu!! 

            “TAIGA!”. Aku ingin sekali menyerukan nama itu, sayangnya tenagaku sudah tidak ada bahkan hanya untuk bicara. “Tatsuya, Takao, kalian baik-baik saja?”. Aku, di sela-sela mataku yang semakin buram bisa melihat mata Kagami yang berpendar merah. Merah!? Tunggu, aku seperti pernah melihat mata yang berkilauan merah itu. Mata merah yang menyala, mungkinkah..?. 

            “Taiga, di belakangmu!” tampaknya Himuro-san tidak terkejut dengan perubahan mata Kagami yang seperti dialiri fosfor, Kagami langsung spontan menghempaskan tinjunya kembali meski dia tergores sedikit oleh pisau. Tepat ketika detik berikutnya, makhluk berlemak itu membelah diri. MEMBELAH DIRI!? Oh, sial! Bagaimana ini, apalagi Kagami tidak sempat bereaksi cepat dengan tangan yang masih sibuk melawan makhluk yang satu lagi.
            “Tatsuya! Takao—“
            “Awas kepalamu!”. 

            Sekarang yang membuatku makin ternganga adalah Mayuzumi-san dengan seramnnya membelah gundukan lemak hitam menjadi serpihan kecil dengan sebuah katana, terdengar bunyi mengikik panjang lalu makhluk itu menghilang seperti asap. Lenyap, suasana hening seketika. Aku berusaha memertahankan kewarasan dan kesadaranku hingga aku merasakan Himuro-san mulai limbung namun dengan sigap Kagami menangkap tubuh Himuro-san—sebelum dia menindih tubuh juga lukaku—kurasakan Mayuzumi-san menarikku perlahan untuk menjauh dari tubuh si ganteng lalu dengan sadisnya melucuti kemejaku kemudian membebatkan sesuatu di sekujur badan.

            “Adududuhh….!! Mayuzumi-san! Sakiit! Pelan sedikit dong, kau bisa membunuhku!” spontan aku berteriak karena lukaku seperti dijejalkan sesuatu. Perban yang berbau aklohol itu langsung menyerang luka seperti tentara greliya(sampai aku ingin sekali pingsan agar tidak merasakan luka mengerikan ini). 

            “Takao!” Ah. Suara itu, Shin-chan. “Kini aku percaya istilah ‘orang bodoh tidak mudah mati.” ungkap Mayuzumi-san masih sibuk mengurusi lukaku yang menjerit-jerit bak orang gila.

            “Ada untungnya juga kan jadi orang bodoh?” cibirku perlahan, “Oh, hai Shin-chan. Maaf ya keadaanku payah begini…” aku melambai pada Shin-chan yang sudah berwajah angker—atau mungkin bisa kubilang pucat? Tiba-tiba Shin-chan merenggutku dari Mayuzumi-san lalu dengan agak memaksa dia membawaku ala bridal style!! 

            “SHIN-CHAN…! Turunkan aku! Aku bisa jalan sendi—.”
            “Maaf…” jantungku nyaris berhenti mendengar satu kata lirih meluncur dari mulut si tsundere itu. Aku hanya bisa menurut sementara tatapan-tatapan ngeri bisa kulihat dari berbagai pasang mata di belakangku, aah, mengesalkan sekali.


            “Seharusnya tidak kubiarkan kau sendirian.”. Itulah kata-kata pertama setelah dia membawaku kembali ke ruang tengah, Shin-chan focus membebatkan perban dan beberapa antiseptic dengan cekatan, ironisnya aku harus merasakan jahitan maut dari Saya-san yang memaksaku mengadakan operasi dadakan agar lukaku tidak infeksi akibat menganga. Terpaksa aku terkapar tidak berdaya dengan semua keadaan ini, yaah, sudah kukatakan berkali-kali ini memang salahku jadi aku harus menanggungnya—setidaknya masa depan remajaku yang indah tidak rusak. Melihat wajah Shin-chan yang depresi hingga membisu seperti ini membuatku miris, aku berusaha menyampaikan kalau aku baik-baik saja dengan menepuk-nepuk rambut hijau halusnya itu. Wah, gawat! Wajahnya jadi merah, oke, sekarang aku tak paham dengan situasi seperti sepasang kekasih ini. 

            Stop! Kembali ke kenyataan, aku tidak mau membuat Shin-chan khawatir apalagi korban sudah banyak berjatuhan. Aku tahu seberapa berat penderitaannya yang dibebankannya seorang diri selama hampir tiga bulan(bahkan mungkin tiga tahun) ini, aku ingin dia lebih terbuka padaku agar dia tidak merisaukan segala hal sendirian, kalau begini ceritanya dia sudah tidak menganggapku sebagai partnernya lagi,benar kan? 

            “Maaf membuatmu terluka, harusnya aku menemanimu tadi” bisiknya.
            “Hei! Sudah, ah, kau ini mengesalkan sekali! Padahal aku sudah capek-capek menunggumu pulang dan sekarang setelah sekian lama kau malah jadi begini? Kau pikir aku bakal mati muda,ya?” seruku, aku tak peduli pada lukaku lagi tapi seluruh mata tertuju heran padaku yang marah-marah tanpa terlihat sakit sedikitpun.

            “Ano, Takao-kun…, lukamu..bisa terbuka lagi” Kuroko menyahut ngeri.
            “Aku tidak mau si kepala lumut ini khawatir padaku!” selakku galak, sementara Shin-chan hanya melotot ketika dia dikatai ‘kepala lumut’. 

            “Kurasa orang bodoh tidak kenal rasa sakit” cibir Saya-san. Di sela-sela omelanku yang terputus itu aku langsung terdiam ketika Kise sadar dan menatap langsung padaku.

            “Kise? Kau sudah sadar?” sahut Aomine. Tatapan mata Kise terus tertuju padaku sementara pemuda berambut blonde yang memicingkan matanya tanda heran membuatku ikut terheran-heran.

            “Kise, kau kenapa? Apa ada yang sakit?” Tanyaku sembari melambaikan tangan.
            “Takaocchi.. yang di belakangmu itu.. siapa?” Kise bertanya balik, aku hanya terdiam. Di belakangku? Siapa? Aku tidak melihat siapa-siapa.

            “Kise, apa yang kau lihat?” sekarang giliran Shin-chan bertanya, meski hening sejenak kami dengan sabar menunggu jawaban Kise sebelum aku mati penasaran—bukan mati karena lukaku. Dia melirik sekali lagi tepat ke arahku namun pandangannya bukan kea rah mataku tapi seolah-olah ada seseorang lain di belakang punggung ini. 

            “KOHANECCHI….” 

          Dalam waktu lima detik, aku langsung ternganga.

CONTINUED TO PART 2


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

PENGALAMAN MAGANG DI CCA

Selamat datang, 'selamat menikmati postingan ini buat kalian yang sedang membacanya, ya kalian, siapa lagi? sudah lama blog ini diting...