MIDORIMA SHINTAROU
Kuil Yukibana—ruang tengah—14.20 p.m
Kuil Yukibana—ruang tengah—14.20 p.m
Kejadian demi kejadian terus membuat adrenalinku naik turun.
Kini aku hanya bisa membeku melihat Takao yang menjadi sasaran amukan berikutnya, mengingatkanku akan kejadian enam bulan lalu di Teikou. Kebohongan demi kebohongan terus aku ucapkan demi melindungi diriku sendiri, sebenarnya semua yang ada di malam itu hanya ‘bohong’. Aku rasa tak perlu kujelaskan sekarang mengapa aku menekankan kata bohong di dalam kalimatku barusan,ya, sekarang Saya-san ada di sini dan sebentar lagi kebohongan akan terungkap. Namun sebelumnya mengulang kembali kejadian beberapa waktu ketika kami duduk di dalam ruangan besar menyilaukan beralas tatami mewah ini, kejadiannya adalah Takao dan Himuro-san yang pergi ke kamar mandi dan kira-kira sampai lima belas atau duapuluh menit mereka tidak kembali.
Hatiku mulai diliputi kecemasan, mendengar penuturan Saya-san dan Kakek Zen tentang masa kelam desa ini juga korban-korban yang kebanyakan anak di bawah 16 tahun. Tanganku terus gemetaran di samping Saya-san bahkan gelasku nyaris saja retak dibuatnya.
“Shintarou-kun, kurasa ada baiknya kita menjemput anak-anak itu. Perasaanku tidak enak” ah, sedari tadi aku juga ingin melakukannya tapi kakiku bahkan tak mampu bergerak barang sesentipun! Seperti ada solatip yang merekatkannya hingga kakiku nyaris kram akibat terlalu lama bersila. Dilubuk hatiku, semenjak mendengar berita kematian Kohane ketika masih berada di Sapporo amat memukulku, istilahnya seperti ada sebuah bola basket bertubi-tubi berjatuhan di atas kepala ini. Di tengah keputusasaan itu malah Saya-san yang meyakinkanku untuk tetap pergi ke tempat ini walau aku harus menyeret kedua kakiku, sekalinya pernah aku bertanya pada wanita paruh baya ini.
“Kenapa kau bisa setegar ini? Maksudku.. putrimu..”
“Aku sudah merasakan banyak kehilangan, semenjak kematian Shuu itu adalah terakhir aku bisa melepaskan kesedihanku. Sudah sepuluh tahun dan pekerjaan menuntutku untuk tetap menjadi ‘aku’ yang sekarang. Bukannya aku tidak peduli. Kurasa, yang seharusnya berhak sedih adalah Kinako bukannya aku.”
“Mengapa demikian?”
“Karena selama sepuluh tahun, yang menjaga Kohane bukanlah Ibunya melainkan Kakak kembarnya…, jadi aku tak pantas untuk mendapatkan hak istimewa itu”
“Tapi Saya-san… ibu mereka…”
“Ibu yang baik bukanlah Ibu yang menelantarkan anaknya bahkan membuat mereka menderita…”
Aku takkan pernah melupakan pembicaraan itu, percakapan yang membuatku mengingat betapa aku mensyukuri kehidupan normalku sampai sekarang, mendapat perhatian yang cukup, prestasi yang lumayan, makanan, pakaian, orang tua , juga rumah yang hangat untuk kembali. Saya-san mengajarkanku untuk berdiri di atas kaki sendiri dan tanpa sadar aku bisa merasakan betapa sulitnya kembali ke dalam kehidupan yang damai ketika kau sudah melewati zona nyamanmu.
“Hei, sepertinya aku mendengar suara keributan dari arah lorong” sahut Aomine.
“Ukh, perasaanku menjadi kenyataan!” Kagami langsung menghambur dari posisinya duduk membuat Aomine terjungkal hingga tak sanggup berdiri, sementara aku harus tergopoh-gopoh menyusul kecepatan gila Kagami itu. “Eh!? Tunggu, jangan pergi ke sana, di sana berbahaya,kan!?” Uzumaki-san mencoba mencegah tapi keributan itu memancing sebagian dari kami untuk bergerak. Sial! Kakiku seperti membeku(wajar sih di udara seekstrim ini) padahal ini baru menunjukkan pukul dua siang.
“Biarkan aku yang pergi…” seseorang menepuk bahuku lembut, tangan yang dingin tapi bukan hantu. Surai kelabu itu melewati kami dengan licin kemudian membaur di antara Saya-san bak adegan slowmotion, Mayuzumi-san dengan lihai menerima katana Saya-san yang diangsurkan padanya sebelum melesat pergi seperti roket. “Dasar anak keras kepala” cibir Saya-san. Lalu semua terjadi begitu saja. Aku tak menyangka kalau selain Mayuzumi-san punya fisik lumayan dia sedikit mahir Iaido*(Seni pedang), meski belum dianggap semahir Saya-san tapi kelincahannya saja sudah mendapat acungan jempol bagiku yang hanya bisa main basket di lapangan.
Dugaanku tidak salah, Takao cidera berat hingga darah membanjiri dia dan Himuro-san yang mati-matian melawan tangan kosong, dasar si bodoh itu! Padahal dia pasti tahu kalau sedari tadi mereka diincar tapi tetap saja pura-pura tak tahu untuk melindungi Himuro-san. Aah, kadang aku bingung apakah aku harus bangga atau malah lelah memiliki teman seperti ini, tanpa sadar aku malah membawa Takao dengan gaya bridal style membuat semua pasang mata memandang terkagum-kagum(?) pada kami.
“Seharusnya tidak kubiarkan kau sendirian.”. hanya itu kata-kata yang meluncur dariku setelah aku meminta maaf dengan suara seperti tikus mencicit. Takao hanya menatapku lekat-lekat lalu menepuk-nepuk kepalaku perlahan membuat wajahku memerah karena senang atau mungkin kelegaan yang teramat sangat karenannya.
“Maaf membuatmu terluka, harusnya aku menemanimu tadi” bisikku lagi.
“Hei! Sudah, ah, kau ini mengesalkan sekali! Padahal aku sudah capek-capek menunggumu pulang dan sekarang setelah sekian lama kau malah jadi begini? Kau pikir aku bakal mati muda,ya?” Aku bengong melihat Takao dengan perban di perutnya masih bisa memarahiku habis-habisan dan dengan bodohnya aku Cuma diam..
“Ano, Takao-kun…, lukamu..bisa terbuka lagi.” kini kudengar Kuroko menyahut.
“Aku tidak mau si Kepala Lumut ini khawatir padaku!” Oke, aku mulai kesal ketika dia mengataiku kepala lumut, aku spontan memelototinya dengan tatapan songong seperti Midorima Shintarou yang biasanya
“Kurasa orang bodoh tidak kenal rasa sakit” cibir Saya-san. Sekarang pelototanku beralih pada wanita bermata tajam yang sedari tadi hanya asyik dengan sake di tangannya yang mulus seperti porselen, dia ini benar-benar menurunkan gennya pada Kinako(sekarang aku tahu darimana sifat menjengkelkan si kecil bermata satu itu).
“Kise? Kau sudah sadar?” aku menoleh seketika mendengar suara Aomine, benar saja, Kise sudah sadar dan terduduk di atas futon.
“Kise, kau kenapa? Apa ada yang sakit?” Takao disampingku melambaikan tangannya.
“Takaocchi.. yang di belakangmu itu.. siapa?” Kise malah bertanya balik, cahaya matanya yang masih redup memandang lurus ke arah Takao tapi tatapannya bukan ke arah wajah Takao melainkan sesuatu ‘di belakang Takao’.
“Kise, apa yang kau lihat?” Tanyaku padanya untuk memastikan.
“KOHANECCHI….”
Jantungku mencelos selama hampir tiga detik sementara kulihat Takao Nampak membeku masih dengan posisinya berdiri, bukan hanya aku saja melainkan semua orang membeku mendengar penuturan Kise. “Jangan bercanda dong, Hanecchin,kan sudah meninggal? Candaanmu tidak lucu” gerutu Murasakibara.
“Ya, apalagi aku masih kesal karena si tolol ini membuatku terjungkal sampai menggelinding tadi”. Aomine menggedikan dagu sengit. “Kau ngajak berantem aku ladeni” semprot Kagami tak kalah sengit. Untuk sementara aku biarkan saja kedua orang bodoh itu bersitegang karena sekarang Kise malah terdiam tanpa focus, matanya bisa dibilang antara kosong atau bagaimana aku tak mengerti namun aku rasa Kise tidak bercanda.
“Kohane..cchi? kenapa, ada apa?”. Baiklah melihat Kise semakin kacau aku langsung mendekatinya lalu memberinya minum. Dia menyambut gelas di tanganku kemudian minum hingga setengah gelas, “Kise, Kohane ada dimana? Kau kenapa bisa melihatnya?” tanyaku.
“….”
“Kise?...”
“Kurasa percuma saja mendesaknya, Midorima. Tak ada yang bisa melihatnya kalau benar di belakang Takao-kun ada sesuatu. Sebenarnya memang aku merasakan sedari tadi ada sesuatu di sekeliling Takao-kun meski tidak sepeka….” Mayuzumi-san terdiam kemudian melirik Kagami dengan tatapan penuh selidik, entah kenapa yang dipandangi malah memandang bingung. “Kenapa? Ada sesuatu?” tanyanya.
“Kurasa percuma saja mendesaknya, Midorima. Tak ada yang bisa melihatnya kalau benar di belakang Takao-kun ada sesuatu. Sebenarnya memang aku merasakan sedari tadi ada sesuatu di sekeliling Takao-kun meski tidak sepeka….” Mayuzumi-san terdiam kemudian melirik Kagami dengan tatapan penuh selidik, entah kenapa yang dipandangi malah memandang bingung. “Kenapa? Ada sesuatu?” tanyanya.
“Kau bisa lihat?” Tanya Mayuzumi-san.
“Aku hanya bisa melihat sekelebat putih disekeliling Takao, dia tampak menempel terus padanya ,dia enggan berada di dekat siapapun. Tapi mungkin juga itu adalah Kohane.” penjelasan yang cukup, sedari tadi aku merasakan kalau Kagami tampak berbeda daripada dia yang sebelumnya.
“Aku bisa melihatnya.” Saya-san menyahut. Kami langsung menatapnya tidak percaya, “Dia melihatku, terus melihatku meski dia tampaknya hanya bisa menempel pada Kazunari-kun entah karena apa yang jelas Kise sepertinya diizinkan untuk melihat Kohane” ujar Saya-san selanjutnya, pandangan matanya berubah melembut membuatku teringat sesuatu ; ‘saatnya untuk membongkar kebohongan!’.
“Akashi..” panggilku pada kawan sejawat sejak zaman SMP, Akashi mendekat padaku kemudian menatapku penuh kesabaran. “Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu, bukan, pada kalian.” Tandasku hingga orang-orang di ruangan terdiam. “Anu, maaf, apa aku mengganggu? Aku bisa permisi segera setelah—.”Aku menggeleng cepat kemudian memberi kode kalau tidak apa-apa bila Uzumaki-san tetap berada di sini.
“Kalau begitu, aku siapkan teh baru dulu. Tehnya sudah dingin” Kakek Zen menepi di pojok ruangan untuk memanaskan air teh sembari membantu Mayuzumi-san merawat Takao dan Kise. Kalau begini aku bisa membuat buku ; Orang Sakit yang Merawat Orang Sakit. Mengingat Mayuzumi-san habis dihajar hingga babak belur oleh kawanan tak dikenal(yang mengaku adalah anggota keluarga Yukihira) tapi sekarang malah membantu untuk merawat Kise dan Takao yang cidera, sungguh luar biasa sekali.
“Apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Akashi.
“Hei, jangan katakan kau mau membicarakan soal Teikou no Tatarigoroshi juga apa yang sebenarnya kau lakukan itu? Bagus, sekarang pembunuh berdarah dingin yang sudah menghidupkan kembali seorang gadis kecil akan bicara.” Cerocosan Aomine terhenti tepat saat Akashi melayangkan tatapan super mengerikan yang membuat bulu kudukku berdiri.
“Sebenarnya, bukan begitu. Tentang meledaknya gas di ruang PKK memang ulah Kinako, kejadian itu membuat Kohane nyaris tidak pernah lagi masuk sekolah. Aku…” aku terdiam sebentar
mengambil tetes demi tetes keberanian,
“Aku…, ketika Kinako sekarat dengan luka-luka itu menawarkan bantuan pada Kohane, membawanya ke klinik kenalan ayahku yang mampu menyelamatkan nyawa anak itu tapi.., tentu saja aku melawan takdir demi keselamatan seorang gadis kecil dan harus berbohong pada kalian atas berita-berita seputar ruang PKK”. Diam, semua terdiam membisu seperti mendengar cerita horror abad ini.
“Tapi kenapa Kinako bilang dia sudah mati?” Tanya Kagami.
“Karena dia tahu seharusnya dia mati ketika itu, tapi aku malah membangkitkannya lagi, maksudku menyembuhkan lukanya dan memaksanya kembali ke kehidupan demi Kohane.”
“Itu bukan masalah budohoh!!” PLAK! Sekarang aku bisa merasakan Takao menghajar kepalaku dengan nampan minum, aku siap menyemburnya dengan segala cacian namun, “Yang namanya musibah itu adalah alami terjadi, bagaimana bisa kau menyalahkan dirimu sendiri atas semua keputusan itu? Jangan menganggap semua masalah adalah beban pribadi, kau masih punya aku sebagai temanmu, wajar kan kalau kita saling berbagi?!” sambil berkacak pinggang dan wajah sengaknya Takao membuatku terdiam.
“Tapi kenapa Kinako bilang dia sudah mati?” Tanya Kagami.
“Karena dia tahu seharusnya dia mati ketika itu, tapi aku malah membangkitkannya lagi, maksudku menyembuhkan lukanya dan memaksanya kembali ke kehidupan demi Kohane.”
“Itu bukan masalah budohoh!!” PLAK! Sekarang aku bisa merasakan Takao menghajar kepalaku dengan nampan minum, aku siap menyemburnya dengan segala cacian namun, “Yang namanya musibah itu adalah alami terjadi, bagaimana bisa kau menyalahkan dirimu sendiri atas semua keputusan itu? Jangan menganggap semua masalah adalah beban pribadi, kau masih punya aku sebagai temanmu, wajar kan kalau kita saling berbagi?!” sambil berkacak pinggang dan wajah sengaknya Takao membuatku terdiam.
“Benar kata Takao-kun. Midorima-kun, kau tak perlu menanggungnya sendirian. Lagipula, aku juga masih ingin tahu apa kelanjutan kata-kata Kohane dulu” timpal Kuroko.
“Setidaknya kita urusi saja dulu perkara Festival itu lalu membawa bocah keras kepala kembali ke sini, akan kupukul bokongnya nanti” gerutu Aomine.
“Setidaknya kita urusi saja dulu perkara Festival itu lalu membawa bocah keras kepala kembali ke sini, akan kupukul bokongnya nanti” gerutu Aomine.
“Hei, itu kata-kataku!” sembur Kagami.
“Aku kagum padamu, setidaknya kau jauh-jauh mencariku dan memerlihatkan pemandangan menarik untukku, Shintarou-kun. Aah, aku merasa bernostalgia saja” Saya-san menepuk pundakku kemudian merenggangkan tubuhnya sembari menuang segelas sake(lagi).
“Aku kagum padamu, setidaknya kau jauh-jauh mencariku dan memerlihatkan pemandangan menarik untukku, Shintarou-kun. Aah, aku merasa bernostalgia saja” Saya-san menepuk pundakku kemudian merenggangkan tubuhnya sembari menuang segelas sake(lagi).
“Anda kuat minum,ya?” sahut Himuro-san.
“Aku sangat kuat minum bahkan Shuu tidak dapat menandingiku, bagaimana kalau segelas?” Saya-san menyodorkan botol sake pada Mayuzumi-san. “Maaf, aku masih menjaga image-ku di sini…” Mayuzumi-san dengan kikuk menolak sake itu, sementara Akashi melihatnya sambil senyum-senyum.
“Tak kusangka covermu tidak sesuai dengan isi di dalammu,ya?” sindir Akashi halus.
“Sake bukan minuman pokokku” elak Mayuzumi-san.
“Hahaha… kalian berdua lucu sekali dan Kazunari-kun juga benar-benar kelihatan sehat” komentar Saya-san.
“Entahlah, setelah bicara panjang lebar aku seperti pergi ke surga…” kini Takao harus terpaksa berbaring berkat pidato berapi-apinya—melupakan lukanya yang mengerikan—bagaimana mungkin dia bisa bertahan dengan luka seperti itu?
“Midorimacchi,apa kau pernah bertemu Kinakocchi?” Tanya Kise padaku.
“Tidak, maksudku, dalam tiga bulan aku tak bertemu dengannya.” jawabku sekenannya.
“Begitu,ya?” Kise memaksakan senyumnya, senyum yang Nampak sedih.
“Tidak, maksudku, dalam tiga bulan aku tak bertemu dengannya.” jawabku sekenannya.
“Begitu,ya?” Kise memaksakan senyumnya, senyum yang Nampak sedih.
“Kau benar-benar mirip Shuu, Ryouta-kun…”. Kise menatap Saya-san. “Sudah sepuluh tahun…, kau tumbuh sehat sekarang.” Baiklah, kini suasana semakin canggung saja.
MAYUZUMI CHIHIRO Kuil Yukibana—15.00 p.m
Ketika suasana menjadi semakin rumit, masa laluku tiba-tiba datang begitu saja.
Setelah berhasil menyelamatkan Takao dan Himuro dari serangan mengejutkan roh-roh jahat kami kembali ke ruangan ini. Aku kaget melihat sosok yang hampir sepuluh tahun menghilang dari ingatanku, seorang wanita yang pernah mengajariku ilmu bela diri dan tentu saja orang yang membuatku menjaga anak kembar yang tak lain adalah putri-putrinya, wanita yang dulu pernah amat kukagumi, Saya-baa chan. Aku tidak pernah memanggilnya begitu, dulu aku memanggilnya Onee-san dan dia masih saja awet muda(perkiraanku umurnya sudah hampir menginjak tiga puluhan).
“Chihiro, di dunia ini. Siapa yang kuatlah yang memenangkan hidup. Membunuh atau di bunuh, itulah jalan yang ditapaki oleh keluarga Yukihira. Tapi jangan lupa, ‘hidup atau mati, kau yang menentukannya’, itu jalan hidup keluarga Kirishiki, jalan yang kuanut, kedua keluarga yang mengabdi di pemerintahan sebagai ALGOJO terhormat yang suci”
“Yang manapun jalan kau pilih, tetaplah hargai sesama manusia, karena seberat apapun hidupmu, masih banyak hal menyenangkan yang tak boleh kau lewatkan”
Kedua orang itu.., sudah lama tenggelam di dasar ingatanku. Kata-kata Shuu-jii san atau Saya-Nee san terus dan terus terpendam lama hingga sekarang. “Mayuzumi-san? Kau taka pa-apa?” Tepukan Akashi menyadarkanku kembali pada dunia nyata, mungkin sekelebat pemandangan tadi mengingatkanku akan hal penting yang terlupakan.
“Ya, aku taka pa-apa” jawabku sederhana. “Wajahmu pucat, lebih baik kau istirahat.” Ujarnya namun aku menggeleng perlahan. “Ng, tidak apa Akashi. Aku hanya mengingat sesuatu yang sudah lama terlupakan” senyumku samar.
“Kau benar-benar mirip Shuu, Ryouta-kun…”. Saya-Nee san menjulurkan tangannya, menyentuh wajah Kise yang masih terbengong-bengong tak mengerti, “Sudah sepuluh tahun…, kau tumbuh sehat sekarang.” Tanpa sadar sepasang mata magenta teduh itu membuat manik madu Kise menjatuhkan air mata. Aku tertegun, di dadaku seperti ada perasaan mengganjal yang meluap-luap, aku tak mengerti itu aku langsung kager ketika Akashi meremas perlahan bahuku hingga kesadaranku kembali.
“Sepuluh tahun? Saya-san, kau pernah bertemu Kise-kun?” Tanya Kuroko.
“Bukan waktu yang lama tapi, anak lelaki yang dulu masih bocah itu mengajakku bicara di saat aku bekerja. Ah yah, tentu saja itu sudah sepuluh tahun dua hari sebelum Shuu meninggal” jelas Saya-Nee san. Aku dengan segenap keberanian yang sedari tadi hanya berdiam diri membulatkan tekad untuk mengajaknya bicara—padahal tadi dengan hebatnya aku meminjam pedang—dia tampaknya enggan memulai obrolan denganku hingga membuatku sebal.
“SAYA-NEE SAN!”
Suaraku nyaris seperti berteriak di ruangan berukuran lebar ini, semua orang melihatku kaget.
“Hai, Mayuzumi—bukan—Chihiro.” Ugh! Aku tidak kuat, perasaan menyesakkan ini terus berusaha merangsek keluar seperti ingin meledak begitu saja. Dari kecil aku sangat menyukai sosoknya, meski dia pergi dan itu membuatku mengira dia membuang anaknya sendiri juga membuangku tapi.., tapi bukan begitu kan kenyataannya?
“Hai, Mayuzumi—bukan—Chihiro.” Ugh! Aku tidak kuat, perasaan menyesakkan ini terus berusaha merangsek keluar seperti ingin meledak begitu saja. Dari kecil aku sangat menyukai sosoknya, meski dia pergi dan itu membuatku mengira dia membuang anaknya sendiri juga membuangku tapi.., tapi bukan begitu kan kenyataannya?
“Maafkan aku.. Chihiro, kurasa Ayano pasti marah sekali padaku,benar?” Aku menggeleng cepat berusaha menyembunyikan air mata yang terbit. “Ibu sama sekali tidak marah padamu!” bantahku tertahan. “Begitu,ya? Aku senang…, hei, kau sudah besar sekarang. Aku nyaris tidak mengenalimu ketika melihatmu di tengah hutan tadi.” Dia menepuk-nepuk kepalaku dan relfeks aku menggenggam tangannya.
“Kau kemana saja?”
“Aku tak kemana-mana. Aku hanya melindungi kalian.”
“Kau masih menjadi algojo di Hokutou ShichiSei*(北東七星)_Tujuh bintang utara?” Saya-Nee san hanya tersenyum penuh arti, benar dugaanku dia masih menjadi alat pemerintahan, menjadi eksekutor bawah tanah yang mengadili koruptor dan penjahat kelas atas. Seharusnya kalau diurutkan maka generasi sekarang Kinako adalah penerus unit satuan algojo terbesar di Negara ini, Hokutou ShichiSei yang terdiri dari keluarga-keluarga bangsawan terkemuka lama. Sayangnya, anak itu tidak tertarik menjadi seorang algojo yang dianggap sebagai para pembunuh setara dengan Assassin.
“Hokutou ShichiSei!? Anda salah satu jajaran elit eksekutor Negara itu? Tapi kenapa.., aku tahu Kinako dan Kohane bukan berasal dari kalangan biasa…, tak kusangka mereka penerus pasukan algojo elit unit bawah tanah” keterangan Akashi tidak hanya membuat teman-temannya menganga tapi tentu saja Uzumaki-san yang tak tahu apa-apa.
“Eeeeh!? Bagaimana mungkin?! Lalu bagaimana dengan Saika? Kekuatan mengerikan yang dikatakan oleh Shin-chan?” seru Takao dari pembaringannya.
“Saika adalah sebutan untuk orang yang dirasuki pedang roh tapi sebenarnya Kinako hanya bisa menggunakan kekuatannya hingga umurnya sekarang. Tak kusangka kau malah terkena darah itu hingga membuat kekuatanmu berlimpah, Taiga-kun. Menurut perkiraanku, dia sudah tidak bisa menggunakannya lagi karena kekuatan itu akan melemah seiiring dengan berjalannya waktu. Aku juga begitu, dulu aku Saika namun kekuatan itu hilang sekitar dua tahun lalu, kemungkinan kekuatan yang ada di Taiga-kun juga akan menghilang tak lama lagi.” Pembicaraan ini membuatku pusing, entah kenapa lukaku terasa nyeri sekali.
“Kalau kau tidak kuat lebih baik kau berbaring” sahut Saya-Nee.
“Tidak apa-apa”
“Saya-san, kau bilang kalau aku… mirip orang yang bernama Shuu-san? Maksudnya bagaimana, dan apa aku pernah bertemu denganmu?” Kise bertanya perlahan, semua menunggu jawaban yang dilontarakan oleh sang algojo ini. Saya-Nee lalu menaruh gelas sakenya kemudian mengambil posisi yang lebih formal daripada tadi.
“Aku sudah sangat ingin menceritakannya. Kebenaran tentang semua ini, maaf menyeret kalian pada masalah kami tapi ini sudah terjadi, kalau aku tidak meneruskan peranku maka anak-anakku akan menanggung beban dan aku tak menyangka apa yang sudah kulakukan untuk menyelamatkan mereka malah menjerumuskan mereka pada hal yang mengerikan. Kini aku kembali untuk mengambil kembali kebenaran dan memusnahkan para PARASIT yang mengganggu”
“Akan kukatakan sekali, Festival Akagosai itu didalangi oleh PERANGKAT KELUARGA YUKIHIRA demi mengumpulkan jiwa-jiwa baru dan menggunakannya entah untuk apa…, misiku bersama Shintarou-kun adalah menangkap para pelaku. Juga menyelamatkan kalian baik sebagai diriku pribadi ataupun utusan Negara.”
Badai salju semakin mengamuk, jam berdentang begitu nyaring di tengah obrolan ini. Aku ingin mendengar kebenarannya, kebenaran apa yang dibawa oleh Saya-Nee dan apa yang terjadi sebenarnya selama ini. Melindungi kami dari apa? Apaka kami sedang terancam?
“Posisi kalian sangat terancam, kalau kalian atau aku salah bertindak maka semua akan hancur dan kehidupan normal kalian akan terenggut. Aku harap kalian siap dengan semua ini, karena ketika aku meneritakan kebenarannya maka.., kalian Tidak bisa kembali lagi.”
“Posisi kalian sangat terancam, kalau kalian atau aku salah bertindak maka semua akan hancur dan kehidupan normal kalian akan terenggut. Aku harap kalian siap dengan semua ini, karena ketika aku meneritakan kebenarannya maka.., kalian Tidak bisa kembali lagi.”
Bisa kulihat Akashi cs mengangguk, mereka siap mental, mereka siap menerima kenyataan dan siap mempertaruhkan diri mereka di dalam pertempuran.
“Intinya, pertanyaanku sekarang adalah.. ;KALIAN SIAP UNTUK MATI?”
Kudengar Murasakibara dan Kagami menelan ludah.
“Kami siap dengan segala risiko apapun demi membawa teman kami kembali ke SEIRIN” sahut Kuroko.
“Kami siap dengan segala risiko apapun demi membawa teman kami kembali ke SEIRIN” sahut Kuroko.
“Kami siap melakukannya.”sahut Akashi. Saya-Nee tersenyum, aku juga hanya bisa tersenyum penuh arti. Teh yang dihidangkan Pak Zen mengepulkan uap kemudian Saya-Nee membuka kisahnya. Kisah masa lalu jauh sebelum kami lahir.
“Ini cerita.. sekitar 15 tahun lalu. Ketika pertama kali aku masuk SMA. SMA SHUUTOKU”
Kini Midorima dan Takao hanya bisa ternganga mendengarnya.
Kisah masa lalu.. 15 TAHUN LALU pun DIMULAI….
Hai Minna, bagaimana ceritanya? Terima kasih sudah mengikuti sekuel dari Persembahan Setan. Bila belum mengikuti silakan lihat di story list Yuzu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar