Senin, 02 Mei 2016

FESTIVAL KEMATIAN FESTIVAL 8 : YOIGOSHI(宵越し) BEYOND MIDNIGHT

FFN. CODE 4. 黒子のバスケ
            FESTIVAL KEMATIAN
 
SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
“You must prove yourself to show that you are ‘here’. 
DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI
FESTIVAL 8 : YOIGOSHI(宵越し)
                        BEYOND MIDNIGHT
“Kematian itu selalu singkat dan selalu meninggalkan kesedihan, ketakutan, dan paranoid. Padahal kita juga akan mengalami hal yang sama. KEMATIAN”
星坂心減
(Hosaka Shingen)
HOSAKA SHINGEN
18.00 p.m

            Sebenarnya aku tidak mau memunculkan diri di sini.
Aku jadi bulan-bulanan makhluk keparat yang nyatanya adalah paman Kinako. Si Karasu yang tak pantas menyandang nama Yukihira, mengotori nama keluarga, dan dia berhasil lolos saat pedangku nyaris membelah kepalanya seperti Melon.
            “Aku terkejut. Kau musuh atau teman?” si rambut biru langit itu menatapku waspada, ah, ya aku ingat pria berambut biru ini adalah teman Kinako. Siapa namanya, oh, Kuroko. Wajahnya yang penuh lumpur dan pucat itu tetap bergeming. Aku menghela napas dan menyodorkannya sapu tangan. 

“Sebelum aku bercerita lebih baik kau bersihkan wajahmu dulu.”
Sumimasen..”. aku mengawasi keadaan sekitar, untunglah kami sempat kabur dengan susah payah dan sekarang kami sudah berada di kediaman Uzumaki-san. Wanita berambut ungu itu sibuk kesana-kemari menyiapkan air hangat dan obat-obatan.
            “Hosaka-kun?” kali ini aku terperanjat, kulihat manik magenta yang nampak sangar dimataku. Hiii... aku tahu seharusnya aku tak berurusan dengannya. Tapi wanita itu malah bersimpuh di depanku, menatapku lekat-lekat lalu tiba-tiba menunduk.

            “Maaf sudah merepotkan Ryuu selama ini. Apa dia baik-baik saja?”
            “Anda kenal ayahku?” oke kali ini aku terkejut—sangat.
            “Aku berteman baik dengan ayahmu semenjak SMA, dan dia juga mengenal ayah Kinako. Kau pasti bertemu dengan anak itu,kan?” Shoot. Wanita ini memang hebat. Sepertinya Oyaji belum sempat memberitahuku kalau ibunya Kinako itu adalah sahabat lamanya. Dasar, sudah berumur sih jadi begitu. Dan lagi dia tahu aku sempat tinggal bersama Kinako, oh oke, aku lupa kalau si kecil menyebalkan itu sekarang pasti marah padaku.
            “Untung Shingen-san datang dengan Kuroko, kita sempat lari sebelum kita semua meledak di kuil itu dan menjadi steik barbeque.” Komentar Kagami, dialah yang membantuku meng-evakuasi seluruh umat manusia di kuil yang sekarang sudah hancur setengah. Bisa-bisanya si Karasu menempelkan peledak di tempat yang tak kami ketahui.
            “Kuroko, kau tidak apa-apa?” kini aku beralih pada si biru itu.
            “Aku tidak apa-apa, Kise-kun bagaimana? Apa dia tidak apa-apa?”
            “Jangan cemas-nanodayo. Dia hanya menderita luka sabetan saja. Tidak dalam.” Ah ya, si Midorima ini juga. Aaargh, Kinako, kenapa kau melibatkan aku di tempat seperti ini? Eh sebenarnya aku sendiri yang mau tapi bukan begini caranya. Aku ini Cuma pemain figuran. Sekarang aku malah terlihat seperti hero dalam adegan action. 

“Shingen-san. Kinako mana?” Ugh. Aku menengok dan menemukan seorang dengan surai kelabu nan kuyu . Ada perban disana-sini dan tampak sekali kondisinya tidak baik-baik saja.
            “Kami berpisah ketika perjalanan menuju kuil. Anak itu bersikeras tak mau bertemu kalian jadi kami sempat bertengkar, tapi aku meninggalkannya karena si kuning itu dalam masalah. Saat aku kembali dia sudah tidak ada di tempat. Maaf.”  Iya benar, aku memang bodoh dan tolol. Kenapa di saat seperti itu aku malah bertengkar dengannya. Padahal aku bukan ingin berpihak pada siapapun, aku mau dia menyadari kalau tindakannya tidak akan bisa membuat perubahan apapun. Sayangnya emosi anak itu masih terlalu labil hingga kami saling ngotot dan..fuala, kami terpisah sekarang.

            “Serangan Karasu benar-benar mengerikan.” Komentar Saya-san.
            “Sesuai yang dikatakan oleh Akashi, festival itu diadakan hari Rabu. Tepat di Kuil SEIRIN, benar,kan Saya-san?” Pemuda tampan dengan sebelah mata tertutup rambut itu berucap, semua mengangguk sementara aku hanya bisa menjadi penonton. Aku tak tahu apa yang terjadi pada mereka, aku baru saja tiba di sini. Saya-san mengangguk. “Bersamaan dengan bulan purnama.”
            “Menurutku Kinako pasti ke sana.” Sahutku. Ya, aku akan mengejar anak itu karena dia memang patut diberi pelajaran khusus tentang kepercayaan. Seberapa besar sih kepercayaannya itu pada teman-temannya. Aku heran.
            “Tapi kita tidak boleh datang beramai-ramai. Aku rasa cukup beberapa orang saja.” Si rambut merah yang dipanggil Akashi itu berkomentar.
            “Aku ikut.” Kagami menyerobot, dia bersama Kuroko memandang semuanya dengan mantap. Perasaan mereka benar-benar kuat, mereka ingin membawa kembali Kinako dan tidak akan melepaskan anak itu. “Aku juga.” Kini Aomine, Midorima, serta Murasakibara—yang badannya lebih bongsor dariku—angkat bicara.
            “Kalau begitu aku juga.” Terakhir aku sembari mengangkat tangan, Pak Kepala Kuil menjelaskan kalau festival tersebut sangat tertutup. Memang sih, seperti festival biasa tapi kita harus senantiasa berhati-hati. Karena di sana bukan hanya manusia saja yang datang. Terlebih kami harus putar otak untuk menyelinap dan menyelamatkan anak-anak yang ditahan oleh Karasu(termasuk adiknya Uzumaki-san.)
            “Kise, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa si bodoh itu tahu-tahu kerasukan pedang yang... ahh kenapa malah dia yang jadi SAIKA? Bukankah harusnya Kinako?” si kulit gelap yang bernama Aomine(eh benar nggak?) mendecak kesal, Midorima memandanganya sesaat lalu dia bicara begini, “Ada kemungkinan kalau pedang itu memang berpindah. Sekarang jelas sekali kalau Saika yang sesungguhnya adalah Kise bukan Kinako. Mungkin itu kehendak pedang tersebut makanya...”
 “Bukan.” Saya-san memotong tegas.
            “Maksudnya?” tanyaku tak mengerti.

            “Pedang Saika adalah siluman yang ingin mencintai manusia. Sejak awal Kinako adalah Saika. Namun sepertinya dia menyuruh Saika dalam dirinya pindah ke tubuh Kise.” Aku ternganga mendengarnya, bukankah pedang itu memilih sendiri siapa pemiliknya? Untuk kalian yang belum tahu, Saika memiliki perasaan besar pada manusia. Mereka mencintai dengan ‘cara’ yang agak berbeda, tentu saja dengan memotong, maka itu adalah bentuk cinta dari Saika. Aku sempat mendengar cerita tentang Kinako, waktu kecil karena kematian Paman Shuuma dia juga tak sengaja bertemu dengan pedang itu. 

            Aku tidak tahu bagaimana detailnya, namun menurut cerita ayahku, Saya-san tidak ditemukan dimanapun di TKP. Hanya ada Kinako dan Kohane yang masih kecil, jadi, secara logis tidak mungkin seorang balita mampu melawan psikopat macam Karasu dengan tangan kosong. Kinako pernah melukai Karasu-san dengan SAIKA miliknya. Itulah kesimpulanku.
            “Aku ingat, waktu aku menyelinap untuk mencari Kise-kun dia sudah tergeletak di padang bunga Daffodil. Aku tidak tahu tapi menurut firasatku di saat itu dia pasti bertemu Kinako dan.. Kinako meminta pedang itu pindah ke tubuh Kise-kun. ” Ujar Kuroko, semua melotot ke arahnya, tentu kaget bukan main. 

Teme, kenapa kau tidak bilang dari tadi!?” bentak Kagami.
“Waktu itu aku tidak tahu akan bertemu Karasu-san. Apalagi kata Saya-san dan Midorima-kun, kekuatan Kinako sudah hilang.” Jawab Kuroko datar.
“Memang, tapi bukan berarti pedang itu juga ikut lenyap,kan?” tanya Murasakibara.
            “Aku pernah sekali bertemu dengan Saika. Orang itu adalah rekan kantorku, tapi dia hanya duplikat, anak dari Saika. Anak Saika tidak memiliki pengalaman bertarung seperti leluhurnya.” Oke, penjelasan Saya-san cukup membuat sebuah kesimpulan besar. Kini aku yakin Kise adalah target utama, ini artinya Kinako tak akan diincar lagi oleh Karasu-san. Tunggu. Apa ini hanya menurutku saja...eh!? tolong jangan katakan kalau aku benar. 

“Kinako sudah membaca ini sejak lama.” Jack pot! Akashi benar.
“Apa maksudmu Akashi?” tanya Midorima. 
“Kemungkinan Kinako sudah mengetahui kemana masa depan berakhir. Sedikit-banyak, kemampuan spiritual anak itu cukup tinggi karena dia mampu memprediksi masa depan. Istilahnya seperti sixth sense, terlebih dia pernah mengaku berada di NDE,kan?” jelas Akashi. “NDE?” Aomine melongo, bahasa Inggrisnya mungkin tidak secemerlang yang kukira karena dia mahir bermain basket.

            “Near Death Experience, pengalaman nyaris mati atau berada di antara batas hidup dan mati. Mata kirinya terluka, tangan kirinya tidak ada, kejadian ketika dia ditabrak oleh kereta Shinkasen itu benar-benar nyaris membuatnya meregang nyawa.” Aku bicara seolah-olah itu biasa, tapi aku hanya ingin blak-blakan, Kinako hampir saja tewas ketika peristiwa itu. Berterima kasih pada Saika yang masih memberinya sumber hidup. Aku tak tahu bagaimana nasibnya kelak kalau Saika tak ada di dalam tubuhnya. Inti dari segala inti adalah, Kinako menderita, menderita karena jalan hidupnya juga bagaimana dia menaruh posisinya sekarang.
            “Saya-san...” 

bisa kulihat Saya-san memasang wajah ‘biasa-biasa’ saja, wanita ini memang tidak bisa bersikap ‘normal’ sebagaimana seharusnya seorang ibu-ibu. Ibuku meski berada di lingkungan yang keras tata kramanya tetap saja hobi bergosip, bahkan ayahku pun ikut-ikutan senang menggosipi orang—sampai aku heran bagaimana mungkin aku dibesarkan olehnya selama ini—yah aku tak bisa menyamakan, kalau aku yang ada di posisi Kinako mungkin aku bakal mengira ibuku tak akan pernah sayang lagi padaku. Itu menyedihkan sungguh. Intinya aku sedikit banyak mengerti perasaan Saya-san

            “Untuk sementara kita menginap di sini. Kiseki no sedai dan Kagami, aku ingin kalian yang menjalankan misi ini. Kecuali Kise. Chihiro-kun juga tetaplah di sini, aku ingin Himuro-kun menjaga mereka berdua, kalau sampai ada apa-apa hubungi kami segera. Pak Zen juga.” Komando Saya-san

            “Baiklah, seperti biasa ya.” Ucap Kakek Zen maklum. Setelah perbincangan dan adu agrumen selama hampir satu setengah jam, malam pun menjemput di tengah salju yang masih turun perlahan. Suasana hening dan suara jangkrik malam gaduh bernyanyi. Hmm.. kenapa aku tidak bisa tidur? Padahal mereka tidur dengan lelap. Apa karena aku memang terlahir sebagai makhluk nocturnal*(spesies yang hidup pada malam hari.*) 

            “Tidak bisa tidur?”
            “Huaa...! Ki.. Kise? O, oh.. kau rupanya. Ah maaf sepertinya hawa dingin dan suasana tidak menyenangkan menyita rasa kantukku.” Cowok berbadan tegap dengan rambut blonde itu tersenyum lalu duduk di sebelahku. Kami memandangi salju yang turun perlahan dari atas lantai linoleum, di depan kami terhampar suasana rumah tradisional dengan bebatuan di pojok kiri dan kolam Ikan Koi. Kuperhatikan anak ini, beberapa perban menyembul dari celah lengan baju dan celana panjang putihnya, satu plester di pelipis, perban tebal membebat sekeliling kepala, lalu samar kulihat luka jahit di bagian perut dan telapak tangan. Astaga pertempuran macam apa yang dia hadapi hampir enam bulan ini?

“...Ano.. Hosaka...kun.. kau..katanya pernah bertemu dengan Kinakocchi?”
Uh-oh.
“Ng.. ya, kami sempat tinggal seatap. Tapi bukan apa-apa lho, aku hanya menjalankan misi dan kau tahu, dia teman masa kecilku juga. Setelah kematian Kohane terdengar sampai ke telingaku, keluarga Hosaka juga tak mau tinggal diam.”
“Bagaimana kabarnya?” ah, nada suara itu, terbesit kecemburuan samar di dalamnya. Hoo... begitu ya. Rival cinta yang ayah maksud selama ini baru kurasakan.
“Dia bisa dikatakan baik-baik saja. Meski kondisinya tidak 100% baik-baik saja.” Kami terdiam sesaat. Kesiur angin menerpa rambutku yang kubiarkan terurai.

“Sebenarnya aku tahu kau pasti tak rela dia pergi kemanapun,kan?” lanjutku, “Kinako anak yang keras kepala. Dia tak akan berhenti kalau tidak dia sendiri yang mau, itulah mengapa dia tak ingin melibatkanmu dalam urusan serius yang membawa nama keluarga Hokutou Shichi Sei. Namun di sisi lain dia anak yang rapuh dan lemah, sifat kerasnya menutupi itu seperti cangkang telur yang isinya lembek. Kau orang yang berhasil melihat sisi lunak anak itu dan artinya separuh cangkang itu terbuka untukmu.” Kise melihatku dengan tatapan sayu, tapi aku terlanjur kesal, kenapa sih dia bersikap ragu seperti ini. 

            “Haah, kenapa wajahmu itu!? Kau ini dari awal tidak bisa tegas bahkan keraguanmu itu menghambat keinginanmu sendiri.” Dengan nada sedikit mengejek terbesit satu hal di kepalaku. Seringaiku muncul dan sebelum aku berdiri kutepuk pundaknya, menarik wajah konyolnya yang menatapku tidak percaya. 

            “Kalau kau tidak bisa tegas pada dirimu dan mengambil keputusan, jangan salahkan kalau KINAKO MENJADI MILIKU.”
            Aku langsung pergi meninggalkannya, hahaha, yaampun bagaimana mungkin aku merebut hati anak kepala batu itu? Bahkan dia sama sekali tidak pernah berpaling padaku meski aku mengenalnya sejak kecil. Dia selalu dan selalu sendirian, aku, meski seorang yang terdekat dengannya(salah satu) bahkan tak mampu menyentuh sisi yang bisa di sentuh oleh cowok pirang itu.

            “Ahh.. sial. Kenapa aku jadi kesal? Kalau begini kan aku jadi tidak bisa merelakannya begitu saja.”
Malam itu kuhahbiskan dengan ketidaktenangan yang menyebalkan.

 KISE RYOUTA
21.00 p.m

            Ketika aku sadar aku sudah dikerubungi banyak orang, entah itu wajah Kurokocchi yang kuatir setengah mati atau wajah baru yang belum kukenal,
            “Namaku Hosaka Shingen. Aku dari keluarga Hosaka, salah satu Hokutou Shichi Sei. Aku teman kecil Kinako.” Mataku seperti dicolok ketika pemuda berambut oranye panjang yang dikepang itu memerkenalkan diri dengan membawa nama Kinako. Ngomong-ngomong, aku seharusnya berhadapan dengan Karasu Yukihira bukan? Aku terluka parah dan... ahh sial aku tidak mengingatnya. Aku malah mengingat perkataan Kinakocchi, aku memang tolol. Kenapa aku tidak dari dulu saja mengungkapkan perasaanku padanya. Kini aku tidak tahu dimana dia. 

            ““Kalau kau tidak bisa tegas pada dirimu dan mengambil keputusan, jangan salahkan kalau KINAKO MENJADI MILIKU.” Oke, itu terdengar menyebalkan. Nyaris emosiku naik hingga ke ubun-ubun. Benarkah Shingen menyukai Kinakocchi juga? Lalu bagaimana kalau Kinakocchi lebih memilih Shingen yang notabenenya adalah teman masa kecil Kinakocchi? Sial! Sial, aku harus apa sekarang? 

            “Jangan ragu. Kalau kau ragu, kau akan terus jatuh.”
            “Saya...-san...” wanita itu menenteng sebuah botol arak dan tetap dengan gelagatnya yang santai namun berbahaya. Rambutnya yang tergerai hingga sepunggung itu tersapu ketika angin kembali berhembus.
            “Aku... harus apa? Aku tidak berani melihat masa depanku sendiri. Aku takut kehilangan.. tapi... aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku memang kehilangan... semua ini semakin menjadi rumit. Karena anak itu.” Jawabku frustasi.

            “Kuyakin kalau kusuruh kau tinggal di sini pasti kau akan mengamuk, sebenarnya, aku ingin berkata kalau kekuatan Saika ada padamu.” 

EH? “Saika sekarang tidur di tubuhmu, pedang roh yang mencintai manusia dengan tebasan. Kinako memindahkan Saika ke dalam dirimu, sekarang kau bebas memergunakannya.” Jelas Saya-san.
            “Aku tidak mengerti.” Tiba-tiba saat aku tengah tercengang, Saya-san mengayukan pedangnya lalu spontan aku menghalau dengan tanganku. Kupejamkan mata lama tapi tidak terasa sakit, padahal aku tahu pedang Saya-san tadi menghunus tepat ke arah lengan yang kubuat untuk melindungiku. Tidak sakit? 

“Lihat.” Aku tercengang sekali lagi, mata pedang keluar seperti ilusi di lenganku, dia seperti menembus dengan lembut dari permukaan kulit kemudian kembali lagi. Inikah, Saika?
“Aku tidak bisa mencintaimu, tapi tidak membencimu...” DEG!
“Itu kata-kata Saika padamu. Beruntunglah anak itu menyukaimu. Bersiaplah besok, kita ada misi penting. Aku yakin, dengan kekuatanmu kau bisa membawanya kembali. Bukankah kau menyukainya?” kata-kata Saya-san menguatkan hatiku, setidaknya sekarang aku bisa bertarung, aku bisa melawan dan bisa.. melindunginya. Aku beranjak ke dalam dan memastikan kalau esok pagi aku tidak akan membawa semua keraguan itu.
Tidak akan sama sekali.

“Kise.” Suara berat itu menghentikan langkahku. “Aku tahu kau pasti disitu, Aominecchi.”
“Kau, apa yang sebenarnya kau rencanakan dari dulu?”
“Rencana? Apa maksudmu?” tanyaku tanpa menoleh.
“Kau berniat melakukan hal gila, kita menghadapi apa yang belum bisa dihadapi oleh manusia biasa.” Aku terkekeh, Aominecchi berbelit-belit. 

“Aku sudah janji. Aku akan membawa Kinakocchi kembali. Dan tak ada yang akan membuatku ragu lagi. Meski aku juga ikut menjadi monster” Sepasang mata biru navy di depanku menatap pasrah, kemudian Aominecchi berbalik dan meninggalkanku di lorong sendirian.
“Aku janji, aku akan mengabulkan keinginannya. Keinginamu yang sesungguhnya... keinginan Kinakocchi dan Kohanecchi selama ini... “


Di malam sebelum pertempuran, aku menyadari apa yang harusnya kulakukan untukku dan untuk anak itu. 
....
......

Rabu, 02 Maret 2016

FESTIVAL KEMATIAN —SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—FESTIVAL 7 : MEAKASHI (目明し) “EYE OPENING”

FFN. CODE 4. 黒子のバスケ
            FESTIVAL KEMATIAN
 
SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
“One sword can destroy a million death, but death can killed a billion sword.”
DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI
FESTIVAL 7 : MEAKASHI (目明し)
            “EYE OPENING”
 “Aku tak mengerti, mengapa harus bertarung? Mengapa orang-orang, mengapa teman-teman kami harus mengalami hal seperti ini? Kalau aku punya kekuatan... aku ingin..menyelamatkan mereka...”
黒子テツヤ
(Kuroko Tetsuya)
KUROKO TETSUYA
Halaman Kuil Yukibana –The Story That Nobody Know—

            Tampaknya aku dalam bahaya besar.
            Maksudku, kami
memang dalam bahaya besar. Orang ini, meski tadi aku baru mendengar setengah cerita Saya-san jelas sekali orang ini adalah orang yang.. ‘membunuh’ Ayah Kinako dan Kohane. Entah kenapa aku bisa mengasumsikan begitu tapi setelah menyimpulkan segala sesuatu hingga sekarang jelas saja yang bisa kusebut sebagai tersangka utama adalah Karasu Yukihira. Paman Kinako-chan. Kematian demi kematian, apakah..apakah mungkin orang ini juga yang mendorong Kohane-chan? Tidak! Tidak, Tetsuya... jangan pikirkan hal-hal mengerikan seperti itu. Tapi kenapa, kenapa perasaanku mengatakan kalau orang inilah yang...

            “Kau...siapa?” DEG! Aku baru menyadari betapa seram sepasang mata ruby ini.
            “Saya Kuroko Tetsuya, yoroshiku.” Dia tetap bergeming, mantel putih kotornya terbang berayun terbawa angin perlahan.
            “Siapa..anak ini...?” Oh tidak! Aku mempererat cengkramanku, sebenarnya aku membawa pisau lipat untuk membuka kaleng sarden tadi hanya saja karena aku malah mencari Kise-kun pisau ini terbawa. Satu hal lagi, dia mengetahui keberadaanku. Kemampuan Missdirection adalah kemampuan yang biasanya hanya dimiliki orang-orang berbayang tipis, kehadirannya tak pernah disadari secepat orang lain, sama seperti Kinako yang kasat mata aku juga begitu tapi ada beberapa orang yang mampu mendeteksi kami. Mendeteksi keberadaan yang hawanya setipis embun yang menandakan kalau orang-orang seperti itu memiliki kemampuan lebih. Salah satunya orang ini.

            “Dia temanku.” Aku sangat tenang, hebat sekali aku ini menantang monster neraka yang tiba-tiba saja datang di hadapanku.
            “Siapa teman...teman..kamu..punya teman...?”
            “Lantas mengapa anda mencari Kise Ryouta-kun?” tanyaku tegas. Dia diam, kemudian dia mundur ke belakang beberapa langkah lalu tiba-tiba.
            “AHAHAHAHA.....!! Akting yang baguuss... baguss..aku sukaa... kau benar-benar...ACE...KUROKO TETSUYA dari SMA SEIRIN...!! Aku beruntung...bertemu denganmu...dan dia....!” Jantungku seperti terbang ke alam lain, dia tahu aku! Dia hanya pura-pura dan dia tahu kalau yang ada bersamaku adalah Kise-kun! Terpaksa kuambil pisau lipat itu tanpa ragu, aku mengacungkannya dengan napas memburu. Sementara dia memerhatikanku dengan mimik wajah aneh aku hanya bisa menggertaknya, memastikan dia tidak mengambil tindakan untuk mendekat padaku dan merenggut Kise-kun dariku.

            “Kenapa? Kau mau menusukku dengan pisau sekecil itu?” sindirnya.
            “Kuharap pisau kecil ini mampu mengirim anda pergi sejauh mungkin, atau mungkin tidak perlu kembali ke sini lagi. Karasu Yukihira-ji san*(paman).” Sahutku dingin.
            “Darimana kau tahu..namaku?” Hmm, dia ternyata memiliki kekurangan juga.
            “Tak perlu tahu, apa anda juga sudah mengunjungi keponakan anda?” Kupegang kendali lalu dengan desakan-desakan halus nan berat aku berhasil menggertaknya.
            “Keponakan katamu? Aku tak memiliki hal lucu seperti itu.”

            “Termasuk mendorong jatuh salah satu keponakan lucu itu dari lantai tujuh apartemen keluarga Mayuzumi-san? Kau ceroboh, seharusnya kau melakukan lebih baik lagi.” Dia panik, gelagatnya mirip seperti orang yang terkena Bipolar syndrome, dia bisa sangat bersahabat tapi bisa berubah sangat menakutkan jika panik, marah, atau terkena sesuatu yang menurutnya sulit diatasi. Kemungkinan besar trauma mentalnya memicu sindrom itu.

            “Mundurlah, aku tak mau mencelakai orang tua. Setidaknya aku tidak mau mengirim anda secara tidak terhormat ke dalam penjara.” DRUAAAKK!. Sepersedetik aku baru menyelesaikan perkataanku, pohon yang berada di balik punggung pria ini tumbang tanpa ampun, bahkan aku tak melihat kapan dia mengayunkan senjatanya. Pohon naas itu terbelah-belah bagai ikan sarden lalu terkapar di tanah. Bagus, aku membuat orang dengan bipolar syndrome menjadi sangat tidak bersahabat. 

“Kau tadi bicara apa...hah!? aku... aku tidak akan pernah kalah, misiku belum selesai dan...dan misi akhirku adalah membunuh anak ini dan....menyeret seluruh keluarga keparat itu ke dalam api...” Tak perlu kukatakan siapa yang dimaksudkannya.
“Menjauhlah dari Kise-kun!”
Terlambat sekali aku langsung melayang jauh ketika orang itu memberi tendangannya yang mampir tepat di wajahku.

            “Kise-kun!!” Gawat! Ponselku remuk, layarnya sudah retak hampir membelahnya menjadi dua, bagaimana aku bisa memberitahu orang-orang? Bagaimana aku bisa menolong Kise-kun yang terkapar di tengah padang Daffodil ini. Sial, sepertinya salah satu tulang rusukku juga patah akibat benturan ke tanah. Tanpa dikomandoi dia mendekat pada Kise-kun yang terkapar lalu perlahan namun pasti dia membuka sarung pedangnya itu kemudian melemparkannya jauh-jauh. Kilapan dari mata pedang mengerikan tersebut menari-nari, memberikan segala sesuatu sugesti mengerikan yang ada. Kumohon, jangan ambil lagi Kise-kun seperti kejadian di Kaijou enam bulan lalu, aku mau melakukan apapun untuk melawan.
            “Hmm, sepertinya dia sudah tidak berdaya.”

            “MENJAUHLAH!!” 

         Oke, aku berhasil mengenai kepalanya dengan sebuah batu yang kulempar ala ignited pass(berharap batu itu melubangi kepalanya), tapi kurasa kepala orang ini jauh lebih keras dari batu itu, karena sekarang kepalanya hanya mengucurkan darah di bagian pelipisnya meski aku yakin pelipisnya itu pasti sedikit retak dan memberi cekungan yang dalam. Bagus, gerakannya berhenti! “Kau…., bernyali juga…. Aku..dengar.. kekuatanmuu..hanya sebatas passing…., ternyata kau..lebih ngotot..dari yang kukira..” untuk selanjutnya aku tak lagi mendengar perkataanya karena aku sudah dihempaskan (lagi) dengan beringas olehnya. Benar,sih aku hanya bisa pass dan kekuatan fisikku nol besar tapi setidaknya, kadang nol bukan berarti tak memiliki isi. Kesimpulannya, aku masih memiliki kemampuan otak lebih baik darinya meski harus menghindar mati-matian. 

            Sejauh ini aku hanya terluka di sudut bibir, pakaianku kacau balau berlepotan lumpur dan salju, intinya keadaanku terlalu mengenaskan. Beberapa kali Karasu-san menyabetkan pedangnya hingga merobek kemeja juga jersey ku, meski hanya luka gores tapi ini sangat sakit dan perih(aku tak bisa membayangkan bagaimana rasanya Kise-kun yang ditusuk oleh benda seperti ini dulu.).  Selama hampir 20 menit aku menahan serangan orang sinting ini akhirnya aku terpojok dan...

            “Akhirnya aku berhasil membungkammu, ceroco sialan!”
            Aku sudah dalam batas, kakiku kena luka cukup serius dan tangan kiriku terkena katana meski tidak dalam tapi cukup menghabiskan beberapa liter darahku. Sementara aku terpojok di tengah-tengah gundukan bunga putih juga darah yang menodai beberapa kelopaknya, Karasu-san berdiri sekitar 2 meter dariku siap dengan katana mengkilapnya yang sudah dilumuri beberapa darahku. Napasku sudah tersengal-sengal dan pasokan oksigen mendadak menipis di tengah hawa dingin ekstrim seperti ini.

            “Hoo…. Kau menyerah..? pengorbananmu luar biasa… aku suka.. matamu punya tekad..setidaknya membuatku muak karena mengingatkanku…dengan saudara tololku dulu…., apalagi… kau membiarkan aku mengincarmu juga menjauhkanku dari si target
            “Aku cukup senang jadi mangsa…” sahutku datar.

            “Dan cukup bodoh untuk dimangsa.” Kesinisannya memang menyebalkan.
 Aku sudah tidak punya senjata,pisau lipatku terbang entah kemana, ponselku sepertinya error akibat benturan, dan kini aku terpojok sembari terduduk lemas karena kakiku terluka parah. Kulirik dari ekor mataku kondisi Kise-kun yang masih tertelungkup di hamparan padang bunga, syukurlah jaraknya cukup jauh dari kami. “Kenapa? Kau mengkhawatirkan dia? Apa aku harus membunuhnya terlebih dahulu?” Hmm.. pilihan yang pasti sudah bisa kujawab, 

            “Aku tidak takut mati..,” Pria ini mengerutkan alisnya lalu menatapku heran bercampur jijik, tapi aku tidak peduli. Aku ingin menyampaikan hal yang ingin kusampaikan sekalipun dia bukan siapa-siapa, ralat, dia adalah paman Kinako. Aku pun tanpa ragu melanjutkan perkataanku. “Aku tidak pernah takut untuk memberikan nyawaku, yang paling kutakutkan, hidup tapi mengorbankan nyawa kawan sendiri. Kami memang teman, tapi masalah nyawa adalah hal lain. Dan orang yang mempermainkan nyawa seseorang seenaknya adalah orang yang tak akan bisa kumaafkan meski dia berlutut di hadapanku. Suatu hari nanti.” Dengan pede aku membuatnya membatu, yaah, aku bersyukur apa yang diajarkan teman-temanku berguna untuk momen seperti ini.

            “PEMBUAL!” Dengan naasnya aku langsung dihajar kembali lalu harus tertelungkup menghadap ke tanah hingga terbatuk-batuk, ah sial, mulutku berdarah.
            “Bocah sepertimu tahu apa!? KAU TAK MENGERTI, siapa yang mempermainkan nyawa? Nyawa yang sudah ditakdirkan mati ya harus mati, jangan bicara seolah-olah kau tahu apa arti dari nyawa yang kau maksud!”

            “Tapi bukan berarti anda harus mencabut nyawa-nyawa itu! Itu namanya anda sendiri yang melawan takdir!” kuhantam dia dengan perkataan kembali.
            “DIAM! Persetan dengan kebahagiaan, nyawa, dunia, taka da yang mau menerimaku! Tidak ada yang menerima eksistensi dunia yang ingin kubangun, dunia seperti ini.. dunia seperti kotoran ini harus dimusnahkan demi kehidupan lebih baik…dan aku..aku yang akan.. mengawalinya…” Oke, aku tidak mengerti apakah orang ini memiliki keinginan khusus seputar nyawa manusia atau hanya kehausan akan tahta semu? 

            “Anda melarikan diri dari dunia yang sesungguhnya.” Satu kalimat itu berhasil memukulnya, matanya yang nyalang tak memiliki kewarasan sebagaimana harusnya melirik padaku yang sudah limit, aku tak mengerti apa yang salah darinya dan hanya satu orang yang mampu menjawab hal ini, untuk menyelamatkan banyak nyawa setidaknya.
            “Kalau begitu…,” dia mengacungkan tinggi-tinggi bilah katananya ke langit tepat di atas kepalaku! Dia bermaksud membunuhku tanpa ampun! “Kita akhiri saja ocehan busukmu itu, akan kuperlihatkan bagaimana orang dewasa bertindak… bocah!” Aku hanya bisa menatap ngeri ketika pedang itu langsung mengarah padaku, demi Tuhan aku tak tahu apa dosaku, apa salahku hingga aku harus mengakhiri masa mudaku ini tapi aku tak mau hidup dengan mengorbankan nyawa Kise-kun, aku lebih memilih mati dengan nyawaku ketimbang harus hidup diatas nyawa orang lain! Menurut perkiraanku, beberapa detik sudah cukup untuk sebilah pedang dengan kecepatan seperti itu membelah-belah kepalaku, namun yang kudapatkan adalah kepalaku masih utuh dan ternyata katana itu diahalangi oleh sesuatu. Sesuatu!!

            “Hiiii…!! Tidaaak! Tidak mungkinn… kenapa kau…!!” Eh, ada apa? Seperti ada sesuatu. Benar, di depanku kini adalah.. sosok yang kukenal dengan pakaiannya yang terbang tertiup angin musim dingin, kemeja lengan panjang dan celana hitam, beberapa perban mencuat dari sudut-sudut lengan pakaiannya. “Kenapaaa…? Kenapa kau..bisa… tidak mungkiin! Mustahil..!!” Karasu-san terjatuh lalu terseok-seok mundur ke belakang tetap dengan pandangan nyalang hanya saja hawa membunuh tak lagi kurasakan dari dirinya yang kini berkeringat dingin dan menatap horror ke arahku. Bukan ke arahku melainkan….,

            “Kau baik-baik saja? Kurokocchi…”
            “K..Kise-kun… kau…, kenapa bisa?”

            Kini yang melindungiku adalah sosok Kise-kun dengan ujung katana keluar dari lengan kanan yang digunakan untuk melindungi dirinya juga, dia menyilangkan lengan untuk menutup bagian wajah agar bilah pedang Karasu-san tidak mengenai Kise-kun.
            “Maafkan aku..Kurokocchi, aku yang sekarang bisa merasakannya, merasakan bagaimana ‘kata-kata’ itu terus bergema di dalam diri anak itu.” Eh?
            “Tapi..sejak kapan?” Tanyaku linglung. Sulit mencerna kejadian ini.
            “Entahlah, kekuatan ini berpindah ketika di Teikou. Kurasa Kagamicchi juga menyadarinya.” Oke, aku benar-benar tak mengerti.
            Kise-kun membuka telapak tangannya, mencabut sesuatu dari sana dan tentu saja yang kulihat adalah sebuah pedang berkilap yang kini sudah siap menghabisi Karasu-san. Bisakah aku katakan, bahwa sekarang mata Kise-kun berubah menjadi merah seperti dialiri fosfor? Warna mata yang sama dengan Kagami-kun ketika berada di Teikou.

            Inikah wujud asli dari apa yang dibawa oleh Kinako? Sebuah perasaan yang dibawanya bukan dari lubuk hatinya melainkan pedang ini yang mencintai. Memberi rasa cinta, seperti kutukan.

            Wujud asli dari cinta palsu sebuah pedang siluman.
            Dan kini berada di tangan Kise-kun. Ini artinya Kise-kun sekarang adalah…

BACK TO 15TH YEARS AGO. –FINALE CHAPTER-
           
SHUUMA YUKIHIRA
dua tahun setelah kejadian.

            Kupikir aku akan menyerah. 

            Bagaimana mungkin aku tidak bicara begitu, aku sudah kehilangan orang yang sangat kucintai. Maksudku, setelah aku koma hampir setahun karena kejadian itu aku bahkan tak mampu berdiri di tengah lapangan lagi. Tora dan Nakatani-kun terus menjengukku dan mereka tidak hentinya mencari informasi seputar Saya. Kini aku sudah berdiri di bawah pohon bunga Sakura yang bermekaran, ya, ini adalah hari kelulusanku. Hari kelulusan ini tak seindah yang kubayangkan, orang yang kusayangi tidak ada di sampingku ketika aku lulus.

            “Kau tak perlu sedih, dia pasti kembali, percayalah.” Tora menguatkanku, dia menjengukku ketika aku opname dalam jangka waktu lama, tak bisa kubayangkan betapa depresinya aku ketika tahu Saya tak ditemukan dimanapun di rumah itu. Kemungkinan terburuk adalah dia tidak akan pernah kembali seperti yang dijanjikannya. Atau dia pergi dan selamat dari kebakaran mengerikan itu. Entahlah. Polisi tidak tahu, tidak ada yang mengetahui kebenarannya hingga aku lulus. “Aku berharap dia kembali, karena aku selalu menunggunya.”. Tora tersenyum. Tak kusangka karier basketku cukup gemilang, aku bertemu dengan Nakatani-kun, aku bertemu dengan Eiji Shirogane-san, Genta-san, bahkan Katsunori-san  di ajang basket nasional yang levelnya bukan main-main. Saat itu genap usiaku sudah 20 tahun. Sudah lima tahun semenjak kejadian dan aku tidak pernah 
menemukan adik laki-lakiku lagi, Karasu.

            “Yukihira, latihan sudah beres kau boleh pulang!” seru salah satu senior di kamp.
            “Ya, aku mau latihan sebentar lagi.
            “Kau ini jangan memaksakan diri seperti itu, nanti bisa-bisa kau cidera.”

            “Ahahaha, sama sekali tidak apa-apa. Lagian besok kita libur, aku harus bersiap agar tidak malas-malasan.” Shuuma meluncurkan senyum terbaik dan seniornya pun menyerah. Gym sudah sepi, hanya ada Shuuma yang melakukan latihan dribble dan shooting. Ketika sendirian seperti ini Shuuma teringat semuanya, semua yang pernah dia lalui bersama Saya. Orang yang sangat disayanginya. Tapi kini berbeda, sudah 5 tahun tak pernah ada kabar dari Saya. Tidak pernah.
            “Kurasa aku harus menyerah.” Shuuma tersenyum lemah, putus asa karena semua ini.
            “Kau mau menyerah sungguhan dengan wajah sejelek itu?

            Shuuma terkejut, jantungnya seperti pindah ke perut. Suara itu, suara yang tidak pernah salah dia kenali. Sosok itu bersandar di pintu Gym, mengenakan jumper hitam dan celana training dengan warna sepadan. Surai hitam yang dikuncir satu terurai dari balik topi, sepasang mata magenta mengerling jahil dan tentu saja bekas luka menyilang yang tak pernah akan dilupakan oleh Shuuma. 

            “Dasar bodoh, kenapa wajahmu seperti itu? Kau tampak mengenaskan dari biasanya. Atau kau rindu padaku? Syukurlah Ryuu bisa membawamu pergi sesaat setelah ledakan dan aku—.” Tanpa banyak bicara Shuuma sudah berada di depan gadis tersebut, sebuah dekapan hangat diberikannya, nyaris saja dia tak mau melepaskan sosok kecil ringkih itu. Suara Shuuma kering, dia mencoba untuk tidak terisak karena dia tak mampu lagi menangis. “Kau…, sebegitu rindunya padaku?” bisik gadis itu di dalam pelukan Shuuma yang tetap tak bergeming.
“….”. “Aku benci mengakuinya tapi aku bisa lolos dan maaf mungkin 5 tahun bagimu bagaikan 5 abad yang mengerikan.” Gema suara itu menghilang, menggantung di udara.
            “Aku pulang, SHUU. Aku pulang kembali ke sisimu sesuai janjiku.”
            “Okaerinasai*(Selamat datang kembali). SAYA!”

            Dan begitulah aku mengakhiri penantian panjang ini. Setelah benar-benar sukses aku sedikit demi sedikit vakum dari dunia basket, kami pindah keluar kota dan tentu saja hidup berdua bersama-sama. Yang tahu akan hal ini hanya Ayah Saya, beliau yang menyarankan untuk meninggalkan kota, berkat bantuannya kepindahan kami tidak mengalami banyak masalah. Kedua, tentu saja si bodoh Tora, tapi aku tak ingin melibatkannya lebih jauh jadi aku hanya bilang ingin istirahat untuk sementara. Ketiga, kawan sejagat yang benar-benar berjasa, Ryuugen. Anak itu awalnya kurang setuju—plus karena dia juga ternyata menyukai Saya—tapi untunglah dia mau mengerti dan tetap menganggapku Rivalnya. Sungguh deh.

            Waktu memang berlalu begitu cepat, aku tak bisa membayangkan kalau sekarang aku sudah menjadi seorang ayah. Ditambah anak kami kembar. Mereka perempuan. Aku heran dimana kemiripannya denganku tapi kata Saya, salah satu dari mereka akan sangat mirip denganku. Yaah tak masalah, asal mereka bisa hidup dan tumbuh menjadi sosok yang cantik juga dikelilingi oleh kebahagiaan itu tak akan masalah. Tapi….,

            Kurasa.., kebahagiaan itu berhenti. Berhenti ketika mereka beranjak 5 tahun. Aku bisa merasakan semakin ke sini semakin banyak sekali orang-orang yang mengawasi. Meski kami sempat pindah ke tempat terpencil sekalipun aku masih bisa merasakan sosok jahat yang kutengarai adalah Karasu, adik lelaki bodohku itu tampaknya sekarang menjelma menjadi iblis yang tidak bisa mati.

            “Akan ada sesuatu. Kurasa, akan lebih aman kalau kau menitipkan mereka.”
            “Kau pasti bercanda. Aku tahu apa yang ada dipikiranmu.”
            “Saya….”
            “Aku tak mau, kalaupun harus, aku tak mau berpisah dengan mereka.”
            Malam itu perasaan burukku benar terjadi, Karasu datang, mencoba membunuh Kinako dan Kohane. Tapi tentu saja aku tidak selemah itu. Tepat ketika Kinako yang berada di ruang tamu melihatku menahan Karasu, sialnya aku terpeleset dan Karasu sudah berada di depan anak itu. “KINAKO!”.

            Semua merah seketika, aku tak bisa melupakan wajah anak manis itu saat sebuah pedang tepat menancap di bagian dada kiri ini. Aah, darahku jadi tertransfer padanya. Tapi aku tidak kuat, aku sudah kehilangan banyak darah dan bilik kiri jantungku rusak karena tertembus mata pedang. Kinako hanya termangu, ekspresi yang tak kusangka akan diperlihatkannya. Jadi, sebelum aku benar-benar tak bisa berada di sisinya, di sisi mereka, dengan sisa tenaga aku menyentuh pipi kiri anak itu dengan tangan berlumur darah. 

“Tolong jaga Kohane dan Ibu,ya?”
“Pa..Pa,” semua gelap, darah kurasakan berdesir dan keluar dari mulutku. Semua tak bisa kurasakan lagi. Hingga aku melihat Saya terakhir kali. Dengan mata penuh kebencian.
SAYA YUKIHIRA
Musim Dingin. 10 tahun lalu.

            Aku tahu rasanya meninggalkan seseorang.
            Tapi kini aku bisa merasakan apa yang dirasakan Shuu, sedikit berbeda karena sekarang kau tak bisa melihat orang yang kau cintai selamanya. Berkat kenekatanku, juga terror Karasu sialan itu, rumah kecil itu terbakar hangus. Aku tak bisa mengatakan apapun pada Chichi Ue, aku hanya mengatakan kalau sisa-sisa keluarga Yukihira yang didalangi oleh Karasu datang melakukan kudeta hebat.
            Tapi sebenarnya tidak begitu. Karasu, setelah kupelajari lebih detail aku bisa menyimpulkan si psikopat gila itu mengumpulkan anak-anak, baik yang masih hidup atau yang sudah mati. Dia mencoba untuk membuat dirinya abadi dengan kekuatan mereka. Semacam ilmu hitam atau tenung. Kekejaman itu dia kamuflase di sebuah festival, festival AKAGOSAI, festival anak-anak yang disabotase oleh Karasu demi mengumpulkan jiwa-jiwa tak berdosa. 

            “Aku berharap padamu, Itou.”
            “Aku akan menjaga dan menemukan mereka.”
            “Aku harap mereka tidak menderita…”

            “Maaf.., kalau itu aku tidak bisa menjamin. Terutama anak kembar pertamamu.” Kinako, dia yang berubah secara drastic. Serangan Karasu telak membuat Shuu kehilangan nyawa, yang lebih parah, dia meninggal di depan anak itu. Aku tahu dia sangat sayang pada Shuu, dia jarang bisa bermanja karena sifatnya terlalu mandiri. Berbeda dengan Kohane yang belum tahu apa-apa. Aku takut dia membenciku, aku takut dia tak akan memaafkanku.

            “Maafkan aku.” Cuma kata itu yang bisa kutinggalkan ketika aku pergi, pergi untuk menemukan Karasu. Tapi aku tak menyangka akan bertemu dengan bocah yang mirip dengan Shuu. Anak itu, mengajarkanku untuk tetap semangat. Meski hanya seminggu, singgah di kota itu bagaikan bertemu Shuuma kecil. Kemudian aku bertemu lagi dengannya, dengan anak jenius berambut hijau yang dengan tenangnya menemaniku ketika kerja sambilan. 

            “Aku hanya ingin memberikan yang terbaik, setidaknya, aku ingin menunjukkan kalau aku bisa menolong mereka dari ketidakbahagiaan. Kalau suatu hari kau bertemu dengan keduanya, aku ingin sekali, ingin kau menjaga mereka berdua. Kalau bisa, aku ingin ketika kau tumbuh dewasa, kita bisa berjumpa lagi.” 

            Anak itu hanya memerhatikan foto yang kuberikan, foto kedua putriku yang kutinggalkan sudah di panti asuhan. Anak berkacamata dan berambut hijau tersebut selalu mengatakan kalau putriku baik-baik saja, ternyata ayahnya kenal dengan penunggu panti asuhan dimana aku menitipkan anak-anakku. Midorima-san begitu memperhatikan kedua putriku, dia juga sama mengkhawatirkan bagaimana kondisi Kinako yang kian hari kian tidak tentu kondisinya. Dia menjadi begitu pendiam, menjauh dari sosial, dia hanya berada bersama Kohane. Tapi aku tak mau memusingkan hal tersebut, yang harus kulakukan sekarang adalah mencari Karasu dan membunuhnya. Namun sayang sekali semua berakhir begitu menyakitkan. Menyakitkan ketika kau tahu kalau putri tercintamu tewas begitu saja.
            Semua ini harus diselesaikan. Aku harus mencari dimana lokasi AKAGOSAI berikutnya. Dan aku menemukannya, menemukan lokasi dimana Akagosai akan dilaksanakan. 

            Kuil itu, kuil bobrok yang berdekatan dengan sebuah SMA.
            KUIL SEIRIN.


                                                            FINALE CHAPTER –END—


KAGAMI TAIGA
Kuil Yukibana – 17.00 p.m  

            Akhirnya cerita Saya-san berhasil membuat bulu kudukku berdiri.

            Yang bisa kupastikan di sini adalah, ternyata Kinako dan Kohane sama sekali tidak mengalami kudeta besar-besaran, mereka diserang oleh Karasu Yukihira yang malah membuat ayah mereka terbunuh. Kinako memang sangat jarang cerita dan tak mau menceritakan bagaimana keadaan sebenarnya.
            “Jadi, masalah kudeta itu semua bohong?” tanyaku.

            “Demi menutup keadaan yang sebenarnya, aku mengatakan itu pada ayahku, lalu tentu saja kepala keluarga menyepakati untuk menutup
nya. Kurasa Shuu tidak mau melibatkan semua orang dan berharap Karasu benar-benar berhenti melakukan semua ini.” Saya-san menghela napas, helaan napasnya sangat berat menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul. 

            “Ano, maaf, sebenarnya aku sendiri juga datang kemari karena suatu hal,” Uzumaki-san yang sedari tadi diam angkat bicara, wajahnya pucat dan dia sesekali melirik Pak Zen. “A,aku mencari adik perempuanku. Semenjak tiga tahun lalu aku hidup di sini berdua, adikku hilang ketika musim dingin dan sampai sekarang tak pernah kembali. Aku tak bisa memanggil polisi karena bakal menjadi rumit urusannya, dan.., tampaknya aku tahu kemana adikku pergi.” Matanya melirik kesana-kemari, dia seperti ketakutan, Uzumaki-san ternyata adalah salah satu korban!
            “Dan yang lain-lain tentang apa yang dikatakan oleh Kinako itu bohong?” sahut Kuroko.
            “Ketika ledakan gas di Teikou, dia memang terluka cukup parah dan nyaris tewas, ibaratnya seperti Near Death Experience, mungkin. Tapi pada dasarnya dia tetap manusia, aku yakin awal ketika kalian bertemu di SEIRIN juga mengira dia hantu. “ ujar Midorima. Aku mengira-ngira kembali tentang kuil bobrok itu, kalau benar di dekat sekolah kami ada sebuah kuil yang terbengkalai maka kuil itu harusnya tak jauh dari bukit-bukit yang berjajar lumayan jauh dari kota. 

            “Uzumaki-san, kau masih ingat kronologi saat adikmu menghilang?” tanya Tatsuya.
            “Se,sekitar tiga tahun lalu. Aku rasa. Aku masih ingat, kedua orang kami bercerai dan kami memutuskan untuk tinggal bersama berdua. Adikku yang masih kecil waktu itu merengek memintaku mengantarnya ke festival kota dekat sekolahnya, lumayan jauh dari sini. Aku menolak dengan alasan sibuk kerja di kebun, adikku ngambek dan dia pergi sendirian. Kupikir hanya ke festival saja tak akan memakan waktu lama dan pasti adikku bisa pulang sendiri tapi...,” Uzumaki-san berkaca-kaca, matanya mulai tergenang oleh air matanya. “Dia tak pernah kembali, Mia tak pernah kembali semenjak itu.”

Kami terdiam. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan oleh Saya-san kalau.... semua ini akan terjadi di kuil itu, kuil SEIRIN. Kuil yang sama dengan nama sekolahku. Bagaimana ini? Jantungku berdegup terus, perasaanku tidak enak.

            Beberapa menit berlalu tanpa suara, hanya isak tertahan Uzumaki-san yang menggema.
            Tak kusangka aku malah menangkap sosok Kuroko yang babak belur bersama Kise yang terkulai dan dipapah oleh seorang pria asing berambut oranye yang dikepang satu, mereka tidak bisa dibilang baik-baik saja. Dan yang semakin membuatku ternganga adalah kata-kata Kuroko yang keluar dari mulutnya ; 


            “LARI! LARI DARI SINI, KITA DISERANG!!”
DAMN!!.

            

FESTIVAL KEMATIAN —SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)— FESTIVAL 6 : KUDARASHI(蔵出し) “DELIVERY”

FFN. CODE 4. 黒子のバスケ
            FESTIVAL KEMATIAN
 
SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
“Midnight was coming, the nightmare was waiting,They always stay with you when you closed the eyes and hide under the blanket”.
DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI
FESTIVAL 6 : KUDARASHI(蔵出し)
             “DELIVERY”
“Aku ingin hidup bersama teman-temanku dengan bahagia, keinginanku hanya satu. Yaitu membawamu ke taman bermain dan menaiki bingalala, sayangnya, itu tak akan bisa terwujud dengan mudah… saat ini…”
 
黄瀬良太
(Kise Ryouta)
IN OTHER SIDE STORY
KISE RYOUTA
The story that nobody know—
            Mendengarkan cerita Saya-san membuatku sadar.
            Selama ini, ya, selama ini kedua anak kembar itu tidak pernah mendapatkan banyak kebahagiaan. Saya-san berusaha untuk mengurangi penderitaan mereka dan melanjutkan perjuangan Shuuma-san sendirian dari belakang, mungkin Kinakocchi berpikir bahwa selama Kohanecchi hidup nyaman dan tercukupi itu sudah lebih dari apapun, Kinakocchi tidak pernah mengharapkan belas kasih orang lain ataupun meminta belas kasih itu, dia bekerja dan berusaha untuk mengatasi semuanya sendiri. Aku selama ini mencoba mengikuti jalan pikir Kinakocchi dan yang aku tangkap adalah ; selama adikku bahagia dan tidak ada masalah, aku tidak keberatan kemalangan datang padaku asal jangan adikku, dan aku tak pernah mengharapkan adanya kebahagiaan untukku meski ada yang memberikannya.’

            Sedih? Tentu saja! 

Aku tak bisa membiarkan anak itu kelayapan sendiri, menanggung semua ini sendirian sementara aku enak-enakan tidur di futon dan melihat salju mereda. Eh, salju ternyata sudah mereda rupanya. Aku yang terduduk tegak di Futon melihat teman-teman menyimak tanpa suara cerita Saya-san sementara Mayuzumicchi masih tertidur tak jauh dariku. Kebetulan karena ruangan ini luas dan aku ditempatkan rada pojok dekat pintu geser, aku merangkak dan menggeser perlahan pintu di samping kiriku dan kini aku sudah di luar mencoba untuk tidak mengundang perhatian mereka, aku butuh sendirian dan angina segar. 

Dari kamar kau akan mendapati lorong dengan lantai linoleum*(lantai kayu yang dipernis halus) yang panjang dan berbelok mengarah ke halaman depan, jadi kalau kita mengikuti arah lantai ini maka kita akan sampai di gerbang utama. Lantai linoleum ini lebarnya tidak begitu besar tapi cukup untuk duduk-duduk di sepanjang pinggirnya, dari sini aku bisa melihat pekarangan yang sangat putih ditutupi salju tebal. Duh, aku tidak bawa jersey-ku yang ada di gantungan baju jadinya menggigil seperti ini bahkan hebusan napasku bisa kulihat secara jelas di depan mata. 

            “Kinakocchi… kau dimana…?
            “Di sini…”
DEG! Suara yang sayup-sayup mengambang di udara membuatku tergelak, suara yang tenang dan terkesan jutek tapi hangat. Srek-srek… Aku melihat semak di depanku bergerak. Jantungku kalut, antara banyak perasaan bercampur aduk dan kepalaku nyaris meledak! Bagaimana kalau di semak itu muncul Kinakocchi? Apa yang harus kukatakan padanya? Tidak, aku tidak mau membuatnya tambah menderita tapi hatiku terlalu sakit menahannya, apalagi mengingat kejadian enam bulan lalu di Teikou. Rasanya melihat sosoknya saja hatiku sudah seperti diremas-remas. 

            “Meoww….”. “Huh? Itu kan… Saya?”

 yang kumaksud bukan ibunya Kinakocchi tapi kucing hitam bermuka bête dengan lonceng kuning di lehernya sedang keluar dari semak-semak dan melihatku. Entah kenapa meski kucing hitam berwajah aneh ini tampak selalu memasang wajah sengit namun dia tidak pernah mau jauh dariku, kucing aneh seaneh pemiliknya. Sekalinya aku pernah memergoki kucing ini sedang asyik tidur di atas handuk olahragaku dan aku tak tahu darimana dia datang. 

“Masa kau ada di sini, sih? Jangan bilang yang menyahutiku itu kau,ya?” tanyaku sembari mengangkatnya yang sedari tadi bermanja-manja di kakiku yang tak beralas. Huh, aku mencari majikanmu tahu..,bukannya kau. Sementara aku menatap salju-salju berjatuhan dari atas langit selama sepuluh menit tiba-tiba telinga Saya berdiri, dia membuka matanya yang berwarna almond lalu menatap lurus kea rah sebuah pohon. 

“Saya? Ada apa? Hei, waaah! Jangan ke sana…” aku menyusul Saya dengan tergopoh-gopoh karena lukaku masih basah menimbulkan rasa perih menusuk.

            “Saya… kau dimana? Jangan berkeliaran…” sahutku lemas, aduh, aku harusnya bilang pada Midorimacchi untuk tidak menambah kadar obat bius di tubuhku ini.
            “Meow…!” aku sampai di sebuah pekarangan bunga yang terletak di balik pohon besar itu, pekarangan yang dipenuhi bunga-bunga Daffodil putih di atas lahan yang tak begitu besar. angin musim dingin menerpa surai-surai rambutku yang agak basah karena keringat dan salju mencair. Saya melesat ke tengah-tengah kumpulan bunga Daffodil dan aku menemukan… menemukan sosok berambut hitam yang memeluk kucing sehitam rambutnya itu. Dia tetap memakai jersey miliknya hanya saja dia menggunakan rok lipit berwarna kelabu, banyak perban di bagian tangan juga kaki, lalu yang tak akan pernah kulupakan itu adalah luka bakar di sisi kiri wajah juga warna mata ruby yang selalu menatap dingin ke siapapun. 

            Kami terdiam dan membeku sangat lama. Kucing bête itu seolah-olah memberi kode untukku mengatakan sesuatu atau ini bakal berakhir menyakitkan, dasar kucing menyebalkan, aku juga tahu harusnya aku tersenyum dan menyapanya seperti biasa tapi semua hal yang biasa kulakukan malah berbalik menjadi tidak biasa. 

            “Kau…” Aarrgh! Entah kenapa hanya dengan mendengar satu kata itu membuatku ingin menangis! Hatiku mencelus dan rasa nyeri menyebar seperti racun, “Kau terlihat lebih baik….” Oke ini tidak lucu, aku harus menahan diri untuk tidak berlari memeluknya. “…..” Ayolah! Ayo katakan sesuatu Kise Ryouta! Kau seorang ACE! Masa berhadapan dengan gadis kecil yang notabenenya adalah teman semasa SMP-mu ini malah membuatku mati kutu? 

“Ak..aku…”
“Maafkan aku…” Oh, Shit! Kata-kata itu menghujam ulu hatiku, kenapa dia musti minta maaf?
“Maafkan atas segalanya, kalian tidak perlu memojokkan Midori-nii lagi. Aku sudah melihatnya, aku bersyukur Haha-Ue hidup sehat dan bertemu kalian. Aku tak tahu harus bagaimana dan kau bebas membenciku apalagi mungkin Kagami-nii bakal marah besar sekali. Tapi tolong aku ingin kalian menjauh dari segalanya, aku tak akan membuat alasan sekuat ini hanya demi pertemanan,” gadis itu menatapku dengan sangat teduh, mata yang tidak pernah kulihat selama ini, 

Chichi-Ue, Kohane, sudah tidak ada. Aku tidak mau kehilangan lagi, terutama… KAU. Ryouta…” Kali ini tanpa banyak cingcong aku sudah berada di depannya, menangkap gadis mungil yang masih tertegun tak berkutik di dalam pelukanku.
            “Ryo,Ryouta? Lepas—“.
 “Tidak.” Jawabku tegas. Kuambil napas panjang lalu memperat pelukanku, “Aku, aku sudah tidak peduli apa yang terjadi padaku. Aku terus menunggu, menunggumu datang dengan wajah masammu seperti biasa lalu mengejekku halus di setiap kata-katamu. Aku ingin kau mengangguk ketika aku mengajakmu pergi ke taman bermain dan naik Bianglala bersama… aku tidak peduli dengan mimpi buruk ini. Sekalipun aku harus terluka aku tetap akan memastikan kau kembali padaku.. bukannya aku pernah bilang? Apapun yang terjadi aku akan bersamamu, akan kubawa kau pergi kemanapun selama kita bersama…!” Aku bisa merasakan gadis itu sedikit menegang tapi tidak kulonggarkan eratanku di tubuhnya(sementara Saya enak-enakan tidur di pelukannya). Hanya ada hembusan angin bergemerisik menerobos dedaunan yang arang-arang di pohon menemani kami yang masih terus saling menempel seperti perangko dan surat. 

“Ryouta… kau menganggap omonganku serius waktu itu?” tanyanya.
“Huh? Yang mana?” tanyaku balik. Kulihat wajahnya memerah seperti tomat, entah akibat dingin atau penyebab lainnya. Tiba-tiba kejailanku muncul, “Soal itu…!” tegasnya.
“Aku selalu menganggap apa yang kau katakan padaku itu serius…” senyumku.
“Kalau aku bilang itu bohong?” tukasnya gemetar.
“Kau bisa bilang demikian tapi tampaknya wajah dan perasaanmu tidak bicara seperti itu.”ujarku senang. 
“Kau curang….” Sengitnya. Aha! Aku mendapatkan sifat kikuknya masih menempel setia di dirinya itu. Namun sekilas aku menangkap ada sosok bersembunyi di balik pohon tak jauh dari kami, helai rambut berwarna orange itu terhempas oleh angin dengan tenang.
“Hei, ayo kembali…” wajah gadis itu membeku sesaat.
“Apa maksudmu?”

“Jangan pernah merasa kau tak memiliki tempat, kau punya kok. Kembalilah, kita hadapi ini semuanya bersama-sama dan biarkan aku melindungimu.” Tiba-tiba dia menyentakku dan aku nyaris terjengkang karena lukaku kembali menjerit-jerit. “Jangan konyol!” bentaknya. “Aku.., kau pikir masalah ini hanya seperti masalah spele? Jangan bercanda, kalau kau salah langkah maka kalian juga kau akan mati!” Aduh, kenapa sih cewek ini punya tempramen yang benar-benar sulit dikendalikan setidaknya biarkan momen-momen tenang tadi berjalan agak lama.
            “Tapi, kalau kau bergerak sendirian maka kau yang akan tewas. Kau tidak berpikir kalau kau tewas siapa yang bakal sedih!?” Aku tak kalah sewot.
            “Diam! Kau tidak pernah tahu bagaimana rasanya kehilangan, kau hidup normal! Jangan bicara seolah-olah kau tahu segalanya soal aku, kau bukan siapa-siapa dalam hidupku!” Crap, kata-kata itu terlalu sakit menusuk hati ini tapi aku mencoba untuk tegar dan dengan segenap perasaan tersisa kukepalkan tangan untuk melawan argumennya.
            “Aku memang tidak tahu! Aku juga bukan sok tahu, aku hanya ingin melindungimu! Apa itu salah!? Memangnya aku salah apa sampai kau setidak sukanya padaku. Aku pernah salah padamu? Aku salah apa, kalau aku salah coba katakan dimana kesalahanku dan berhentilah jadi kepala batu!” dengan wajah songong aku menatap manik mata itu tanpa gentar, dia terdiam kemudian dengan gerakan mengerikan dia sudah mencengkram kerah bajuku. Baiklah, apa aku akan ditusuk atau dihajar sampai sekarat olehnya? Tapi bukan pukulan yang kudapat tapi sesuatu yang mungil dan lembut tiba-tiba mendarat di bibirku.
EH? Pelan tapi pasti aku bisa merasakan sesuatu yang lembut itu berada di sana, agak lama hingga bibirku terasa hangat dan panas daripada sebelumnya. 

“Akan kukatakan apa salahmu, kau sudah membuatku jatuh cinta padamu! Dasar bodoh..”
            Dia berbalik dan kemudian berlari hingga menghilang dibalik rimbunan semak belukar. Aku masih tercenung seperti orang bodoh di tengah-tengah bunga-bunga yang menari-nari diterpa angin, kuraba mulut atau lebih tepatnya bibirku sampai hawa panas menjalar di wajahku ini. 

DIA MENCIUMKU!! KINAKOCCHI ..MENCIUMKU

Aku langsung menutup mulut, entah sejak kapan juga mataku ini mulai basah hingga aku tak sanggup berdiri lalu lungai terduduk di atas tanah, “kalau kubilang itu bohong?” Itu tidak bohong! Kau mengatakannya tapi kau mencoba melepaskan perasaan itu, kau mencoba memutuskan perasaan itu hingga menyiksamu sendiri. Seharusnya kusadari sejak lama perasaannya, lalu merenggutnya agar dia tidak pergi dariku seperti sekarang.
Jangan pergi…! Kumohon! Akan kubuktikan kalau perasaanmu itu bukanlah kebohongan!
Aku menangis di bawah salju yang terus turun tanpa henti jatuh ke bumi.


BACK TO 15 YEARS AGO

YUKIHIRA SHUUMA
Taman bermain—11.00 p.m
            Hal terakhir yang kulihat adalah sosok besar hitam menerjangku.

            Setelah merasa kalau si hitam—maksudnya karena aku tak bisa melihat siapa sosoknya itu—menghajar kepalaku dengan sesuatu atau senjata dan sepertinya dia juga menusuk ulu hatiku hingga aku ambruk ke tanah. Teriakan Saya adalah hal yang terakhir pula kudengar lalu segalanya kembali hitam, taka da yang kudengar bahkan aku tak melihat apapun sekalipun mataku sepertinya masih setengah terbuka terlebih air hujan mengguyur dengan deras hingga membuat lukaku mengalirkan banyak darah. Holy shit, rasa sakit tampak tidak lagi bisa kurasa atau kuraba saking mengerikannya luka ini. Niat hati ingin menolong kenapa malah aku yang di bawa ke rumah sakit sih?

            “Hei, sudah bangun rupanya…” Aku terkesiap menyadari kalau sosok itu duduk di samping ranjangku, maksudku dia sedari tadi menguliti apel yang dipegangnya tanpa menoleh padaku, sementara mataku masih terlalu sulit melihat dalam kecerahan seperti ini. “Ung, yaah…anu, apa yang terjadi?” tanyaku linglung, Saya tidak menyahutiku namun suara kupasan Apel masih terdengar jelas.  “Hei, Saya?” Panggilku untuk kesekian kalinya. “Kau dapat luka tusuk tapi tidak dalam kok, memang sempat menusuk bagian vital tapi tidak sampai membuatmu harus di kubur.” Omongannya itu punya banyak makna antara kejam dan perhatian ketika aku baru sadar sekarang aku sudah d rumah sakit dengan infus d tangan kiriku ini. Selama hampir sepuluh menit kami tidak bicara dan kuperhatikan lagi ternyata ada sesuatu yang berbeda dari diri orang yang diam-diam kutaksir ini, wajahnya! Di wajahnya sebuah perban menyerong dari arah kanan kea rah bagian mata kirinya hingga membalut kepalanya. Mataku terbelalak melihat wajah manis dan cantik kini sudah dibalut seperti mumi di hadapanku(dan masih sempat-sempatnya mengupas apel dengan tenang). 

“Oi! Saya, kenapa wajahmu itu? Apa yang—.”
“Di saat si pelaku menusukmu sebenarnya dia hendak menebasmu lagi tapi aku berhasil menghalau tebasan keduanya tapi sayang aku kurang hati-hati makanya jadi punya luka yang kata dokter bakal permanen, jangan khawatir, lukanya tidak dalam hanya saja menimbulkan bekas yang lumayan abadi…” penjelasannya membuatku melongo, gadis ini mendorongku lalu mengorbankan wajahnya sendiri?! Yang benar saja, aku bahkan tidak bisa berkutik ketika itu terjadi. 

“Ke, kenapa kau….”
“Langsung saja, kau orang pertama yang mau rela-rela mendekatiku. Kupikir selama ini kau hanya orang lemah dari keluarga bangsawan tapi ternyata itu salah. Ng, aku tahu soal dirimu dari Chichi Ue. Semuanya juga, jadi….” Saya berhenti sejenak dan menaruh apel yang baru setengah jalan dikupasnya, “Jadi aku merasa…aku tidak bisa mengabaikanmu. Aku.. ingin sedikit saja di sisimu, kurasa kau bakal tertawa kalau aku mengatakannya. Aku menyukaimu, satu hal lagi, wajahmu itu tidak baik untuk jangtungku..” tandas Saya. Sementara aku (masih) melongo seperti orang bodoh, wajah Saya yang menunduk seperti hantu sumur itu merah padam nyaris seperti rajungan rebus.

            “Pfft…. Ahahahah…! Yaampun, aku kira kau mau bicara apa. Kau menarik, setidaknya… perasaanku juga sama dengamu kok. Wajahmu itu membuatku meleleh…” Aku tertawa lepas spontan dan  tak tahu bagaimana wajahku ini di depannya karena Saya memberikan ekspresi yang tak dapat kudeskripsikan.
            “Jadi….?” Tanyanya kikuk. “Sudah jelas,kan? Jangan tinggalkan aku dan tetaplah di sisiku,ya?” pertemuan yang aneh dan agak terdengar konyol tapi aku… sedikit saja, ingin membahagiakan anak ini. Boleh,kan? Aku boleh berada di sisinya… selama umur dan napas ini masih ada di bumi. Dari saat itulah kisah romantic terjadi di antara kami, kami tidak pernah saling menuntut untuk terus membahagiakan, selama Saya tetap di sisiku itu juga cukup, dan lagi aku masih harus bicara pada adikku, KARASU YUKIHIRA atas semua kejadian yang menimpa kami di tengah hujan badai. Akan kujelaskan sedikit, Karasu adalah anak yang pendiam, dia lebih sering mengurung diri ketimbang bergaul dengan anak-anak seusianya, lalu ada satu hal yang selama ini membuatku kuatir. Karasu terlihat tidak biasa, kecenderungannya dalam menyukai hal-hal sarkrastis, darah, psikopatik, dan semua yang agak abnormal bagiku rada berbahaya apalagi Oyaji juga Oka-san sudah sering membawanya ke Psikiater tapi nihil. 

“Dia hidup di lingkungan yang baik tapi entah kenapa ada satu sisi dimana dia tidak bisa menerima lingkaran hidup baru di dalam diri dan kepribadiannya. Maksudnya, dia tidak bisa menerima kehidupan membahagiakan yang dapat membentuk kepribadiannya sehingga menjadi lebih baik, malah dia semakin menolak kehidupan itu danterus hidup dalam dunianya sendiri. Dia akan sulit menerima mana yang benar dan mana yang salah.” Kira-kira begitulah kata Psikiater terakhir yang kami kunjungi.

            Kesimpulannya, Karasu sulit membuka hidupnya yang penuh drama horror fantasy yang sadis dan yang lebih berbahaya mungkin bakal dipraktikannya di dunia nyata. Jujur aku tak mau berspekulasi yang tidak-tidak tapi aku ingin bicara dengannya, meski kami kakak adik, dia tampaknya sangat menjauhiku entah karena efek dibanding-bandingkan aku juga tak tahu.
            “Kau yakin mau membuat adikmu buka mulut?” Tanya Saya.
            “Mau tidak mau, Karasu memang anak yang sedikit labil….” Jawabku sekenanya.
            “Aku punya firasat tidak baik, kalau boleh aku ikut dengamu.” Anak ini memang tidak bisa diajak basa-basi. “Kau yakin? Masuk ke sarang macan.” Tanyaku jail. “Setidaknya aku masih berharap bisa membawamu keluar hidup-hidup dari rumah sakit.” Oke, dia benar-benar keren, entah omongannya atau imajinasinya yang kelewat sado. Akhirnya setelah dua setengah hari terkapar akupun kembali ke sekolah dengan sambutan seram dari Tora. Aku terpaksa berbohong (sedikit) mengingat dia tak akan mungkin percaya jadi kukatakan saja kalau beberapa hari lalu aku kecelakaan dan harus opname dua hari lebih sedikit. Sementara Saya mengatakan pada Ryuu kalau dia jatuh dari tangga(alasan klise namun ampuh untuk membodohi orang bodoh). 

“Ryuu benar-benar polos, aku tak tega melihatnya.” Ujarku ketika Saya menemani pulang ke rumah, rencananya kami hendak menemui Karasu (yang entah malah kelihatan menyeramkan padahal aku tinggal serumah). 

“Aku tak mau melibatkannya, maaf saja, meskipun dia salah satu anggota keluarga Houkutou Shichisei aku tak ingin masalah ini sampai menyebar pada keluarga inti lainnya.” Sungguh bijaksana.
            Kami sampai di rumah—rumahku—yang sederhana dan tampak biasa saja. Hanya ditumbuhi beberapa Bunga Sakura yang sedang gundul akibat peralihan musim, aku tak menyangka ini tahun kedua kami di SMA, sebentar lagi mungkin kami akan menghadapi ujian. Aku was-was melihat sekeliling rumahku yang biasanya cerah sekarang sedikit temaram akibat awan mendung, ugh, kenapa aku jadi parno? Aku mendengar Saya mengikik kecil di sampingku, sialan, harusnya aku tahu gadis ini memang sangat sensitive pada perubahan di sekitarnya. 

            “Mau masuk? Atau kau harus berlagak jadi pahlawan penerobos pintu geser di rumahmu sendiri?” Huh! Lihat saja, aku bisa melindunginya jadi aku membuka pintu depan kemudian tak ada sambutan apapun dari penghuni rumah… eh? Kemana mereka? Saya mengampit lenganku dan tampaknya sudah bersiap mengeluarkan katana-nya. Aduh semoga mereka baik-baik saja, baik ayah maupun ibu. Kami tidak menemukan tanda-tanda kehidupan, aku tak menemukan riuhnya para asisten ibu yang memasak di dapur, sampai kami menemui lorong dan menemukan jalan menuju paviliun rumah bagian belakang. “Shuu, kakimu.” Saya berbisik menunjuk kakiku yang berbalut kaos kaki yang tadinya putih sekarang berubah menjadi kehitaman. Bukan! Ini darah! Mendung saja yang membuatnya nampak hitam, tapi cairan ini kental dan berbau anyir!

            “SHUU..!” Aku tak memerdulikan peringatan Saya, aku langsung menerobos masuk ke dalam bangunan dengan mengambil sebuah pedang yang tergeletak tak jauh dari pintu depan. Kudobrak pintu itu dan menemukan pemandangan paling mengerikan sepanjang hidupku ini. Aku melihat… Ayahku sedang merangkak ke arahku dengan kedua kaki putus, Ibuku tergeletak dengan kepala penuh darah sementara beberapa asisten ibu dipaku di dinding sepanjang ruangan. Dan yang sedang berdiri dengan tangan penuh darah dan pedang di tangannya itu tentu dengan wajah dingin bukan seperti biasanya.. menatapku nanar dan sinis. 

            “Haiii….Aniki, kau terlambat, aku sedang membuat karya seni.. edisi bulan ini adalah edisi untuk pembukaan gerbang sebelum pesta pelepasan.” Astaga! Demi apa, kenapa adikku yang sehari-hari normal dan tampak kalem sekarang menjadi manusia tak berhati dengan seragam sekolah SMP –nya ini? Apalagi kami memang tidak begitu mirip, rambut dia belum dirombak sepertiku yang rada bengal hanya saja potongannya tidak jauh beda! Aku seperti melihat sisi lain kecil diriku yang seperti boneka kutukan! 

“Ughhh…. Shuu..la..ri..”. “Ayah!!” Aku terkejut kala beliau masih menggapai-gapaiku dengan kaki penuh darah, aku langsung melesat bak angin ketika Karasu hendak menyerang kembali. Dia bukan adikku, dia orang sinting! 

            “KARASUU! Hentikan…!” teriakku setelah menjauhkan ayah dari kami, aku menangkis pedang pendeknya yang sudah berlumur darah—entah darah siapa—hanya satu hal yang kupikirkan sekarang ; mengalahkan KARASU.
            “Kenapa Aniki? Bukankah Aniki senang dengan kirimanku beberapa hari lalu? Mereka anak-anak yang manis,kan?” tuturnya perlahan. DEG! Makhluk hitam yang kemarin itu, jangan katakan…jangan katakan kalau itu. “Kau yang mengirim iblis gila itu?” desisku.

            “Aku mengirim mereka untuk hadiah, kebetulan aku menemukan Buku bersampul coklat yang bertuliskan PERSEMBAHAN SETAN UNTUK FESTIVAL KEMATIAN. Jadi boleh dibilang aku membuat sedikit percobaan, pergi ke sebuah kuil di daerah Miwarigumi lalu membuka segel terlarang dan membuat sedikit ritual. Aku hanya ingin memamerkan hasil eksperimenku ini, jiwa-jiwa pilihan memang produk terbaik.” Damn, Shit! Karasu benar-benar sudah di luar kendali, sekarang aku paham apa yang terjadi. “Kau, selama berapa tahun kau sudah merencakan ini bocah tolol?” geramku tetap dalam posisi bertahan(aku tak tahu kemana Saya). 

“….” Karasu diam. “Jawab aku, adik tidak punya otak! Katakan sejak kapan—.” Ups! Aku langsung menghindar ketika Karasu melemparkan sebuah pisau pemotong kue yang cukup tajam melesat beberapa senti di pipiku. 

            “Sudah lama, sekitar SD kelas 5. Aku menemukan buku itu di ruang perpustakaan ayah. Sayangnya ayah melarang dan langsung memarahiku kala aku hendak membacanya. Aku mengambilnya diam-diam, membuka satu persatu isi bab itu, tidak ada yang spesial tapi semakin lama banyak suara yang menyuruhku untuk terus membaca. Akhirnya aku mencoba mengikuti tiap detail buku, sampai di dalam Festival Akagosai tahun pertama SMP aku mulai berani melakukannya, memanfaatkan setiap momen festival konyol itu untuk mengundang para anak-anak untuk dijadikan makanan untuk… Maou-sama*(raja kegelapan).” Aku tercekat, napasku langsung kutahan mendengar cerita gila Karasu yang masih berusia 15 tahun.

            “Aku pikir menyiksa anak kecil bukan perbuatan baik, makanya aku ragu tapi semakin kemari wajah kesakitan mereka semakin menyenangkan. Entah kenapa aku yang bosan pada hidup monoton keparat ini bisa menikmati begitu dalamnya arti sebuah kehidupan, dan mulai saat itu aku… terus mengumpulkan mereka, mengumpulkan para jiwa-jiwa kedengkian dan terus mengurung para anak-anak untuk dijadikan persembahan. Lantas di dalam buku, Maou-sama mengatakan untuk menyempurnakan mereka kita harus menghabisi setiap jiwa terdekat dalam hidup, tak lain tak bukan….” Aku tak perlu menebak apa kelanjutan kata-katanya itu.
            “Kau benar-benar harus dibersihkan,ya?” sahutku sinis.
            “Mungkin aku yang akan membersihkanmu duluan…” Aku terhenyak tepat ketika Karasu mengayunkan tebasan mautnya dari arah kiri, aku menangkisnya meski kalah tenaga(maklum aku habis sakit). “Karasuu…! Buka matamu! Kau ini kenapa…?” teriakku di sela-sela adu pedang. “Aku baik-baik saja Aniki, aku tidak kenapa-kenapa.” Senyum tulusnya itu makin membuatku bergidik ngeri, kenapa adikku bisa berubah menjadi psikopat gila seperti ini? Apa aku kurang menyayanginya, tapi aku terus memerhatikannya dari kecil lantas apa yang kurang?
“Karasu, kau lelah dibanding-bandingkan?” tanyaku.
“Aku tak butuh dibanding-bandingkan dengan orang payah sepertimu..!” Aku terlempar menabrak tembok beton, yaampun sepertinya tulang belakangku patah. “Shu…! Karasu..hentikan..!” kudengar lirihan Ayah dari pinggir, huh, kaki Ayah sudah dibalut perban dan…kemana Saya? Aku tak melihatnya.
“Orang tua diam saja, ini harus segera diselesaikan.” Sial, harusnya aku tidak dekat-dekat dengan tembok dan sekarang aku malah tidak bisa bergerak.
            “Aniki, sepertinya tanganmu sudah capek,ya? Bagaimana kalau aku menolong untuk merenggangkannya.” Aku berteriak tertahan tepat ketika Karasu menginjak tanganku yang memegang pedang, apa aku bakal mati di tangan adik kandungku sendiri? “Ucapkan selamat tinggal, Aniki..”. Kupejamkamkan mata menunggu apa yang berikutnya terjadi, namun detik berikutnya yang kudengar adalah jeritan melengking Karasu akibat tangannya terpotong secara brutal, tak lupa darah bermuncratan kemana-mana. Karena kondisi gelap aku tak begitu menangkap apa yang terjadi di dalam adegan secepat kilat itu dan yang paling membuatku terbelalak adalah ketika kedua kaki Karasu terpotong seperti daging Ham. Kaki-kaki itu melayang lalu jatuh menimbulkan bunyi gedebuk ngeri, darah Karasu sudah berhamburan hingga aku pun juga kena.

            “Boleh kukatakan kalau Mata dibayar oleh mata, kaki di bayar oleh kaki, dan NYAWA DIBAYAR OLEH NYAWA. Jadi tolong jangan permainkan nyawa-nyawa di sekitarmu atau kau mau kehilangan seluruh anggota gerak tubuh brengsekmu itu?” Suara yang dingin, Karasu mendelik dengan tatapan nyalang ke arah oknum yang bahkan lebih sadis daripada dirinya, paras ayu menyimpan sejuta kengerian, wajah Saya dengan perban menyerong dan sepasang mata merah berpendar bak monster di balik kegelapan. Bagus, sekarang aku dikelilingi banyak monster.

“Keparaatt….aarrrghh…. kubalas kau..wanita..ja—.”

CRASSH..! Aku menatap horror kala Saya dengan entengnya memotong satu lagi tangan Karasu yang tersisa, tangan kiri Karasu—tangan adikku yang masih tersisa—kini sudah terpotong hingga meninggalkan lengannya saja. Dia meraung-raung, menggelepar-gelepar karena sudah tak bisa lagi mengayunkan pedang atau berlari mengejar kami. “Brengseeekkk..!! aku..aku akan..mengutuk kalian…! lihat saja nanti..! arrggh..!” Sekali lagi dengan tendangan super, Saya melayangkan tendangan keras ke arah dagu Karasu hingga badan cilik itu terhempas jauh dan menggelinding ke dekat tiang kayu.

            “Aku tak takut dengan ocehanmu, bocah keparat.” 

            “Saya, hentikan. Kumohon…” aku merenggut tangan penuh darah itu, kucengkram erat berharap Saya yang biasanya kembali. “Aku tidak apa-apa, maaf,ya?” Aku menggeleng cepat, ini memang sulit melihat saudara kandungmu terkapar dengan tangan dan kaki terpotong-potong tapi kalau tidak begitu mungkin kami yang terpotong.
            “Kita pergi dari sini.” Saya memapahku lalu aku menemukan sosok Ryuu sudah membopong ayahku keluar. “Ryuu…”. “Tenang, rahasiamu aman bersamaku meski aku banyak dibohongi oleh dua sejoli seharian penuh.” Sahutnya ceria, aku tersenyum penuh arti.

Ketika kami sampai di ruang keluarga tiba-tiba terdengar bunyi ledakan dari arah paviliun belakang. Shit! Karasu masih bisa meledakkan pemanas di sana, bisa gawat kalau menjalar sampai ke titik gas lain di rumah ini. Tepat dugaanku, api menjalar dengan cepat dan menyulut gas-gas juga pemanas lain di rumah, kami langsung bergegas hingga aku menemukan sosok Karasu bersama segerombolan makhluk hitam membantunya bergerak melata di sekitar dinding, dia ada.. DIA MENEMPEL DI ATAS RUANG KELUARGA!

            “Ani..kiii……ayo kita..bermain bersama…” Bulu kudukku meremang, sosok Karasu hanya dengan badan tanpa kaki dan tangan menyatu bersama para gumpalan daging hitam berlemak yang menguarkan suara-suara aneh, matanya sudah tidak pada tempatnya, yang satu bola matanya menyerong ke kanan dan yang satu ke kiri dengan mulut berbusa. “UWAAA..!” Teriakan Ryuu menyadarkanku ketika api sudah berkobar hebat, ayah dan Ryuu sudah berada di luar tapi aku dan Saya terjebak!

            “Cepat lari duluan! Aku akan menghadangnya..!” seru Saya.
            “Apa!? Yang benar saja, kau mau aku meninggalkanmu lagi! Tidak! Kalau kau tinggal aku juga!” aku tak kalah nyolot.
            “Jangan bersikap egois di saat seperti ini!” sahutnya kesal.
            “Aku masih bisa bertarung, aku masih bawa pedang!” selakku.
            “SAYA! SHUUMAA…!!”

            Tepat ketika Karasu menyongsong kami dengan pisau daging besarnya, Saya mendorongku keras sekali hingga aku terlempar keluar dari pintu geser lalu jatuh ke halaman dengan keras. Detik berikutnya, Saya menusuk Karasu tepat di tenggorokannya kemudian dia melihatku dan seolah-olah mengatakan ;
            “Aku akan menemui kembali.. aku janji..”
            Setelah adegan itu titik pemanas terakhir di ruang keluarga meledak dan api langsung membumbung tinggi hingga aku tak tahu lagi harus berkata apa. Tiba-tiba buku bersampul coklat usang terhempas dari kobaran api tapi buku tersebut tidak hangus, tepat di sampingku buku itu jatuh.

            “SAYA!!”

            Kemudian pemadam kebakaran datang dan aku langsung jatuh pingsan tak sadarkan diri selama hampir sebulan di rumah keluarga KIRISHIKI.
            Dan aku tak tahu dimana keberadaan SAYA setelahnya…


KUROKO TETSUYA
Kuil Yukibana. The Story that Nobody Know

            Suhu ruangan semakin turun, aku memutuskan untuk keluar sebentar.
            Akibat kemampuan yang dinamakan Missdirection ini aku nyaris tidak diketahui oleh siapapun, bahkan saking mereka seriusnya aku dengan santai melenggang pergi kea rah pintu geser yang langsung berpapasan dengan halaman samping kuil dan lantai Linoleum yang panjang hingga mengitari kuil mulai dari koridor sayap kiri hingga kanan. Kalian tahu kenapa aku keluar? Karena aku sadar sedari tadi aku tidak menemukan sosok Kise-kun di atas futon, kondisi yang tidak aman membuatku kuatir makanya aku ingin memastikan kemana Kise-kun pergi dengan luka seperti itu tampaknya dia tak akan jauh dari sini.

            Sebenarnya agak was-was sendiri, ingin sekali kuajak Kagami-kun atau Aomine-kun untuk mencari tapi tampaknya bakal heboh kalau aku tiba-tiba mengatakan kalau Kise-kun tidak ada di pembaringan, jadi kuputskan untuk sedikit menghilang dan mencarinya sendiri sebelum yang lain ricuh karenanya.
            “Kise-kun! Kau dimana?” sahutku sekencang mungkin tapi agak jauh dari pintu, tidak ada sahutan, sepertinya aku memang harus sedikit berkeliling di sekitar sini. Salju sudah menumpuk hampir setebal 20 cm, mungkin ketebalannya masih bisa bertambah lagi. Yaampun aku tak tahu harus bagaimana, semua perasaan duka dan sakit masih menggerogoti hatiku, terutama mendengar cerita Saya-san yang pilu tentang masa lalu dan kunci dari kejadian ini. Meski harus bersadar karena ceritanya bakal panjang.

“Meow…meow..”. Aku terhenyak ketika seekor kucing berwajah(agak)aneh menyapaku dari balik semak-semak.
“Itu… Saya?” Ah, yang kumaksud bukan ibu Kinako-chan ya? Memang keliatan tidak sopan kedengarannya tapi kucing berlonceng emas dengan sepasang mata almond malas itu memang bernama Saya, katanya kedua anak kembar itu yang menamai kucing dengan wajah unik di depanku saat ini.

            “Saya, hei mau kemana?” Aku langsung mengejar kucing hitam berekor panjang yang kembali masuk ke rimbunan semak, aku susah payah menerobos lebatnya semak sampai menemukan tanah lapang penuh bunga yang disusun rapi, Bunga Daffodil putih kesukaan Kohane dan Kinako. 

“KISE-KUN!” Syukurlah aku menemukan Kise-kun yang terkapar di lebatnya bunga-bunga harum ini. Tampaknya dia hanya pingsan akibat obat, dan sebagian mungkin karena kondisinya masih sangat lemah. “Syukurlah dia tidak apa-apa.” Batinku memerhatikan wajah Kise-kun yang letih dengan mata terpejam, sepertinya dia habis menangis? Apalagi kulitnya yang putih sekarang malah berubah menjadi pucat dan dingin. Aku harus segera membawa Kise-kun kembali sebelum udara malah makin membuat kondisinya memburuk. Tapi… aku tak kuat membawanya sendiri, apa aku harus mengirim pesan ke Aomine-kun(Kalau aku mengirim ke Kagami-kun dia bisa ribut)? Sepertinya itu pilihan terbaik. Kubuka ponsel flip milikku lalu mengetikkan nama Aomine-kun di sana.

            SREK…!
            Aku terkesiap dan spontan berhenti mengetik setelah aku mendengar suara langkah kaki, dia tak jauh dariku dan tampaknya agak mencurigkan. Kupererat dekapan pada kepala Kise-kun yang lunglai di pahaku, dengan segenap keberanian kutatap orang bertudung putih dengan gerakan yang aneh. Tangan dan kakinya tampak seperti alat bantu gerak, ya, alat yang ditransplanttasi untuk membantu para penyandang cacat yang tak punya kaki atau tangan atau bahkan keduanya. 

            “…..Se…”
            Aku mendengar suara dari mulutnya yang berkomat-kamit tidak jelas. “Kise..Ryouta…?” Huh? Apa yang dikatakannya?.
            “Apa..kau…tahu..Kise Ryouta…?” orang aneh berusia sekitar mungkin tiga puluhan atau yah sekitar itu mendumelkan perkataan terbata-bata bak robot, suaranya bergetar dan tidak lancar membuatku sedikit gentar. “Apa..kau..tahu..Kise..Ryouta…?” sekali lagi, kenapa harus Kise-kun?

“Kau siapa?” tanyaku kemudian.
“…..” dia hanya diam.
“Anda siapa…?” sedikit kuformalkan pertanyaanku untuk berjaga-jaga.

            Tanpa menjawabku dia membuka tudung putihnya, tangannya memang tangan palsu yang tampak masih belum 100% jadi tapi cukup membuktikan kalau dia memang tidak punya tangan maupun kaki. Kenapa bisa begitu? Kenapa orang ini tidak punya sepasang tangan dan kaki? Apalagi bekas potongannya bukan seperti habis diamputasi, tidak rapi. Dia bukan penyandang cacat, dia pasti dulunya orang normal. Kutelan ludah beberapa kali, sepertinya dia berbahaya.

            “Anda…kenal Kise-kun?” kembali kulayangkan pertanyaan. Tapi yang kudapat adalah sosok mengejutkan dan hampir membuatku berteriak, wajah yang nyaris mirip dengan Kise-kun hanya saja rambutnya lebih pendek dan agak acak-acakan, lalu ada bekas luka di tengah lehernya, bekas seperti jahitan. Kemudian… auranya..aura yang mengerikan…! Aku tak kuat, entah darimana menguar bau busuk dari badannya itu meski parasnya biasa saja atau bisa kubilang sangat tampan di umurnya sekarang. 

            “Kau tahu…Kise…?” suaranya sedikit parau, pita suaranya mungkin rusak akibat sesuatu.
            “Anda…kenal?” Tanyaku kembali masih dengan banjir keringat di belakang leher juga di seluruh pelipisku, aduh, hawa di sini dingin tapi kenapa bagiku terasa begitu panas? Orang ini …siapa!?
            “Tidak …kenal….” Eh? Apa maksudnya.

            “Na..maku… KA..RA..SU.., APA..KAU..TAHU..KISE.. RYOUTA…?”
.....
............
.....
..............

PENGALAMAN MAGANG DI CCA

Selamat datang, 'selamat menikmati postingan ini buat kalian yang sedang membacanya, ya kalian, siapa lagi? sudah lama blog ini diting...