Jumat, 29 Januari 2016

FESTIVAL KEMATIAN —SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—FESTIVAL 4 : MUKASHI (昔)

FFN. CODE 4. 黒子のバスケ
            FESTIVAL KEMATIAN
 
SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—

When the past gone, your future might be ruined, but theres something could safe your past. That was... MEMORIES”
DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI

FESTIVAL  4 : MUKASHI ()
                        “THE PAST”
“Ketika masa  yang telah terlampaui menanamkan benih kerusakan. Kehancuranlah yang menunggu masa depan. Tapi setidaknya, meski berliku dan curam…, jalan yang telah dibangun adalah jalan terbaik yang telah kau buat”
行平サヤ(Yukihira Saya)

“Iblis maupun manusia, jangan pernah melupakan bahwa kita harus saling menghargai. Karena kebaikan hati manusia, adalah senjata ampuh sebagai penyelamat kegelapan”
行平朱馬(Yukihira Shuuma)
15 TAHUN LALU. SMA SHUUTOKU
MUKASHI(
)
SAYA KIRISHIKI(YUKIHIRA) (15th)
SMA SHUUTOKU- Musim Semi-

            Tahun pertamaku di SMA adalah hal yang biasa saja.
            Namaku Kirishiki Saya, aku baru masuk SMA yang disebut sebagai SMA Favorit di daerah ini. SMA Shuutoku kuat akan klub basketnya, tapi bukan itu alasan aku berada di sini. Aku di sini untuk melepaskan status juga kehidupan serba pengamanan keluarga Kirishiki. Asal tahu saja, aku sudah menantikan hari dimana aku melepas topeng sebagai Tuan Putri keluarga bersejarah yang mengabdi sebagai Eksekutor Negara itu, makanya aku berusaha mati-matian agar aku diterima dan mendapat kebebasan.
            Bunga Sakura bertebaran di sepanjang sekolah, seifuku*(seragam sekolah model pelaut) yang kukenakan terlihat wajar dan biasa jadi aku tidak perlu takut untuk dikenali toh di sini tidak ada yang mengenaliku. Hari pertama adalah hari dimana untuk masuk dan mendaftar ulang juga mendaftar klub yang sedang melakukan display gila-gilaan dan terkesan memaksa itu. Sayang aku belum begitu tertarik untuk masuk klub manapun, aku akan memikirkannya kalau sudah masuk KBM*(kegiatan belajar mengajar) nanti, pasti disebarkan angket pilihannya, kurasa itu tak masalah.
            “Uwaah! Maaf, maafkan aku! Aku tidak sengaja” kudengar teriakan yang cukup mengundang penasaran banyak orang, kulihat gadis dengan rambut bergaya Bob cokelat dan di highlight orange mocha di ujung-ujungnya. Meski penampilannya manis dan heboh, dia kelihatan ceroboh dan yaah agak bodoh dan lamban. Ah, bukan maksudnya aku merendahkan orang yang bahkan belum kukenal tapi itu memang sudah kebiasaanku dari kecil, omongangku kasar meski aku lahir dan besar di tempat yang penuh tata karma baik.
            “Hati-hati dong! Kau kan senior di sini, jangan membuat malu!” oke, itu tampak menyebalkan.
          “Ta, tapi aku tidak sengaja, kertas pamfletnya tersiram air waktu Mitsuki-sensei lewat. Ma, maaf aku ceroboh” Ah, dia mulai menangis. Apa-apaan sih sekolah ini, itu kan bentuk bullying,kan? Huh, kurasa ini bukan waktunya menonton, tanpa pikir panjang aku langsung menahan tangan siswa yang hendak menyiramkan segelas air pada anak berambut Bob itu kemudian memelintirnya hingga sang siswa meringis kesakitan, meski tidak menimbulkan banyak suara tapi sekitar radius lima puluh meter, beberapa pasang mata melihat adegan konyol kami(atau aku?).
            “Hei, senior yang baik harusnya mencontohkan hal yang baik di muka umum,kan?” cibirku dingin. Sementara si pelaku yang hendak menyiramkan air malah lari terbirit-birit seperti tikus, huh, dasar sok kuasa. “A, ano.. te, terima kasih…, ma, maaf membuat keributan.” Dia membungkuk rendah hingga kami bertatapan dan reaksinya, “Kau hebat! Padahal anak baru, aku kagum lho, ah, sebenarnya aku juga baru naik kelas dua tapi malah sudah diserahi tugas untuk pembagian pamphlet dan mencari anggota baru padahal itu tugas anak kelas tiga…” suaranya menghilang seketika kala suasana kembali canggung.
            “Haaa, maaf, maaf, aku lupa memerkenalkan diri, namaku Yukira Kamishiro. Aku manager Klub Basket, kelas 2-6. Yoroshiku onegaishimasu. Aa, terima kasih sekali lagi soal tadi.” Dengan wajah kikuk Kamishiro-san mennjulurkan tangan kemudian aku menyambut ulurannya. “Jadi, kau anak baru? Kau kelihatan sedikit berbeda dari anak-anak lain?” Kamishiro-san memerhatikanku dengan manik safirnya yang pudar itu.
“Aku baru masuk, namaku Kirishiki Saya. Kebetulan aku sedang lihat-lihat nomor bangku dan kelas, dan terjebak di display mengerikan ini.” Ucapku tanpa dosa. Kamishiro-san terkekeh, “Aduh, Kirishiki-san aku bisa-bisa jatuh cinta padamu nanti hehehe…”.
“Ano, panggil Saya saja cukup, aku kurang suka dipanggil dengan nama keluarga.” Ucapku.
 “Hee? Boleh? Kalau begitu panggil aku Yukira saja, aku juga kurang suka kelihatan formal.” Dengan begitu, entah sihir apa yang digunakan oleh anak ini aku jadi masuk ke KLUB BASKET sebagai Manager.
            “Kenapa aku jadi manager?” dumelku. “Ng, katakan kalau itu sebagai hadiah atas pertolonganmu tadi.” Sahut Yuki-san. “Bukan itu maksudku, padahal aku belum memutuskan untuk masuk,kan?” omelku padanya. “Eeeeh, aku kan dari awal memang sedang Display.” Senyum orang ini mengerikan sekali, sepertinya wajah baby face itu bisa menipu jutaan orang kalau mau.
            “Kyaaa! Keren sekali, yaampun lihat deh, kalau tidak salah itu anak baru yang keturunan bangsawan kan? Siapa namanya? Kelas satu mana,ya?”aku nyaris terjungkal ketika hendak mengangkat tumpukan handuk di pojok loker, meski baru masuk tapi kegiatan belajar belum diselenggarakan jadi hanya ada kegiatan klub. Kegiatan klub pertamaku diselingi teriakan seram anak-anak perempuan di seberang gym. Aku mengikuti arah mata mereka, ah, anak itu kalau tidak salah anak kelas beasiswa ng, HOSAKA RYUUGEN. Namanya keren, sekeren orangya, warna rambut hitam yang sengaja berantakan, poninya nyaris menutupi wajah kalau saja dia tidak mengikat sedikit rambutnya itu.
            “Hosaka-kun! Ada yang mencarimu..,” gawat kami saling bertemu mata!
            “Eh, iya sebentar lagi! Senpai duluan saja,” Hosaka memang anak yang aneh, setidaknya begitulah pikirku. “Ada apa? Kok dari tadi melihat Hosaka-kun saja?” aku berteriak kaget karena sekarang Yuki-san sudah berada di belakangku.
            “Huh? Apa, oh, tidak hanya sempat saling bertemu mata. Aku tak begitu kenal. Masih terlalu dini untuk berkenalan” kataku,
            “Kenapa begitu, tampaknya hampir seluruh angkatanmu kenal dengan wajah dan namamu, aku kira kau memang sudah pandai bergaul dalam sehari. Sampai Hosaka-kun selalu memerhatikanmu.” Kekehan Yuki-san kuhentikan ketika berhasil menyikutnya keras, haah, untuk apa berakrab-akrab dengan anak-anak? Aku bahkan tak begitu tertarik bergaul meski datang ke sini, aku ingin menjalani hari-hari biasa tanpa digosipi atau dinobatkan sebagai apalah-apalah. Intinya aku mencari hidup yang biasa.
            “Hei, Saya-chan. Padahal wajahmu cantik sekali, rambutmu panjang hitam, matamu indah, kalau kau mau kau bisa jadi siswi popular melebihi senior di kelas 3. Aku yakin soalnya senior-senior sibuk mencari perhatianmu. Sayangnya, kau terlalu muka besi hingga perhatian mereka terpental begitu saja.” Cerocos Yuki-san sembari membantuku melipat handuk dan mengisi botol, sementara aku hanya meresponnya dengan helaan napas.
            “Haah, tidak perlu sampai seperti itu. Lagipula tidak ada manfaatnya memamerkan wajah karena hanya ingin dianggap cantik atau kepopuleran. Senior saja yang terlalu banyak gaya sampai kepedeannya tinggi setinggi selebirit padahal mereka hanya bocah SMA.” Yuki-san ternganga dan langsung tepuk tangan perlahan mendengar penuturanku tadi. “Aku yakin kalau senior perempuan mendengar cemoohanmu tadi kau bisa langsung kena bully.”.
“Apa aku harus mengatakan kau memujiku tadi?” Yuki-san hanya memberikan cengiran. Baiklah aku mulai lelah sekarang, menjadi Manager ternyata seperti pembantu resmi, katakanlah itu karena gara-gara disuruh macam-macam sekarang pinggangku nyaris lepas dari tempatnya. Karena hari sudah menjelang sore akhirnya kegiatan gilaku selesai.
            “Mengerikan, aku tak mau lagi kenal dengan orang bermuka manis.” Yuki-san pamit duluan karena dia kerja sambilan, sebenarnya terlarang sih Cuma dia terlalu licik sampai-sampai bisa mendapat  hati kepala sekolah dan mengizinkannya kerja paruh waktu di Konbini*(Toko 24 jam, nyaris seperti Mini market). Kucek ponsel sebentar, ada tiga pesan dari ayahku agar mampir ke toko roti untuk makan malam.
“Nona muda, kalau tidak hati-hati kau bisa menabrak tembok,lho.” Aku terkesiap melihat siapa yang nyaris kutabrak itu. HOSAKA RYUUGEN! 

“Oh, maaf.” Aku melengos tapi sayangnya dia terlalu cepat dan berhasil menangkap lenganku.
 “Ng…, jangan begitu dong. Kirishiki-san, ah atau bisa aku panggil; Algojo Keluarga Kirishiki, Saya-ojou Sama” Jantungku melorot mendengar suara dingin itu, sepertinya aku terjebak lagi.
            “Apa maumu?” tanyaku tak kalah sinis tanpa menoleh.
            “Ups, maaf-maaf. Aku tak bermaksud jahat. Sebenarnya kalau boleh jujur aku juga sama. Namaku Hosaka Ryuugen, keluargaku salah satu bagian dari Hokutou ShichiSei. Dengan kata lain aku juga eksekutor Negara,lho.” Dengan santai dia menunjuk dirinya lalu senyumnya itu terlihat tulus, meski aku belum 100% percaya padanya tapi lamat-lamat aku ingat waktu itu ada acara besar dan nama Hosaka itu tidak asing bagiku. Untuk sementara aku percaya padanya, maklum ini terlalu mendadak dan sejauh ini aku belum kenal siapapun di sekolah(minus Yuki-san). Selama 5 menit kami berdiam diri, wajah Hosaka-kun mulai kikuk dan dia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal.
            “Anu, maaf ya aku tadi agak kurang ajar. Sebenarnya aku sudah lama tahu soal kau tapi sayangnya aku tidak berani menyapa, makanya waktu aku lihat kau menolong Kamishiro-senpai dan ternyata bergabung di klub basket aku makin berani untuk menegur, eh tapi malah aku yang kerepotan sendiri. Ah! Maksudku, bukan karena kau salah satu keluarga terhormat, jujur saja Keluarga Hosaka sendiri hanya perangkat bawahan keluargamu,” dia menjeda omongannya sementara aku masih memerhatikan gerak-gerik Hosaka-kun, “Jadi, bagaimana kalau kita…, ng, memulai lagi perkenalannya?” dengan malu-malu juga wajahnya yang semerah tomat itu nyaris membuatku terbahak.
“Dasar bodoh, bertele-tele seperti ini membuatku ingin tertawa saja. Oke, namaku Kirishiki Saya. Senang berkenalan denganmu, Hosaka-kun.” Aku mengulurkan tangan, dia tampak merah padam dan menyambut tanganku sambil gemetar. “Ah, namaku Hosaka Ryuugen, tapi kau cukup panggil aku Ryuu, kok.” Kami tersenyum di bawah sunset tepat di halaman depan, sementara guguran Bunga Sakura menerpa sekeliling rambutku.
            “Mm, baiklah, Ryuu-kun kau mendapatkan simpatiku.” Ujarku sambil berjalan.
            “Jadi aku boleh memanggilmu Saya-chani?” kekehnya jahil sembari menyusul tepat di samping kiriku.
            “Wah, bagaimana ya? Aku kurang berminat pada bocah sepertimu.”sindirku bercanda. Dia langsung melongo dan tampak menggembungkan pipi tanda kesal.
          “Apa-apaan itu? Kau masih kesal soal tadi, padahal aku Cuma bercanda kok! Boleh,kan? Ya, ya, Saya-chan!” rengeknya. “Aah, iya-iya, terserah kau saja dan jangan tarik-tarik seragamku!” kami tampak konyol di saat sore hari dan untungnya tak ada yang melihat, bisa gawat kalau menimbulkan gossip baru padahal aku baru saja jadi anak SMA. Ketika di depan mulut gerbang kami melihat seseorang yang tampak menunggu, siapa dia? Aku tidak tahu sosoknya itu. Tampaknya dia adalah Senpai. Dia sedang menunggu siapa?
            “Benar-benar deh, kau ini niat sekali mengerjaiku, Hosaka.” Cibir pemuda tinggi itu.
            “Aaah, maaf Senpai! Aku kan sudah kirim pesan tadi.” Ryuu-kun kelihatan salting.
            “Terserah kau saja, ng, siapa dia? Pacarmu? Tak kusangka kau ini playboy juga.” Dia dengan pandangan datar dan mengejek mengamati Ryuu-kun sementara aku terpaksa tersedak akibat pertanyaan tak terduga itu.
“Ap—aduh, Senpai! Kau mulai salah paham, kami baru kenalan tadi dan tolong aku tidak mau diejek oleh senior tak laku sepertimu. Aku mulai khawatir karena kau belum punya pacar di musim semi tahun keduamu.” Ejek Ryuu-kun balik,
“Diam kau! Mentang-mentang langsung masuk ke first string kau jadi ngelunjak! Jadi bagaimana? Soal besok Minggu, kau ini niat tidak sih mengadakannya?” aku hanya diam sementara kedua pemuda tanggung ini saling memelototi satu sama lain.
            “Tentu saja jadi, apa kau sudah mengajak yang lainnya? Aku tidak mau pinggangmu encok akibat kurang pemanasan di streetbasketball nanti,lho.”
            “Tidak sopan, tentu saja sudah kukabari. Aku bisa menghajarmu memakai berbagai jurus.” Dengusnya. Ryuu-kun tampak bangga karena obrolan ini dia di atas angin, baiklah tahu begini aku pulang duluan saja, gara-gara si kepala sarang burung ini aku terjebak pada kegiatan tidak penting. “Aaah! Senpai, kau lupa memerkenalkan diri pada Saya-chan!” teriak Ryuu-kun membuatku kaget.
“Huh? Oh, maaf,maaf. Sepertinya aku kurang sopan berhubung anak kurang ajar ini nyaris membuatku naik darah.” Pemuda itu membungkuk rendah padaku, aku pun turut melakukannya lalu dia kembali menatapku. “Jadi kamu teman Hosaka? Klub apa?” tanyanya.
            “Huh? Ah, namaku Kirishiki Saya. Aku Manager baru di Klub Basket Shuutoku.” Jawabku perlahan.
            “Oh, begitu? Namaku MAASAKI NAKATANI. Aku anggota regular first string di Klub Basket ini. Selamat datang di Klub Basket dan SMA SHUUTOKU.” Nakatani-san tersenyum padaku. Ryuu-kun menyelak di antara kami dan dengan semangat dia berkata : “Jadi di putuskan, Maasa-senpai dan Saya-chan akan ikut di acara Hari Minggu nanti~!”
“Hah!? Apa, aku kan belum memutuskan ikut, kau jangan seenak—.”
“Karena sudah terlanjur aku juga tidak mungkin mengabaikanmu gara-gara pembicaraan kami tadi, sekalian aku antar pulang saja,yuk! Maasa-senpai bagaimana?” sahut Ryuu-kun.
“Aku harus ke toko, ada barang pesanan.” Kami akhirnya berpisah jalan dan Ryuu-kun mengantarku pulang.
            “Hari Minggu nanti di lapangan basket pinggir kota, aku jamin kau takkan menyesal deh! Nanti aku jemput, barangkali rumahmu terlalu mencolok saking besarnya.” Mulut sialan Ryuu-kun bungkam setelah kutusuk dengan tanganku, dia mengaduh lalu dengan santai aku melenggang pergi masuk ke rumah. Haah, hari yang mengejutkan tapi, yang lebih mengejutkan lagi adalah soal Hosaka Ryuugen, kemungkinan besar aku bakal bertemu dengan keluarga besar lainnya di kota ini, yang jadi masalah adalah kalau sampai public tahu dan aku tidak bisa lagi bersekolah. Aah! Sudahlah, jalani saja apa yang ada, menurutku ini tidak buruk juga. Ponselku berbunyi dan kutemukan pesan singkat dari Ryuu-kun.
Maaf soal tadi, aku serius lho! Persiapkan dirimu Hari Minggu pukul 09.00 di depan rumahmu Kalau kau lupa  rumahmu terpaksa kubobol :3.”
           
Dasar iblis kecil satu ini memang perlu diwaspadai, aku tersenyum dan menutup ponsel lalu bersiap untuk mandi dan tidur.

HARI MINGGU. 09.00
            Aku ingin sekali memaki-maki Ryuu-kun akibat kecepatannya dalam mengendarai sepeda, dia dengan gila-gilaan mengayuh menerobos berbagai macam kendaraan hingga aku ingin melemparnya ke bak sampah. Tapi sudahlah, berkat kemampuannya yang mengerikan ini kami berhasil datang tepat waktu sebelum Nakatani-san menghajar Ryuu-kun.
            Rupanya kami belum terlambat sepenuhnya. Aku melihat sekeliling, tampaknya pagi hari di musim semi itu nyaris membuat orang-orang tak bergairah melakukan kegiatan meski hari ini memang adalah hari yang pas untuk bermalas-malasan, entah kenapa si rambut berantakan di depanku ini masih saja punya tenaga untuk berteriak-teriak girang tanpa memerdulikanku yang nyaris mati akibat kayuhan sepeda gilanya,
            “Kau nyaris terlambat, Hosaka.” Sambutan dingin datang dari Nakatani-san.
            “Ugh. Ayolah, Maasa-senpai, kau tidak usah mencibir pagi-pagi, menghilangkan mood saja.” Protes Ryuu-kun. “Iya, iya maaf. Lagian aku tidak sepenuhnya serius.” Aku menaruh perlengkapan seperti handuk, minuman energy, lemon madu yang mendadak kubuat subuh-subuh, dan perlengkapan pendukung lain seperti P3K dan semprotan anti nyeri. Sayangnya aku tidak sempat membawa ice box karena tidak punya(aku punya hanya saja ukurannya jauh lebih besar, mana mungkin aku membawanya sambil dibonceng).
“Kalian, jangan lupa pemanasan dulu, aku tidak mau memanggil ambulance kalau kalian cidera.” Ucapku.
“Cara bicaramu mengerikan, Saya-chan.” Komentar Ryuu-kun memandang ngeri.
“Dia memang seperti itu atau bagaimana? Auranya seram.” Bisik Nakatani-san.
 “Apa kita masih menunggu orang lain lagi?” Tanyaku. “Iya, kita menunggu dua orang lagi. Beda sekolah dengan kita sih tapi masih satu kenalan dengan Maasa-senpai.” Ujar Ryuu-kun, aku Cuma menangguk mengerti lalu kembali merapikan handuk juga berbenah diri, musim semi yang lembab mudah membuatku berkeringat apalagi rambutku panjang, itu makin membuatku repot. Aku ingin potong rambut tapi nanti ayahku bakal mengamuk—mendiang ibu berambut panjang—makanya ayah melarangku potong rambut. Sejujurnya aku tidak begitu ingat sosok Ibu, beliau meninggal akibat sakit jantung di saat umurku dua setengah tahun, jadi nyaris taka da kenangan di benakku soal almarhum, tapi kurasa ini bukan waktunya flashback karena sekarang Ryuu-kun sudah meneriakiku untuk ke lapangan setelah aku mengikat rambut. 

            “Mereka sudah datang! Sini dongg, Saya-chan!” dia menarik tanganku.
            “Hei, aku bisa jalan sendiri lagian aku malas tahu, Ryuu! Kau dengar aku tidak,sih?”
            “Kau harusnya memberikan salam yang bagus pada mereka dong, tuh, mereka datang cepat!” senyum Ryuu membuatku silau, seumur-umur belum pernah aku bertemu orang yang sebegini ceria. Dia seperti matahari yang silau, sangat silau untukku yang nyaris tak pernah menyentuh dunia terang. Karena aku tahu seperti apa posisiku di sini, makanya tak banyak yang bisa aku lakukan, bahkan aku lupa kalau Ryuu juga sama(entah ya, kenapa aku lebih nyaman memanggilnya begitu). Padahal… padahal dia dan aku… sama,ya kan?
            “Ohh, jadi sekarang kau mulai mengajari adik kelasmu jadi cowok tampan,ya?” cibir cowok berambut raven coklat dengan senyum mengejek.
            “Kau ini sengaja merusak reputasiku,ya?”
            “Aku tidak berniat begitu hanya saja tak kusangka sekolahmu kebanyakan begitu,ya?”
Mereka berdua langsung melempar pelototan dan seperti ada percikan api di kedua mata mereka, wah aku sepertinya salah tempat! Ryuu! Kau harus tanggung jawab!
            “Maa, maa Senpai, sudahlah, jangan bertengkar terus nanti kau cepat tua”sekarang Ryuu dijadikan korban selanjutnya, dengan tampang sengit dan wajah mereka menakutkan sekali.
Sementara mereka asyik mengobrol tidak jelas aku hanya diam ditinggalkan lagi, yaah, sebenarnya ini juga bukan acaraku, aku hanya tamu tak diundang.
            “Hei, kau kelihatan pucat? Tidak apa-apa?” Mataku menangkap sosok yang menyapaku itu, menjulang tinggi dan semampai, rambutnya yang kehitaman di highlight coklat di tiap ujungnya, memakai jaket jumper hitam dan senyumnya membuatku ternganga.
            “Ahh! Kau ternyata di sana, aku kira kemana!” seru pemuda berambut caramel di sebrang sana.
            “Aku baru saja beli minum, ngomong-ngomong kenapa kalian nyuekin gadis cantik ini?” wajahku seperti disengat sesuatu, aakh!! Kenapa aku jadi salting begini, padahal aku baru saja mengenalnya. “Oh, maaf! Saya-chan, sebelumnya perkenalkan mereka nih, mereka dari SMA SEIRIN, klub basketnya memang belum ada Cuma mereka suka gabung di streetbasketball yang lumayan popular di daerah sini.” Terang Ryuu.
            “Namaku KAGETORA AIDA, aku salah satu pemain andalan di streetbasketball. Ah, dan ini temanku, kami sekelas dan kami sama-sama ikut basket jalanan,tidak hanya aku saja, kami punya klub sendiri dan dia wakil kapten lho..”
            “Perkenalkan, aku SHUUMA YUKIHIRA. Senang bertemu kalian, mohon bimbingannya ya.” Kesanku padanya bagus, sayangnya karena aku harus berkaca dari kenyataan, akhirnya perasaan itu kututup begitu saja, tidak ada hal yang harus kusesali kalau aku tidak memiliki rasa padanya. Sayangnya aku tidak mau menyesal atau apalah itu, setidaknya melihat sosok Yukihira-san sudah cukup.
            Sementara aku kembali merutuki peralatan P3K, aku tidak menyadari kalau sedari tadi Yukihira-san mengamati—atau mungkin memerhatikan—diriku yang membelakanginya, aku seperti orang bodoh karena sibuk meneriaki Ryuu yang seenaknya mengambil lemon madu dari kotak makan, kebetulan aku juga bawa makan siang untuk semuanya jadi kita tak perlu membeli makanan di mini market. Kesannya seperti piknik saja. Tapi ya sudahlah yang penting mereka senang.
            “Oi, Yukki ada apa?”
            “Tidak. Hanya saja, sepertinya sore ini akan hujan,ya?”
Entah apa yang terjadi kelak, sepertinya inilah awal dari musim semiku. Awal musim semi dan cinta yang menyakitkan juga… BADAI yang akan datang tiba-tiba itu..
            “Saya-chan kenapa?” Tanya Ryuu.
            “Nggak, Sore ini sepertinya akan turun hujan.”

            Kisah ini baru dimulai…, rahasia di antara kami dan BENCANA yang akan datang

KINAKO YUKIHIRA
—The Story That Nobody Know—

Tokyo-Apartement Lt. 2,.
            Badai Salju nyaris membekukan seluruh kota.
Taka da yang berani keluar di saat salju mengamuk menggempur seluruh penjuru Tokyo,
      Ruangan yang kedap suara di sini sangat membantu, setidaknya ruangan ini tidak kelihatan terlalu mencekam karena diterangi lampu baru. Kotatsu*(meja penghangat) di tengah-tengah ruangan yang minimalis dialasi dengan Tatami berdiam dengan tenang bersama teko berisi Teh Hijau yang hampir habis di atasnya. Aku mengamati jendela yang membeku, sembari mengupas sebuah Jeruk Mandarin yang kubeli tadi siang.
           Makan siang hari ini hanya Kotak Bento berisi udang dan cah sapi, lalu jeruk, dan teh hijau, sebagai penutupnya aku membuat sup sayuran. Udara terlalu ekstrim hingga di dalam ruangan yang kedap masih saja terasa dinginnya. Apartemen kecil di pinggiran kota ini tidak terlalu menyolok, apalagi karena di sini jauh dari pertokoan, meski begitu akses untuk kendaraan mudah juga banyak yang buka toko kelontong seadanya, mini market saja berjarak 1 km dari sini, lumayan jauh.
           Tak banyak yang kulakukan, aku hanya mengecek ponsel yang batrenya tinggal sedikit, kurasa tidak ada tanda-tanda mencurigakan dari komplotan tadi, atau pergerakan dari Kagami-Nii cs         yang masih berada di kuil. Kuhela napas dan kembali focus pada jerukku yang hampir selesai kukuliti. Perasaanku sudah terlalu membeku sama seperti cuaca ini, semenjak kehilangan Kohane –ralat—bahkan sebelum kehilangan adikku itu,aku sudah memutuskan untuk bergerak sendirian, tanpa melibatkan mereka atau semuanya akan hancur. Aku juga tidak tahu apa-apa soal festival bodoh mengerikan dan yah, sekarang aku hanya terkurung dalam masa lalu dan dendam akibat insiden itu. Sepuluh tahun sudah aku meninggalkan jalan hidup untuk meneruskan posisi sebagai Juuhachidaime*(the 18th) keluarga eksekutor Yukihira, sayangnya aku tidak berminat untuk menjadi eksekutor para mafia-mafia di luar sana.
           “Heii~ aku sudah menghangatkan supnya, makan malam aku beli ikan saja,ya? Lagi ada diskon.nih kau mau ikan apa? Ada tambahan…?” sosok bertubuh tinggi yang rambutnya dikepang itu membawa semangkuk besar Sup Miso yang tadi kubuat, sembari melihat-lihat pamphlet yang tertera harga diskon untuk ikan dan daging. Pemuda berambut orange tersebut mengamatiku sebentar lalu iris coklatnya mengerling jahil.
“Aku mau salmon saja. Tapi kau yakin mau belanja di tengah badai begini?” tanyaku acuh tak acuh.
“Nanti malam juga badainya berhenti kok. Lagian aku tidak mau jadi manusia purba yang dibekukan kalau aku nekat keluar sekarang, nih bagianmu, cepat dimakan sebelum dingin karena supmu bakal jadi es kalau lama didiamkan.” Ocehnya, aku menurut lalu turun dari ambang jendela, kuraih sup di mangkuk lalu kumakan perlahan.
           “Apa kau mendapat sesuatu?” tanyaku.
           “Soal apa?”. “Soal festival dan informasi organisasi dalam keluarga itu.”
           “Aku tak mau memberimu harapan berlebih, sayangnya aku belum bisa menemukan informasi yang pas, Juuhachidaime~.” Aku mendelik ketika dia menggodaku.
           “Haah, kurasa bertanya padamu saat ini adalah hal yang salah..” sahutku perlahan.
           “Ng, kalau kau Tanya perihal harga diskon kurasa itu lebih tepat..” aku meloloskan senyuman simpul mendengar jawabannya.
           Kami menikmati sup itu juga ikan makarel yang barusan dibakar olehnya, aku merasa dia jauh lebih pandai mengurus rumah ketimbang aku, terutama soal memasak. Aku hanya bisa memasak Omelet dan sup, kalau yang rumit tidak bisa. Mirip Kagami-nii, hanya saja wajahnya tidak kelewat garang dengan sepasang pupil berwarna coklat jahil dan rambut orange panjang(nampaknya dia malas ke salon).
           “Nee, Kinako-chan. Kau yakin tidak mau kembali?”
           “Sudah kukatakan untuk tidak membahas hal itu.”
           “Maaf, maksudku, aku merasa anak berambut blonde sangat peduli (sangat suka)padamu meski kau bersikap sedingin ini, aku turut berduka atas kematian adik kembarmu. Seharusnya aku mengajak ayah untuk datang ke pemakaman Cuma berita itu seperti ditutup-tutupi pihak berwenang juga pihak yang berkaitan. Bukankah kau percaya kalau ibumu juga masih hidup dan apa salahnya kembali ke tempat yang selalu bisa menerimamu kini? Kurasa rasa kasih sayang mereka sangat kuat,lho.”
           “…..”. Aku hanya bisa terdiam, aku percaya Haha ue*(ibu) masih hidup dan aku tak mau bingung karena berita simpang siur itu, semakin aku memikirkannya semakin banyak keraguan yang menghujam hatiku.
           “Apa kau bimbang, karena takut tidak diterima lagi?” sembari mencuci piring kata-kata yang dilontarkannya mengongkan hatiku, benar sekali, kebimbangan itu terus menggantung di sana. Tapi aku tidak boleh membiarkan kebimbanganku menggrogoti setiap jalan yang telah kuperbuat. Kekuatan saika ini sudah hilang dan sekarang aku hanya bisa bertumpu pada katana  bersarung hitam di pojok ruangan yang bersandar santai. “Kurogarasu*(gagak hitam) terlihat tenang di musim dingin.” Komentar pemuda itu pada pendangku, Kurogarasu.
           “Aku tidak boleh lengah, aku punya misi.” Sahutku tajam.
           “Iya,iya, aku mengerti…, makanya aku juga ada di sini. Tidak sia-sia aku membawa Tsumiho*(Sin’s) bersamaku, pedang yang bawel sekali” Sahut pemuda itu.
           “Maaf melibatkanmu…”
           “Kenapa kau minta maaf, kita sudah seperti saudara. Kinako-chan, Oyaji*(ayah) sudah menyerahkan semuanya padaku..” senyuman itu entah kenapa membuatku lega, senyum yang mirip akan seseorang.
           “Ya. Terima kasih..., aku mohon bantuanmu.”
         “Serahkan padaku, Juurokudaime*(the 14th)  dari keluarga Algojo Hokutou ShichiSei. HOSAKA SHINGEN.” Shingen-san menepuk dadanya bangga, aku tersenyum samar diiringi gemuruh badai yang entah kapan akan berhenti.
           Seperti masa lalu dan luka hati yang entah kapan akan menghilang.
           Di tengah kobaran api sepuluh tahun lalu. 

FESTIVAL KEMATIAN 3 - PART 2

PART 2

MIDORIMA SHINTAROU 
Kuil Yukibana—ruang tengah—14.20 p.m

            Kejadian demi kejadian terus membuat adrenalinku naik turun.

            Kini aku hanya bisa membeku melihat Takao yang menjadi sasaran amukan berikutnya, mengingatkanku akan kejadian enam bulan lalu di Teikou. Kebohongan demi kebohongan terus aku ucapkan demi melindungi diriku sendiri, sebenarnya semua yang ada di malam itu hanya ‘bohong’. Aku rasa tak perlu kujelaskan sekarang mengapa aku menekankan kata bohong di dalam kalimatku barusan,ya, sekarang Saya-san ada di sini dan sebentar lagi kebohongan akan terungkap. Namun sebelumnya mengulang kembali kejadian beberapa waktu ketika kami duduk di dalam ruangan besar menyilaukan beralas tatami mewah ini, kejadiannya adalah Takao dan Himuro-san yang pergi ke kamar mandi dan kira-kira sampai lima belas atau duapuluh menit mereka tidak kembali. 

            Hatiku mulai diliputi kecemasan, mendengar penuturan Saya-san dan Kakek Zen tentang masa kelam desa ini juga korban-korban yang kebanyakan anak di bawah 16 tahun. Tanganku terus gemetaran di samping Saya-san bahkan gelasku nyaris saja retak dibuatnya. 

            “Shintarou-kun, kurasa ada baiknya kita menjemput anak-anak itu. Perasaanku tidak enak” ah, sedari tadi aku juga ingin melakukannya tapi kakiku bahkan tak mampu bergerak barang sesentipun! Seperti ada solatip yang merekatkannya hingga kakiku nyaris kram akibat terlalu lama bersila. Dilubuk hatiku, semenjak mendengar berita kematian Kohane ketika masih berada di Sapporo amat memukulku, istilahnya seperti ada sebuah bola basket bertubi-tubi berjatuhan di atas kepala ini. Di tengah keputusasaan itu malah Saya-san yang meyakinkanku untuk tetap pergi ke tempat ini walau aku harus menyeret kedua kakiku, sekalinya pernah aku bertanya pada wanita paruh baya ini.

            “Kenapa kau bisa setegar ini? Maksudku.. putrimu..”
            “Aku sudah merasakan banyak kehilangan, semenjak kematian Shuu itu adalah terakhir aku bisa melepaskan kesedihanku. Sudah sepuluh tahun dan pekerjaan menuntutku untuk tetap menjadi ‘aku’ yang sekarang. Bukannya aku tidak peduli. Kurasa, yang seharusnya berhak sedih adalah Kinako bukannya aku.”
            “Mengapa demikian?”
            “Karena selama sepuluh tahun, yang menjaga Kohane bukanlah Ibunya melainkan Kakak kembarnya…, jadi aku tak pantas untuk mendapatkan hak istimewa itu”
            “Tapi Saya-san… ibu mereka…”
            “Ibu yang baik bukanlah Ibu yang menelantarkan anaknya bahkan membuat mereka menderita…”

            Aku takkan pernah melupakan pembicaraan itu, percakapan yang membuatku mengingat betapa aku mensyukuri kehidupan normalku sampai sekarang, mendapat perhatian yang cukup, prestasi yang lumayan, makanan, pakaian, orang tua , juga rumah yang hangat untuk kembali. Saya-san mengajarkanku untuk berdiri di atas kaki sendiri dan tanpa sadar aku bisa merasakan betapa sulitnya kembali ke dalam kehidupan yang damai ketika kau sudah melewati zona nyamanmu.  

            “Hei, sepertinya aku mendengar suara keributan dari arah lorong” sahut Aomine.
            “Ukh, perasaanku menjadi kenyataan!” Kagami langsung menghambur dari posisinya duduk membuat Aomine terjungkal hingga tak sanggup berdiri, sementara aku harus tergopoh-gopoh menyusul kecepatan gila Kagami itu. “Eh!? Tunggu, jangan pergi ke sana, di sana berbahaya,kan!?” Uzumaki-san mencoba mencegah tapi keributan itu memancing sebagian dari kami untuk bergerak. Sial! Kakiku seperti membeku(wajar sih di udara seekstrim ini) padahal ini baru menunjukkan pukul dua siang. 

            “Biarkan aku yang pergi…” seseorang menepuk bahuku lembut, tangan yang dingin tapi bukan hantu. Surai kelabu itu melewati kami dengan licin kemudian membaur di antara Saya-san bak adegan slowmotion, Mayuzumi-san dengan lihai menerima katana Saya-san yang diangsurkan padanya sebelum melesat pergi seperti roket. “Dasar anak keras kepala” cibir Saya-san. Lalu semua terjadi begitu saja. Aku tak menyangka kalau selain Mayuzumi-san punya fisik lumayan dia sedikit mahir Iaido*(Seni pedang), meski belum dianggap semahir Saya-san tapi kelincahannya saja sudah mendapat acungan jempol bagiku yang hanya bisa main basket di lapangan. 

            Dugaanku tidak salah, Takao cidera berat hingga darah membanjiri dia dan Himuro-san yang mati-matian melawan tangan kosong, dasar si bodoh itu! Padahal dia pasti tahu kalau sedari tadi mereka diincar tapi tetap saja pura-pura tak tahu untuk melindungi Himuro-san. Aah, kadang aku bingung apakah aku harus bangga atau malah lelah memiliki teman seperti ini, tanpa sadar aku malah membawa Takao dengan gaya bridal style membuat semua pasang mata memandang terkagum-kagum(?) pada kami.

            “Seharusnya tidak kubiarkan kau sendirian.”. hanya itu kata-kata yang meluncur dariku setelah aku meminta maaf dengan suara seperti tikus mencicit. Takao hanya menatapku lekat-lekat lalu menepuk-nepuk kepalaku perlahan membuat wajahku memerah karena senang atau mungkin kelegaan yang teramat sangat karenannya. 

            “Maaf membuatmu terluka, harusnya aku menemanimu tadi” bisikku lagi.
            “Hei! Sudah, ah, kau ini mengesalkan sekali! Padahal aku sudah capek-capek menunggumu pulang dan sekarang setelah sekian lama kau malah jadi begini? Kau pikir aku bakal mati muda,ya?” Aku bengong melihat Takao dengan perban di perutnya masih bisa memarahiku habis-habisan dan dengan bodohnya aku Cuma diam..

            “Ano, Takao-kun…, lukamu..bisa terbuka lagi.” kini kudengar Kuroko menyahut.
            “Aku tidak mau si Kepala Lumut ini khawatir padaku!” Oke, aku mulai kesal ketika dia mengataiku kepala lumut, aku spontan memelototinya dengan tatapan songong seperti Midorima Shintarou yang biasanya

            “Kurasa orang bodoh tidak kenal rasa sakit” cibir Saya-san. Sekarang pelototanku beralih pada wanita bermata tajam yang sedari tadi hanya asyik dengan sake di tangannya yang mulus seperti porselen, dia ini benar-benar menurunkan gennya pada Kinako(sekarang aku tahu darimana sifat menjengkelkan si kecil bermata satu itu). 

            “Kise? Kau sudah sadar?” aku menoleh seketika mendengar suara Aomine, benar saja, Kise sudah sadar dan terduduk di atas futon

            “Kise, kau kenapa? Apa ada yang sakit?” Takao disampingku melambaikan tangannya.
            “Takaocchi.. yang di belakangmu itu.. siapa?” Kise malah bertanya balik, cahaya matanya yang masih redup memandang lurus ke arah Takao tapi tatapannya bukan ke arah wajah Takao melainkan sesuatu ‘di belakang Takao’.

            “Kise, apa yang kau lihat?” Tanyaku padany
a untuk memastikan.
            “KOHANECCHI….”

Jantungku mencelos selama hampir tiga detik sementara kulihat Takao Nampak membeku masih dengan posisinya berdiri, bukan hanya aku saja melainkan semua orang membeku mendengar penuturan Kise. “Jangan bercanda dong, Hanecchin,kan sudah meninggal? Candaanmu tidak lucu” gerutu Murasakibara.
            “Ya, apalagi aku masih kesal karena si tolol ini membuatku terjungkal sampai menggelinding tadi”. Aomine menggedikan dagu sengit. “Kau ngajak berantem aku ladeni” semprot Kagami tak kalah sengit. Untuk sementara aku biarkan saja kedua orang bodoh itu bersitegang karena sekarang Kise malah terdiam tanpa focus, matanya bisa dibilang antara kosong atau bagaimana aku tak mengerti namun aku rasa Kise tidak bercanda. 

            “Kohane..cchi? kenapa, ada apa?”. Baiklah melihat Kise semakin kacau aku langsung mendekatinya lalu memberinya minum. Dia menyambut gelas di tanganku kemudian minum hingga setengah gelas, “Kise, Kohane ada dimana? Kau kenapa bisa melihatnya?” tanyaku.

            “….” 
            “Kise?...”
            “Kurasa percuma saja mendesaknya, Midorima. Tak ada yang bisa melihatnya kalau benar di belakang Takao-kun ada sesuatu. Sebenarnya memang aku merasakan sedari tadi ada sesuatu di sekeliling Takao-kun meski tidak sepeka….” Mayuzumi-san terdiam kemudian melirik Kagami dengan tatapan penuh selidik, entah kenapa yang dipandangi malah memandang bingung. “Kenapa? Ada sesuatu?” tanyanya.

“Kau bisa lihat?” Tanya Mayuzumi-san.
“Aku hanya bisa melihat sekelebat putih disekeliling Takao, dia tampak menempel terus padanya ,dia enggan berada di dekat siapapun. Tapi mungkin juga itu adalah Kohane.” penjelasan yang cukup, sedari tadi aku merasakan kalau Kagami tampak berbeda daripada dia yang sebelumnya. 

            “Aku bisa melihatnya.” Saya-san menyahut. Kami langsung menatapnya tidak percaya, “Dia melihatku, terus melihatku meski dia tampaknya hanya bisa menempel pada Kazunari-kun entah karena apa yang jelas Kise sepertinya diizinkan  untuk melihat Kohane” ujar Saya-san selanjutnya, pandangan matanya berubah melembut membuatku teringat sesuatu ; ‘saatnya untuk membongkar kebohongan!’.

            “Akashi..” panggilku pada kawan sejawat sejak zaman SMP, Akashi mendekat padaku kemudian menatapku penuh kesabaran. “Aku ingin menjelaskan sesuatu padamu, bukan, pada kalian.” Tandasku hingga orang-orang di ruangan terdiam. “Anu, maaf, apa aku mengganggu? Aku bisa permisi segera setelah—.”Aku menggeleng cepat kemudian memberi kode kalau tidak apa-apa bila Uzumaki-san tetap berada di sini. 

            “Kalau begitu, aku siapkan teh baru dulu. Tehnya sudah dingin” Kakek Zen menepi di pojok ruangan untuk memanaskan air teh sembari membantu Mayuzumi-san merawat Takao dan Kise. Kalau begini aku bisa membuat buku ; Orang Sakit yang Merawat Orang Sakit. Mengingat Mayuzumi-san habis dihajar hingga babak belur oleh kawanan tak dikenal(yang mengaku adalah anggota keluarga Yukihira) tapi sekarang malah membantu untuk merawat Kise dan Takao yang cidera, sungguh luar biasa sekali. 

            “Apa yang ingin kau bicarakan?” Tanya Akashi. 

            “Hei, jangan katakan kau mau membicarakan soal Teikou no Tatarigoroshi juga apa yang sebenarnya kau lakukan itu? Bagus, sekarang pembunuh berdarah dingin yang sudah menghidupkan kembali seorang gadis kecil akan bicara.” Cerocosan Aomine terhenti tepat saat Akashi melayangkan tatapan super mengerikan yang membuat bulu kudukku berdiri. 

“Sebenarnya, bukan begitu. Tentang meledaknya gas di ruang PKK memang ulah Kinako, kejadian itu membuat Kohane nyaris tidak pernah lagi masuk sekolah. Aku…” aku terdiam sebentar 
mengambil tetes demi tetes keberanian, 

“Aku…, ketika Kinako sekarat dengan luka-luka itu menawarkan bantuan pada Kohane, membawanya ke klinik kenalan ayahku yang mampu menyelamatkan nyawa anak itu tapi.., tentu saja aku melawan takdir demi keselamatan seorang gadis kecil dan harus berbohong pada kalian atas berita-berita seputar ruang PKK”. Diam, semua terdiam membisu seperti mendengar cerita horror abad ini.
            “Tapi kenapa Kinako bilang dia sudah mati?” Tanya Kagami.
            “Karena dia tahu seharusnya dia mati ketika itu, tapi aku malah membangkitkannya lagi, maksudku menyembuhkan lukanya dan memaksanya kembali ke kehidupan demi Kohane.”
            “Itu bukan masalah budohoh!!” PLAK! Sekarang aku bisa merasakan Takao menghajar kepalaku dengan nampan minum, aku siap menyemburnya dengan segala cacian namun, “Yang namanya musibah itu adalah alami terjadi, bagaimana bisa kau menyalahkan dirimu sendiri atas semua keputusan itu? Jangan menganggap semua masalah adalah beban pribadi, kau masih punya aku sebagai temanmu, wajar kan kalau kita saling berbagi?!” sambil berkacak pinggang dan wajah sengaknya Takao membuatku terdiam.

“Benar kata Takao-kun. Midorima-kun, kau tak perlu menanggungnya sendirian. Lagipula, aku juga masih ingin tahu apa kelanjutan kata-kata Kohane dulu” timpal Kuroko.
“Setidaknya kita urusi saja dulu perkara Festival itu lalu membawa bocah keras kepala kembali ke sini, akan kupukul bokongnya nanti” gerutu Aomine.

 “Hei, itu kata-kataku!” sembur Kagami.
            “Aku kagum padamu, setidaknya kau jauh-jauh mencariku dan memerlihatkan pemandangan menarik untukku, Shintarou-kun. Aah, aku merasa bernostalgia saja” Saya-san menepuk pundakku kemudian merenggangkan tubuhnya sembari menuang segelas sake(lagi).

            “Anda kuat minum,ya?” sahut Himuro-san.
            “Aku sangat kuat minum bahkan Shuu tidak dapat menandingiku, bagaimana kalau segelas?” Saya-san menyodorkan botol sake pada Mayuzumi-san. “Maaf, aku masih menjaga image-ku di sini…” Mayuzumi-san dengan kikuk menolak sake itu, sementara Akashi melihatnya sambil senyum-senyum. 

            “Tak kusangka covermu tidak sesuai dengan isi di dalammu,ya?” sindir Akashi halus.
            “Sake bukan minuman pokokku” elak Mayuzumi-san.
            “Hahaha… kalian berdua lucu sekali dan Kazunari-kun juga benar-benar kelihatan sehat” komentar Saya-san.

            “Entahlah, setelah bicara panjang lebar aku seperti pergi ke surga…” kini Takao harus terpaksa berbaring berkat pidato berapi-apinya—melupakan lukanya yang mengerikan—bagaimana mungkin dia bisa bertahan dengan luka seperti itu?

            “Midorimacchi,apa kau pernah bertemu Kinakocchi?” Tanya Kise padaku.
            “Tidak, maksudku, dalam tiga bulan aku tak bertemu dengannya.” jawabku sekenannya.
            “Begitu,ya?” Kise memaksakan senyumnya, senyum yang Nampak sedih.

            “Kau benar-benar mirip Shuu, Ryouta-kun…”. Kise menatap Saya-san. “Sudah sepuluh tahun…, kau tumbuh sehat sekarang.” Baiklah, kini suasana semakin canggung saja. 


MAYUZUMI CHIHIRO Kuil Yukibana—15.00 p.m
            Ketika suasana menjadi semakin rumit, masa laluku tiba-tiba datang begitu saja.

            Setelah berhasil menyelamatkan Takao dan Himuro dari serangan mengejutkan roh-roh jahat kami kembali ke ruangan ini. Aku kaget melihat sosok yang hampir sepuluh tahun menghilang dari ingatanku, seorang wanita yang pernah mengajariku ilmu bela diri dan tentu saja orang yang membuatku menjaga anak kembar yang tak lain adalah putri-putrinya, wanita yang dulu pernah amat kukagumi, Saya-baa chan. Aku tidak pernah memanggilnya begitu, dulu aku memanggilnya Onee-san dan dia masih saja awet muda(perkiraanku umurnya sudah hampir menginjak tiga puluhan). 

            “Chihiro, di dunia ini. Siapa yang kuatlah yang memenangkan hidup. Membunuh atau di bunuh, itulah jalan yang ditapaki oleh keluarga Yukihira. Tapi jangan lupa, ‘hidup atau mati, kau yang menentukannya’, itu jalan hidup keluarga Kirishiki, jalan yang kuanut, kedua keluarga yang mengabdi di pemerintahan sebagai ALGOJO terhormat yang suci”

            “Yang manapun jalan kau pilih, tetaplah hargai sesama manusia, karena seberat apapun hidupmu, masih banyak hal menyenangkan yang tak boleh kau lewatkan”

            Kedua orang itu.., sudah lama tenggelam di dasar ingatanku. Kata-kata Shuu-jii san atau Saya-Nee san terus dan terus terpendam lama hingga sekarang. “Mayuzumi-san? Kau taka pa-apa?” Tepukan Akashi menyadarkanku kembali pada dunia nyata, mungkin sekelebat pemandangan tadi mengingatkanku akan hal penting yang terlupakan.

            “Ya, aku taka pa-apa” jawabku sederhana. “Wajahmu pucat, lebih baik kau istirahat.” Ujarnya namun aku menggeleng perlahan. “Ng, tidak apa Akashi. Aku hanya mengingat sesuatu yang sudah lama terlupakan” senyumku samar. 

            “Kau benar-benar mirip Shuu, Ryouta-kun…”. Saya-Nee san menjulurkan tangannya, menyentuh wajah Kise yang masih terbengong-bengong tak mengerti, “Sudah sepuluh tahun…, kau tumbuh sehat sekarang.” Tanpa sadar sepasang mata magenta teduh itu membuat manik madu Kise menjatuhkan air mata. Aku tertegun, di dadaku seperti ada perasaan mengganjal yang meluap-luap, aku tak mengerti itu  aku langsung kager ketika Akashi meremas perlahan bahuku hingga kesadaranku kembali.
            “Sepuluh tahun? Saya-san, kau pernah bertemu Kise-kun?” Tanya Kuroko.
            “Bukan waktu yang lama tapi, anak lelaki yang dulu masih bocah itu mengajakku bicara di saat aku bekerja. Ah yah, tentu saja itu sudah sepuluh tahun dua hari sebelum Shuu meninggal” jelas Saya-Nee san. Aku dengan segenap keberanian yang sedari tadi hanya berdiam diri membulatkan tekad untuk mengajaknya bicara—padahal tadi dengan hebatnya aku meminjam pedang—dia tampaknya enggan memulai obrolan denganku hingga membuatku sebal.

            “SAYA-NEE SAN!” 
Suaraku nyaris seperti berteriak di ruangan berukuran lebar ini, semua orang melihatku kaget.
            “Hai, Mayuzumi—bukan—Chihiro.” Ugh! Aku tidak kuat, perasaan menyesakkan ini terus berusaha merangsek keluar seperti ingin meledak begitu saja. Dari kecil aku sangat menyukai sosoknya, meski dia pergi dan itu membuatku mengira dia membuang anaknya sendiri juga membuangku tapi.., tapi bukan begitu kan kenyataannya?

            “Maafkan aku.. Chihiro, kurasa Ayano pasti marah sekali padaku,benar?” Aku menggeleng cepat berusaha menyembunyikan air mata yang terbit. “Ibu sama sekali tidak marah padamu!” bantahku tertahan. “Begitu,ya? Aku senang…, hei, kau sudah besar sekarang. Aku nyaris tidak mengenalimu ketika melihatmu di tengah hutan tadi.” Dia menepuk-nepuk kepalaku dan relfeks aku menggenggam tangannya.
            “Kau kemana saja?”
            “Aku tak kemana-mana. Aku hanya melindungi kalian.”

            “Kau masih menjadi algojo di Hokutou ShichiSei*(
北東七星)_Tujuh bintang utara?” Saya-Nee san hanya tersenyum penuh arti, benar dugaanku dia masih menjadi alat pemerintahan, menjadi eksekutor bawah tanah yang mengadili koruptor dan penjahat kelas atas. Seharusnya kalau diurutkan maka generasi sekarang Kinako adalah penerus unit satuan algojo terbesar di Negara ini, Hokutou ShichiSei yang terdiri dari keluarga-keluarga bangsawan terkemuka lama. Sayangnya, anak itu tidak tertarik menjadi seorang algojo yang dianggap sebagai para pembunuh setara dengan Assassin.

Hokutou ShichiSei!? Anda salah satu jajaran elit eksekutor Negara itu? Tapi kenapa.., aku tahu Kinako dan Kohane bukan berasal dari kalangan biasa…, tak kusangka mereka penerus pasukan algojo elit unit bawah tanah” keterangan Akashi tidak hanya membuat teman-temannya menganga tapi tentu saja Uzumaki-san yang tak tahu apa-apa. 

            “Eeeeh!? Bagaimana mungkin?! Lalu bagaimana dengan Saika? Kekuatan mengerikan yang dikatakan oleh Shin-chan?” seru Takao dari pembaringannya.
            “Saika adalah sebutan untuk orang yang dirasuki pedang roh tapi sebenarnya Kinako hanya bisa menggunakan kekuatannya hingga umurnya sekarang. Tak kusangka kau malah terkena darah itu hingga membuat kekuatanmu berlimpah, Taiga-kun. Menurut perkiraanku, dia sudah tidak bisa menggunakannya lagi karena kekuatan itu akan melemah seiiring dengan berjalannya waktu. Aku juga begitu, dulu aku Saika namun kekuatan itu hilang sekitar dua tahun lalu, kemungkinan kekuatan yang ada di Taiga-kun juga akan menghilang tak lama lagi.” Pembicaraan ini membuatku pusing, entah kenapa lukaku terasa nyeri sekali. 

            “Kalau kau tidak kuat lebih baik kau berbaring” sahut Saya-Nee.
            “Tidak apa-apa”

“Saya-san, kau bilang kalau aku… mirip orang yang bernama Shuu-san? Maksudnya bagaimana, dan apa aku pernah bertemu denganmu?” Kise bertanya perlahan, semua menunggu jawaban yang dilontarakan oleh sang algojo ini. Saya-Nee lalu menaruh gelas sakenya kemudian mengambil posisi yang lebih formal daripada tadi. 

            “Aku sudah sangat ingin menceritakannya. Kebenaran tentang semua ini, maaf menyeret kalian pada masalah kami tapi ini sudah terjadi, kalau aku tidak meneruskan peranku maka anak-anakku akan menanggung beban dan aku tak menyangka apa yang sudah kulakukan untuk menyelamatkan mereka malah menjerumuskan mereka pada hal yang mengerikan. Kini aku kembali untuk mengambil kembali kebenaran dan memusnahkan para PARASIT yang mengganggu”
            “Akan kukatakan sekali, Festival Akagosai itu didalangi oleh PERANGKAT KELUARGA YUKIHIRA demi mengumpulkan jiwa-jiwa baru dan menggunakannya entah untuk apa…, misiku bersama Shintarou-kun adalah menangkap para pelaku. Juga menyelamatkan kalian baik sebagai diriku pribadi ataupun utusan Negara.”

            Badai salju semakin mengamuk, jam berdentang begitu nyaring di tengah obrolan ini. Aku ingin mendengar kebenarannya, kebenaran apa yang dibawa oleh Saya-Nee dan apa yang terjadi sebenarnya selama ini. Melindungi kami dari apa? Apaka kami sedang terancam?
            “Posisi kalian sangat terancam, kalau kalian atau aku salah bertindak maka semua akan hancur dan kehidupan normal kalian akan terenggut. Aku harap kalian siap dengan semua ini, karena ketika aku meneritakan kebenarannya maka.., kalian Tidak bisa kembali lagi.”
Bisa kulihat Akashi cs mengangguk, mereka siap mental, mereka siap menerima kenyataan dan siap mempertaruhkan diri mereka di dalam pertempuran.

            “Intinya, pertanyaanku sekarang adalah.. ;KALIAN SIAP UNTUK MATI?”
            Kudengar Murasakibara dan Kagami menelan ludah.
            “Kami siap dengan segala risiko apapun demi membawa teman kami kembali ke SEIRIN” sahut Kuroko. 

            “Kami siap melakukannya.”sahut Akashi.  Saya-Nee tersenyum, aku juga hanya bisa tersenyum penuh arti. Teh yang dihidangkan Pak Zen mengepulkan uap kemudian Saya-Nee membuka kisahnya. Kisah masa lalu jauh sebelum kami lahir.

            “Ini cerita.. sekitar 15 tahun lalu. Ketika pertama kali aku masuk SMA. SMA SHUUTOKU”
            Kini Midorima dan Takao hanya bisa ternganga mendengarnya.

            Kisah masa lalu.. 15 TAHUN LALU pun DIMULAI….
Hai Minna, bagaimana ceritanya? Terima kasih sudah mengikuti sekuel dari Persembahan Setan. Bila belum mengikuti silakan lihat di story list Yuzu. 

Kamis, 28 Januari 2016

FESTIVAL KEMATIAN —SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)— FESTIVAL 3 : TSUMIHOROBOSHI (罪滅し) “ATONEMENT”

FESTIVAL KEMATIAN
 
SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI

“There’s no time to suggest, to make an alibi, to miserable something damn shit. This is time for KILLING the Sin. The Atonement of us”

FESTIVAL  3 : TSUMIHOROBOSHI (罪滅し)
                        “ATONEMENT”

            “Perasaan yang selalu tertahan itu selalu menunggu untuk disampaikan pada kami. Penebusan dosa apa yang harus kami lakukan? Namun.. kami tidak tahu, kapan dan dimana raga kami akan dikubur kelak oleh kematian”
青峰大樹
(Aomine Daiki)

PART 1

TAKAO KAZUNARI
-Kuil Yukibana- 14.55 p.m

            Rasanya perutku seperti diaduk-aduk dan dipaksa untuk mengeluarkan isinya.

            Yah, sebenarnya ini memang seratus persen salahku. Mengingat betapa berbahayanya kondisi yang tengah terjadi aku—masih dengan wajah santai ini—melenggang pergi menuju ke toilet. Berkat ketololanku yang menganggap remeh keadaan, kini aku berakhir terkapar di pangkuan Himuro-san. Ah, bukan, bukan maksudnya kami sedang melakukan adegan mesra atau shooting film drama yang penuh jeritan dan air mata tapi ini lebih mengerikan daripada Shooting FILM HORROR! 

Aku yang terhunus langsung dari belakang hingga terkoyak perutnya sama sekali tidak berdaya untuk melawan, apalagi sekarang sesosok makhluk aneh menggelepar-gelepar atau mungkin merayap di lantai kayu dengan gerakan slow motion

            Aku bisa merasakan Himuro-san yang badannya sudah menegang juga panas-dingin, tangan kanannya yang disangga oleh kain karena retak akibat insiden tadi pagi tak mampu melindungiku—boro-boro melindungiku, melindungi dirinya saja juga belum tentu bisa. Darah mengucur deras dari sela-sela mulutku, pandanganku semakin buram, kalau begini terus aku bisa mati kehabisan darah. Tuhan, tolonglah aku dan Himuro-san

Akh, sial, padahal aku tak ingin melibatkan orang terdekatku dalam kondisi begini(kalau Shin-chan sih aku tidak tahu).

            “ZRUUT..ZRUUT….”

            Bunyi benda lunak diseret itu membuat telingaku linu, sontak badanku terguncang sedikit akibat Himuro-san mendekapku begitu kencang dengan tangan kirinya. Keringat pemuda itu keluar sebesar biji jagung, sementara aku harus mencari pasokan oksigen agar nyawaku bisa bertahan barang sepuluh atau duapuluh menit kedepan(atau aku akan menyusul Kohane-chan) untungnya mataku masih bisa diandalkan, dengan Hawk Eyes aku memperluas radius pengelihatanku untuk mencari posisi aman dan siapapun gerangan yang berada di dekat kami. 

            “Ta, Takao-kun! Darahmu…”

            “Huh? A, apa…ada apa?”. Oh bagus, sekarang darahku semakin menjadi-jadi! Spontan aku terbatuk kencang membuat beberapa liter darah terbuang dari mulutku. Rasanya seperti ditimpa sesuatu saja. Tenggorokanku nyaris tak mampu lagi menahan banyaknya darah yang membanjir, ayolah, aku tak mau mati muda di sini! 

Tak elit sekali,kan kalau di Koran nanti terpampang ‘Seorang Atlet Basket Tewas Terbunuh Pisau Dapur’ dan aku yakin aku bakal jadi hantu gentayangan karena tidak sudi menerima cara matiku. Lupakan dulu masalah pribadi, sekarang nyawa kami terancam dan tubuhku terlalu lemah untuk lari. 

            “…Onii..chan… ayo..ikut kami..”.
            “Panas…sesak! Mereka kejam… kami dibakar..dikubur…. kami tidak mau mati!”
            “Benci…kami benci mereka..! kembalikan kami… mama..papa!”

 Ah, aku merasa mendengar sesuatu dari gumpalan lemak hitam yang merayap itu. Suara anak-anak yang menggaung lalu samar menghilang, apakah itu adalah roh-roh anak kecil yang dijadikan tumbal di Festival Akagosai? Kalau begitu berarti cerita Akashi benar, anak-anak ini—ralat—roh-roh anak-anak ini menjadi jahat akibat dendam mereka, kebencian mereka terhadap perlakuan para oknum-oknum tak bertanggung jawab yang biadab menipu mereka dengan es serut untuk mengikuti ritual itu. Ketika mereka mati dan tertinggal di dunia ini, roh mereka bercampur baur dengan roh-roh lain yang memiliki dendam yang sama sehingga menjadi hitam. 

            Aku merasa kasihan pada mereka, mereka masih kecil dan polos untuk dijadikan persembahan oleh orang dewasa idiot yang hanya mencari rasa aman dengan nyawa anak-anak. Kalau aku jadi orang tua mereka, aku pasti sudah menjotos para pelaku hingga mati. Dan sekarang aku nyaris mati akibat pisau yang masih tertancap di bagian tengah perutku, kemeja putihku berubah seketika menjadi merah gelap ini berarti aku mendapat tugas untuk membersihkan juga menjahitnya segera sebelum ibuku mengira anaknya tengah menghadapi masa pubertas dengan jalan yang salah lalu melapor pada polisi kemudian aku berakhir di tempat karantina para anak badung liar.

            Ah lupakan soal masa puber, aku bahkan ragu apakah nyawaku yang tipis ini masih bisa diselamatkan tepat waktu atau tidak. 

“Takao-kun! Bertahanlah, jangan tutup matamu! Tetaplah sadar, akh! Pisaunya, sebentar aku harus mencabutnya, tahan sebentar saja!”

 Himuro-san dengan cekatan mencabut pisau itu hingga darahku berpindah ke tempatnya, aku berteriak tertahan menahan rasa nyeri menusuk ketika Himuro-san mencabut pisau brengsek itu dari belakang punggungku, yang berarti pisau itu tepat menembus badanku ini. 

“Uwaa!!” aku hampir terguling ketika benda mengkilap melesat tepat menyerempet bahu Himuro-san, cih, ternyata mereka tidak hanya menggunakan satu pisau! Berapa banyak benda tajam yang mereka isap di gumpalan itu?

            “Hi…muro..-san…l-lari..”.
            “Jangan bercanda! Mana mungkin aku membiarkanmu sendirian dalam kondisi seperti ini? Kalau aku banyak bergerak bisa-bisa kau kehilangan nyawa—“ 

            “Tapi, kalau tidak…ukh, lari sekarang…, kita juga..bisa..ma-mati!” dengan tergagap aku menyela ucapannya. Mata greentea itu memandangku dengan panic dan histeris meski dia tidak sepanik Kagami yang melihat seekor kucing melompat di hadapannya tapi tanpa bersuara pun mata Himuro-san tampak berteriak-teriak lebih dari Kagami saat ini, mungkin yang ada di pikirannya adalah ; ‘bagaimana cara menyelamatkanku tanpa membunuhku seketika’ atau semacam itulah. Bagian perutku berdenyut hebat, akh! Sudah tidak ada waktu, aku bahkan sampai melengkungkan badan untuk menahan luka menganga ini, kalau tidak lari sekarang aku bakal ditanyai oleh Enma*(Raja Neraka) mengapa aku membiarkan seseorang ikut terbunuh padahal giliran matinya masih lama? Kemudian aku dijebloskan ke neraka akibat jawabanku. 

            “HIMURO-SAN KUMOHON LARI!”. Dengan sisa-sisa tenaga yang ada aku berteriak memohon, tapi bukannya mengikuti saranku, Himuro-san tetap bergeming dan semakin erat mendekapku yang terkapar seperti Ikan Mas. Dia tidak gemetaran lagi, napasnya tidak memburu seperti beberapa menit lalu, aduh, apa jangan-jangan dia siap mati bersamaku? Tidak! Jangan, kumohon, aku tidak mau memberimu penderitaan lebih dari ini Himuro-san!

            “Aku, daripada hidup tapi menyesal setengah mati akibat mengabaikanmu tewas di sini…, lebih baik aku ikut mati bersamamu. Kurasa Taiga akan mengutukku di depan batu nisan tapi aku rasa lebih pantas mendengarkan omelannya kelak dari alam kubur ketimbang hidup tapi dengan mengorbankan nyawa seorang teman.” 

Aku ternganga, dari bawah sini aku bisa melihat sepintas senyumnya yang membayang. Gila! Dia keren banget, maksudku, dia benar-benar terlihat sangat hebat di mataku sekarang, Himuro-san tidak gentar meski jarak kami dengan benda aneh itu hanya tinggal limapuluh meter lagi. Aku salut padanya, dia tidak hanya hebat di lapangan saja kurasa pribadinya yang seperti inilah yang membuat Himuro-san banyak disegani siapapun.

            “Giliranmu….Dendam!..balas dendam!..benciii…!”
            Oke, aku ingin sekali berteriak sekencang-kencangnya ketika gundukan lemak menjijikan itu langsung melesat bak motor balap dengan sebuah pisau dapur sebesar kepalan tangan Murasakibara menyongsong kami yang sama-sama tidak berdaya.

            Apakah ini akhir untuk kami? Aah, aku berharap bisa hidup kembali menjadi orang yang lebih baik kalau memang harus ditakdirkan mati di sini.

            “Masih terlalu cepat seratus tahun”
            Sesuatu yang hitam dan mengerikan seperti monster meninju makhluk aneh itu hingga terpelanting ke belakang. Sosok berbadan besar dengan seragam polos putihnya yang berkibar. Rambt Raven berwarna merah kehitaman itu!! 

            “TAIGA!”. Aku ingin sekali menyerukan nama itu, sayangnya tenagaku sudah tidak ada bahkan hanya untuk bicara. “Tatsuya, Takao, kalian baik-baik saja?”. Aku, di sela-sela mataku yang semakin buram bisa melihat mata Kagami yang berpendar merah. Merah!? Tunggu, aku seperti pernah melihat mata yang berkilauan merah itu. Mata merah yang menyala, mungkinkah..?. 

            “Taiga, di belakangmu!” tampaknya Himuro-san tidak terkejut dengan perubahan mata Kagami yang seperti dialiri fosfor, Kagami langsung spontan menghempaskan tinjunya kembali meski dia tergores sedikit oleh pisau. Tepat ketika detik berikutnya, makhluk berlemak itu membelah diri. MEMBELAH DIRI!? Oh, sial! Bagaimana ini, apalagi Kagami tidak sempat bereaksi cepat dengan tangan yang masih sibuk melawan makhluk yang satu lagi.
            “Tatsuya! Takao—“
            “Awas kepalamu!”. 

            Sekarang yang membuatku makin ternganga adalah Mayuzumi-san dengan seramnnya membelah gundukan lemak hitam menjadi serpihan kecil dengan sebuah katana, terdengar bunyi mengikik panjang lalu makhluk itu menghilang seperti asap. Lenyap, suasana hening seketika. Aku berusaha memertahankan kewarasan dan kesadaranku hingga aku merasakan Himuro-san mulai limbung namun dengan sigap Kagami menangkap tubuh Himuro-san—sebelum dia menindih tubuh juga lukaku—kurasakan Mayuzumi-san menarikku perlahan untuk menjauh dari tubuh si ganteng lalu dengan sadisnya melucuti kemejaku kemudian membebatkan sesuatu di sekujur badan.

            “Adududuhh….!! Mayuzumi-san! Sakiit! Pelan sedikit dong, kau bisa membunuhku!” spontan aku berteriak karena lukaku seperti dijejalkan sesuatu. Perban yang berbau aklohol itu langsung menyerang luka seperti tentara greliya(sampai aku ingin sekali pingsan agar tidak merasakan luka mengerikan ini). 

            “Takao!” Ah. Suara itu, Shin-chan. “Kini aku percaya istilah ‘orang bodoh tidak mudah mati.” ungkap Mayuzumi-san masih sibuk mengurusi lukaku yang menjerit-jerit bak orang gila.

            “Ada untungnya juga kan jadi orang bodoh?” cibirku perlahan, “Oh, hai Shin-chan. Maaf ya keadaanku payah begini…” aku melambai pada Shin-chan yang sudah berwajah angker—atau mungkin bisa kubilang pucat? Tiba-tiba Shin-chan merenggutku dari Mayuzumi-san lalu dengan agak memaksa dia membawaku ala bridal style!! 

            “SHIN-CHAN…! Turunkan aku! Aku bisa jalan sendi—.”
            “Maaf…” jantungku nyaris berhenti mendengar satu kata lirih meluncur dari mulut si tsundere itu. Aku hanya bisa menurut sementara tatapan-tatapan ngeri bisa kulihat dari berbagai pasang mata di belakangku, aah, mengesalkan sekali.


            “Seharusnya tidak kubiarkan kau sendirian.”. Itulah kata-kata pertama setelah dia membawaku kembali ke ruang tengah, Shin-chan focus membebatkan perban dan beberapa antiseptic dengan cekatan, ironisnya aku harus merasakan jahitan maut dari Saya-san yang memaksaku mengadakan operasi dadakan agar lukaku tidak infeksi akibat menganga. Terpaksa aku terkapar tidak berdaya dengan semua keadaan ini, yaah, sudah kukatakan berkali-kali ini memang salahku jadi aku harus menanggungnya—setidaknya masa depan remajaku yang indah tidak rusak. Melihat wajah Shin-chan yang depresi hingga membisu seperti ini membuatku miris, aku berusaha menyampaikan kalau aku baik-baik saja dengan menepuk-nepuk rambut hijau halusnya itu. Wah, gawat! Wajahnya jadi merah, oke, sekarang aku tak paham dengan situasi seperti sepasang kekasih ini. 

            Stop! Kembali ke kenyataan, aku tidak mau membuat Shin-chan khawatir apalagi korban sudah banyak berjatuhan. Aku tahu seberapa berat penderitaannya yang dibebankannya seorang diri selama hampir tiga bulan(bahkan mungkin tiga tahun) ini, aku ingin dia lebih terbuka padaku agar dia tidak merisaukan segala hal sendirian, kalau begini ceritanya dia sudah tidak menganggapku sebagai partnernya lagi,benar kan? 

            “Maaf membuatmu terluka, harusnya aku menemanimu tadi” bisiknya.
            “Hei! Sudah, ah, kau ini mengesalkan sekali! Padahal aku sudah capek-capek menunggumu pulang dan sekarang setelah sekian lama kau malah jadi begini? Kau pikir aku bakal mati muda,ya?” seruku, aku tak peduli pada lukaku lagi tapi seluruh mata tertuju heran padaku yang marah-marah tanpa terlihat sakit sedikitpun.

            “Ano, Takao-kun…, lukamu..bisa terbuka lagi” Kuroko menyahut ngeri.
            “Aku tidak mau si kepala lumut ini khawatir padaku!” selakku galak, sementara Shin-chan hanya melotot ketika dia dikatai ‘kepala lumut’. 

            “Kurasa orang bodoh tidak kenal rasa sakit” cibir Saya-san. Di sela-sela omelanku yang terputus itu aku langsung terdiam ketika Kise sadar dan menatap langsung padaku.

            “Kise? Kau sudah sadar?” sahut Aomine. Tatapan mata Kise terus tertuju padaku sementara pemuda berambut blonde yang memicingkan matanya tanda heran membuatku ikut terheran-heran.

            “Kise, kau kenapa? Apa ada yang sakit?” Tanyaku sembari melambaikan tangan.
            “Takaocchi.. yang di belakangmu itu.. siapa?” Kise bertanya balik, aku hanya terdiam. Di belakangku? Siapa? Aku tidak melihat siapa-siapa.

            “Kise, apa yang kau lihat?” sekarang giliran Shin-chan bertanya, meski hening sejenak kami dengan sabar menunggu jawaban Kise sebelum aku mati penasaran—bukan mati karena lukaku. Dia melirik sekali lagi tepat ke arahku namun pandangannya bukan kea rah mataku tapi seolah-olah ada seseorang lain di belakang punggung ini. 

            “KOHANECCHI….” 

          Dalam waktu lima detik, aku langsung ternganga.

CONTINUED TO PART 2


PENGALAMAN MAGANG DI CCA

Selamat datang, 'selamat menikmati postingan ini buat kalian yang sedang membacanya, ya kalian, siapa lagi? sudah lama blog ini diting...