FFN. CODE 4. 黒子のバスケ
FESTIVAL
KEMATIAN
—SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
“You must prove yourself to show that you are ‘here’.
—SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
“You must prove yourself to show that you are ‘here’.
DISCLAIMER
: TADATOSHI FUJIMAKI
FESTIVAL
8 : YOIGOSHI(宵越し)
BEYOND MIDNIGHT
BEYOND MIDNIGHT
“Kematian itu selalu
singkat dan selalu meninggalkan kesedihan, ketakutan, dan paranoid. Padahal
kita juga akan mengalami hal yang sama. KEMATIAN”
星坂心減
(Hosaka Shingen)
星坂心減
(Hosaka Shingen)
HOSAKA
SHINGEN
18.00 p.m
18.00 p.m
Sebenarnya
aku tidak mau memunculkan diri di sini.
Aku jadi bulan-bulanan makhluk keparat yang nyatanya adalah paman Kinako. Si Karasu yang tak pantas menyandang nama Yukihira, mengotori nama keluarga, dan dia berhasil lolos saat pedangku nyaris membelah kepalanya seperti Melon.
“Aku terkejut. Kau musuh atau teman?” si rambut biru langit itu menatapku waspada, ah, ya aku ingat pria berambut biru ini adalah teman Kinako. Siapa namanya, oh, Kuroko. Wajahnya yang penuh lumpur dan pucat itu tetap bergeming. Aku menghela napas dan menyodorkannya sapu tangan.
Aku jadi bulan-bulanan makhluk keparat yang nyatanya adalah paman Kinako. Si Karasu yang tak pantas menyandang nama Yukihira, mengotori nama keluarga, dan dia berhasil lolos saat pedangku nyaris membelah kepalanya seperti Melon.
“Aku terkejut. Kau musuh atau teman?” si rambut biru langit itu menatapku waspada, ah, ya aku ingat pria berambut biru ini adalah teman Kinako. Siapa namanya, oh, Kuroko. Wajahnya yang penuh lumpur dan pucat itu tetap bergeming. Aku menghela napas dan menyodorkannya sapu tangan.
“Sebelum aku bercerita lebih baik kau bersihkan wajahmu dulu.”
“Sumimasen..”. aku mengawasi keadaan sekitar, untunglah kami sempat kabur dengan susah payah dan sekarang kami sudah berada di kediaman Uzumaki-san. Wanita berambut ungu itu sibuk kesana-kemari menyiapkan air hangat dan obat-obatan.
“Hosaka-kun?” kali ini aku terperanjat, kulihat
manik magenta yang nampak sangar
dimataku. Hiii... aku tahu seharusnya aku tak berurusan dengannya. Tapi wanita
itu malah bersimpuh di depanku, menatapku lekat-lekat lalu tiba-tiba menunduk.
“Maaf sudah merepotkan Ryuu selama ini. Apa dia baik-baik saja?”
“Anda kenal ayahku?” oke kali ini aku terkejut—sangat.
“Aku
berteman baik dengan ayahmu semenjak SMA, dan dia juga mengenal ayah Kinako. Kau
pasti bertemu dengan anak itu,kan?” Shoot.
Wanita ini memang hebat. Sepertinya Oyaji
belum sempat memberitahuku kalau ibunya Kinako itu adalah sahabat lamanya. Dasar,
sudah berumur sih jadi begitu. Dan lagi dia tahu aku sempat tinggal bersama
Kinako, oh oke, aku lupa kalau si kecil menyebalkan itu sekarang pasti marah
padaku.
“Untung Shingen-san datang dengan Kuroko, kita sempat lari sebelum kita semua meledak di kuil itu dan menjadi steik barbeque.” Komentar Kagami, dialah yang membantuku meng-evakuasi seluruh umat manusia di kuil yang sekarang sudah hancur setengah. Bisa-bisanya si Karasu menempelkan peledak di tempat yang tak kami ketahui.
“Kuroko, kau tidak apa-apa?” kini aku beralih pada si biru itu.
“Aku tidak apa-apa, Kise-kun bagaimana? Apa dia tidak apa-apa?”
“Jangan cemas-nanodayo. Dia hanya menderita luka sabetan saja. Tidak dalam.” Ah ya, si Midorima ini juga. Aaargh, Kinako, kenapa kau melibatkan aku di tempat seperti ini? Eh sebenarnya aku sendiri yang mau tapi bukan begini caranya. Aku ini Cuma pemain figuran. Sekarang aku malah terlihat seperti hero dalam adegan action.
“Untung Shingen-san datang dengan Kuroko, kita sempat lari sebelum kita semua meledak di kuil itu dan menjadi steik barbeque.” Komentar Kagami, dialah yang membantuku meng-evakuasi seluruh umat manusia di kuil yang sekarang sudah hancur setengah. Bisa-bisanya si Karasu menempelkan peledak di tempat yang tak kami ketahui.
“Kuroko, kau tidak apa-apa?” kini aku beralih pada si biru itu.
“Aku tidak apa-apa, Kise-kun bagaimana? Apa dia tidak apa-apa?”
“Jangan cemas-nanodayo. Dia hanya menderita luka sabetan saja. Tidak dalam.” Ah ya, si Midorima ini juga. Aaargh, Kinako, kenapa kau melibatkan aku di tempat seperti ini? Eh sebenarnya aku sendiri yang mau tapi bukan begini caranya. Aku ini Cuma pemain figuran. Sekarang aku malah terlihat seperti hero dalam adegan action.
“Shingen-san. Kinako mana?” Ugh. Aku menengok dan menemukan seorang dengan surai kelabu nan kuyu . Ada perban disana-sini dan tampak sekali kondisinya tidak baik-baik saja.
“Kami berpisah ketika perjalanan menuju kuil. Anak itu bersikeras tak mau bertemu kalian jadi kami sempat bertengkar, tapi aku meninggalkannya karena si kuning itu dalam masalah. Saat aku kembali dia sudah tidak ada di tempat. Maaf.” Iya benar, aku memang bodoh dan tolol. Kenapa di saat seperti itu aku malah bertengkar dengannya. Padahal aku bukan ingin berpihak pada siapapun, aku mau dia menyadari kalau tindakannya tidak akan bisa membuat perubahan apapun. Sayangnya emosi anak itu masih terlalu labil hingga kami saling ngotot dan..fuala, kami terpisah sekarang.
“Serangan
Karasu benar-benar mengerikan.” Komentar Saya-san.
“Sesuai yang dikatakan oleh Akashi, festival itu diadakan hari Rabu. Tepat di Kuil SEIRIN, benar,kan Saya-san?” Pemuda tampan dengan sebelah mata tertutup rambut itu berucap, semua mengangguk sementara aku hanya bisa menjadi penonton. Aku tak tahu apa yang terjadi pada mereka, aku baru saja tiba di sini. Saya-san mengangguk. “Bersamaan dengan bulan purnama.”
“Menurutku Kinako pasti ke sana.” Sahutku. Ya, aku akan mengejar anak itu karena dia memang patut diberi pelajaran khusus tentang kepercayaan. Seberapa besar sih kepercayaannya itu pada teman-temannya. Aku heran.
“Tapi kita tidak boleh datang beramai-ramai. Aku rasa cukup beberapa orang saja.” Si rambut merah yang dipanggil Akashi itu berkomentar.
“Aku ikut.” Kagami menyerobot, dia bersama Kuroko memandang semuanya dengan mantap. Perasaan mereka benar-benar kuat, mereka ingin membawa kembali Kinako dan tidak akan melepaskan anak itu. “Aku juga.” Kini Aomine, Midorima, serta Murasakibara—yang badannya lebih bongsor dariku—angkat bicara.
“Kalau begitu aku juga.” Terakhir aku sembari mengangkat tangan, Pak Kepala Kuil menjelaskan kalau festival tersebut sangat tertutup. Memang sih, seperti festival biasa tapi kita harus senantiasa berhati-hati. Karena di sana bukan hanya manusia saja yang datang. Terlebih kami harus putar otak untuk menyelinap dan menyelamatkan anak-anak yang ditahan oleh Karasu(termasuk adiknya Uzumaki-san.)
“Kise, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa si bodoh itu tahu-tahu kerasukan pedang yang... ahh kenapa malah dia yang jadi SAIKA? Bukankah harusnya Kinako?” si kulit gelap yang bernama Aomine(eh benar nggak?) mendecak kesal, Midorima memandanganya sesaat lalu dia bicara begini, “Ada kemungkinan kalau pedang itu memang berpindah. Sekarang jelas sekali kalau Saika yang sesungguhnya adalah Kise bukan Kinako. Mungkin itu kehendak pedang tersebut makanya...”
“Bukan.” Saya-san memotong tegas.
“Sesuai yang dikatakan oleh Akashi, festival itu diadakan hari Rabu. Tepat di Kuil SEIRIN, benar,kan Saya-san?” Pemuda tampan dengan sebelah mata tertutup rambut itu berucap, semua mengangguk sementara aku hanya bisa menjadi penonton. Aku tak tahu apa yang terjadi pada mereka, aku baru saja tiba di sini. Saya-san mengangguk. “Bersamaan dengan bulan purnama.”
“Menurutku Kinako pasti ke sana.” Sahutku. Ya, aku akan mengejar anak itu karena dia memang patut diberi pelajaran khusus tentang kepercayaan. Seberapa besar sih kepercayaannya itu pada teman-temannya. Aku heran.
“Tapi kita tidak boleh datang beramai-ramai. Aku rasa cukup beberapa orang saja.” Si rambut merah yang dipanggil Akashi itu berkomentar.
“Aku ikut.” Kagami menyerobot, dia bersama Kuroko memandang semuanya dengan mantap. Perasaan mereka benar-benar kuat, mereka ingin membawa kembali Kinako dan tidak akan melepaskan anak itu. “Aku juga.” Kini Aomine, Midorima, serta Murasakibara—yang badannya lebih bongsor dariku—angkat bicara.
“Kalau begitu aku juga.” Terakhir aku sembari mengangkat tangan, Pak Kepala Kuil menjelaskan kalau festival tersebut sangat tertutup. Memang sih, seperti festival biasa tapi kita harus senantiasa berhati-hati. Karena di sana bukan hanya manusia saja yang datang. Terlebih kami harus putar otak untuk menyelinap dan menyelamatkan anak-anak yang ditahan oleh Karasu(termasuk adiknya Uzumaki-san.)
“Kise, sebenarnya apa yang terjadi? Kenapa si bodoh itu tahu-tahu kerasukan pedang yang... ahh kenapa malah dia yang jadi SAIKA? Bukankah harusnya Kinako?” si kulit gelap yang bernama Aomine(eh benar nggak?) mendecak kesal, Midorima memandanganya sesaat lalu dia bicara begini, “Ada kemungkinan kalau pedang itu memang berpindah. Sekarang jelas sekali kalau Saika yang sesungguhnya adalah Kise bukan Kinako. Mungkin itu kehendak pedang tersebut makanya...”
“Bukan.” Saya-san memotong tegas.
“Maksudnya?”
tanyaku tak mengerti.
“Pedang Saika adalah siluman yang ingin mencintai manusia. Sejak awal Kinako adalah Saika. Namun sepertinya dia menyuruh Saika dalam dirinya pindah ke tubuh Kise.” Aku ternganga mendengarnya, bukankah pedang itu memilih sendiri siapa pemiliknya? Untuk kalian yang belum tahu, Saika memiliki perasaan besar pada manusia. Mereka mencintai dengan ‘cara’ yang agak berbeda, tentu saja dengan memotong, maka itu adalah bentuk cinta dari Saika. Aku sempat mendengar cerita tentang Kinako, waktu kecil karena kematian Paman Shuuma dia juga tak sengaja bertemu dengan pedang itu.
Aku tidak tahu bagaimana detailnya, namun menurut cerita ayahku, Saya-san tidak ditemukan dimanapun di TKP. Hanya ada Kinako dan Kohane yang masih kecil, jadi, secara logis tidak mungkin seorang balita mampu melawan psikopat macam Karasu dengan tangan kosong. Kinako pernah melukai Karasu-san dengan SAIKA miliknya. Itulah kesimpulanku.
“Aku ingat, waktu aku menyelinap untuk mencari Kise-kun dia sudah tergeletak di padang bunga Daffodil. Aku tidak tahu tapi menurut firasatku di saat itu dia pasti bertemu Kinako dan.. Kinako meminta pedang itu pindah ke tubuh Kise-kun. ” Ujar Kuroko, semua melotot ke arahnya, tentu kaget bukan main.
“Teme, kenapa kau tidak bilang dari tadi!?” bentak Kagami.
“Waktu itu aku tidak tahu akan bertemu Karasu-san. Apalagi kata Saya-san dan Midorima-kun, kekuatan Kinako sudah hilang.” Jawab Kuroko datar.
“Memang, tapi bukan berarti pedang itu juga ikut lenyap,kan?” tanya Murasakibara.
“Aku
pernah sekali bertemu dengan Saika. Orang itu adalah rekan kantorku, tapi dia
hanya duplikat, anak dari Saika. Anak Saika tidak memiliki pengalaman bertarung
seperti leluhurnya.” Oke, penjelasan Saya-san
cukup membuat sebuah kesimpulan besar. Kini aku yakin Kise adalah target utama,
ini artinya Kinako tak akan diincar lagi oleh Karasu-san. Tunggu. Apa ini hanya menurutku saja...eh!? tolong jangan
katakan kalau aku benar.
“Kinako sudah membaca ini sejak lama.” Jack pot! Akashi benar.
“Apa maksudmu Akashi?” tanya Midorima.
“Kemungkinan Kinako sudah mengetahui kemana masa depan berakhir.
Sedikit-banyak, kemampuan spiritual anak itu cukup tinggi karena dia mampu
memprediksi masa depan. Istilahnya seperti sixth
sense, terlebih dia pernah mengaku berada di NDE,kan?” jelas Akashi. “NDE?”
Aomine melongo, bahasa Inggrisnya mungkin tidak secemerlang yang kukira karena
dia mahir bermain basket.
“Near Death Experience, pengalaman nyaris
mati atau berada di antara batas hidup dan mati. Mata kirinya terluka, tangan
kirinya tidak ada, kejadian ketika dia ditabrak oleh kereta Shinkasen itu benar-benar nyaris
membuatnya meregang nyawa.” Aku bicara seolah-olah itu biasa, tapi aku hanya
ingin blak-blakan, Kinako hampir saja tewas ketika peristiwa itu. Berterima
kasih pada Saika yang masih memberinya sumber hidup. Aku tak tahu bagaimana
nasibnya kelak kalau Saika tak ada di dalam tubuhnya. Inti dari segala inti
adalah, Kinako menderita, menderita karena jalan hidupnya juga bagaimana dia
menaruh posisinya sekarang.
“Saya-san...”
“Saya-san...”
bisa kulihat Saya-san memasang wajah ‘biasa-biasa’ saja,
wanita ini memang tidak bisa bersikap ‘normal’ sebagaimana seharusnya seorang
ibu-ibu. Ibuku meski berada di lingkungan yang keras tata kramanya tetap saja
hobi bergosip, bahkan ayahku pun ikut-ikutan senang menggosipi orang—sampai aku
heran bagaimana mungkin aku dibesarkan olehnya selama ini—yah aku tak bisa
menyamakan, kalau aku yang ada di posisi Kinako mungkin aku bakal mengira ibuku
tak akan pernah sayang lagi padaku. Itu menyedihkan sungguh. Intinya aku
sedikit banyak mengerti perasaan Saya-san.
“Untuk sementara kita menginap di sini. Kiseki no sedai dan Kagami, aku ingin kalian yang menjalankan misi ini. Kecuali Kise. Chihiro-kun juga tetaplah di sini, aku ingin Himuro-kun menjaga mereka berdua, kalau sampai ada apa-apa hubungi kami segera. Pak Zen juga.” Komando Saya-san.
“Baiklah, seperti biasa ya.” Ucap Kakek Zen maklum. Setelah perbincangan dan adu agrumen selama hampir satu setengah jam, malam pun menjemput di tengah salju yang masih turun perlahan. Suasana hening dan suara jangkrik malam gaduh bernyanyi. Hmm.. kenapa aku tidak bisa tidur? Padahal mereka tidur dengan lelap. Apa karena aku memang terlahir sebagai makhluk nocturnal*(spesies yang hidup pada malam hari.*)
“Tidak bisa tidur?”
“Huaa...! Ki.. Kise? O, oh.. kau rupanya. Ah maaf sepertinya hawa dingin dan suasana tidak menyenangkan menyita rasa kantukku.” Cowok berbadan tegap dengan rambut blonde itu tersenyum lalu duduk di sebelahku. Kami memandangi salju yang turun perlahan dari atas lantai linoleum, di depan kami terhampar suasana rumah tradisional dengan bebatuan di pojok kiri dan kolam Ikan Koi. Kuperhatikan anak ini, beberapa perban menyembul dari celah lengan baju dan celana panjang putihnya, satu plester di pelipis, perban tebal membebat sekeliling kepala, lalu samar kulihat luka jahit di bagian perut dan telapak tangan. Astaga pertempuran macam apa yang dia hadapi hampir enam bulan ini?
“...Ano..
Hosaka...kun.. kau..katanya pernah
bertemu dengan Kinakocchi?”
Uh-oh.
“Ng.. ya, kami sempat tinggal seatap. Tapi bukan apa-apa lho, aku hanya menjalankan misi dan kau tahu, dia teman masa kecilku juga. Setelah kematian Kohane terdengar sampai ke telingaku, keluarga Hosaka juga tak mau tinggal diam.”
“Bagaimana kabarnya?” ah, nada suara itu, terbesit kecemburuan samar di dalamnya. Hoo... begitu ya. Rival cinta yang ayah maksud selama ini baru kurasakan.
Uh-oh.
“Ng.. ya, kami sempat tinggal seatap. Tapi bukan apa-apa lho, aku hanya menjalankan misi dan kau tahu, dia teman masa kecilku juga. Setelah kematian Kohane terdengar sampai ke telingaku, keluarga Hosaka juga tak mau tinggal diam.”
“Bagaimana kabarnya?” ah, nada suara itu, terbesit kecemburuan samar di dalamnya. Hoo... begitu ya. Rival cinta yang ayah maksud selama ini baru kurasakan.
“Dia
bisa dikatakan baik-baik saja. Meski kondisinya tidak 100% baik-baik saja.”
Kami terdiam sesaat. Kesiur angin menerpa rambutku yang kubiarkan terurai.
“Sebenarnya
aku tahu kau pasti tak rela dia pergi kemanapun,kan?” lanjutku, “Kinako anak
yang keras kepala. Dia tak akan berhenti kalau tidak dia sendiri yang mau,
itulah mengapa dia tak ingin melibatkanmu dalam urusan serius yang membawa nama
keluarga Hokutou Shichi Sei. Namun di
sisi lain dia anak yang rapuh dan lemah, sifat kerasnya menutupi itu seperti
cangkang telur yang isinya lembek. Kau orang yang berhasil melihat sisi lunak
anak itu dan artinya separuh cangkang itu terbuka untukmu.” Kise melihatku
dengan tatapan sayu, tapi aku terlanjur kesal, kenapa sih dia bersikap ragu
seperti ini.
“Haah, kenapa wajahmu itu!? Kau ini dari awal tidak bisa tegas bahkan keraguanmu itu menghambat keinginanmu sendiri.” Dengan nada sedikit mengejek terbesit satu hal di kepalaku. Seringaiku muncul dan sebelum aku berdiri kutepuk pundaknya, menarik wajah konyolnya yang menatapku tidak percaya.
“Kalau kau tidak bisa tegas pada dirimu dan mengambil keputusan, jangan salahkan kalau KINAKO MENJADI MILIKU.”
Aku
langsung pergi meninggalkannya, hahaha, yaampun bagaimana mungkin aku merebut
hati anak kepala batu itu? Bahkan dia sama sekali tidak pernah berpaling padaku
meski aku mengenalnya sejak kecil. Dia selalu dan selalu sendirian, aku, meski
seorang yang terdekat dengannya(salah satu) bahkan tak mampu menyentuh sisi
yang bisa di sentuh oleh cowok pirang itu.
“Ahh..
sial. Kenapa aku jadi kesal? Kalau begini kan aku jadi tidak bisa merelakannya
begitu saja.”
Malam
itu kuhahbiskan dengan ketidaktenangan yang menyebalkan.
KISE RYOUTA
21.00 p.m
21.00 p.m
Ketika aku sadar aku sudah
dikerubungi banyak orang, entah itu wajah Kurokocchi yang kuatir setengah mati atau wajah baru yang belum kukenal,
“Namaku Hosaka Shingen. Aku dari keluarga Hosaka, salah satu Hokutou Shichi Sei. Aku teman kecil Kinako.” Mataku seperti dicolok ketika pemuda berambut oranye panjang yang dikepang itu memerkenalkan diri dengan membawa nama Kinako. Ngomong-ngomong, aku seharusnya berhadapan dengan Karasu Yukihira bukan? Aku terluka parah dan... ahh sial aku tidak mengingatnya. Aku malah mengingat perkataan Kinakocchi, aku memang tolol. Kenapa aku tidak dari dulu saja mengungkapkan perasaanku padanya. Kini aku tidak tahu dimana dia.
“Namaku Hosaka Shingen. Aku dari keluarga Hosaka, salah satu Hokutou Shichi Sei. Aku teman kecil Kinako.” Mataku seperti dicolok ketika pemuda berambut oranye panjang yang dikepang itu memerkenalkan diri dengan membawa nama Kinako. Ngomong-ngomong, aku seharusnya berhadapan dengan Karasu Yukihira bukan? Aku terluka parah dan... ahh sial aku tidak mengingatnya. Aku malah mengingat perkataan Kinakocchi, aku memang tolol. Kenapa aku tidak dari dulu saja mengungkapkan perasaanku padanya. Kini aku tidak tahu dimana dia.
““Kalau kau tidak bisa tegas pada dirimu dan mengambil keputusan, jangan salahkan kalau KINAKO MENJADI MILIKU.” Oke, itu terdengar menyebalkan. Nyaris emosiku naik hingga ke ubun-ubun. Benarkah Shingen menyukai Kinakocchi juga? Lalu bagaimana kalau Kinakocchi lebih memilih Shingen yang notabenenya adalah teman masa kecil Kinakocchi? Sial! Sial, aku harus apa sekarang?
“Jangan ragu. Kalau kau ragu, kau akan terus jatuh.”
“Saya...-san...” wanita itu menenteng sebuah botol arak dan tetap dengan gelagatnya yang santai namun berbahaya. Rambutnya yang tergerai hingga sepunggung itu tersapu ketika angin kembali berhembus.
“Aku... harus apa? Aku tidak berani melihat masa depanku sendiri. Aku takut kehilangan.. tapi... aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa aku memang kehilangan... semua ini semakin menjadi rumit. Karena anak itu.” Jawabku frustasi.
“Kuyakin kalau kusuruh kau tinggal di sini pasti kau akan mengamuk, sebenarnya, aku ingin berkata kalau kekuatan Saika ada padamu.”
EH? “Saika sekarang tidur di tubuhmu, pedang roh yang mencintai
manusia dengan tebasan. Kinako memindahkan Saika ke dalam dirimu, sekarang kau
bebas memergunakannya.” Jelas Saya-san.
“Aku tidak mengerti.” Tiba-tiba saat aku tengah tercengang, Saya-san mengayukan pedangnya lalu spontan aku menghalau dengan tanganku. Kupejamkan mata lama tapi tidak terasa sakit, padahal aku tahu pedang Saya-san tadi menghunus tepat ke arah lengan yang kubuat untuk melindungiku. Tidak sakit?
“Aku tidak mengerti.” Tiba-tiba saat aku tengah tercengang, Saya-san mengayukan pedangnya lalu spontan aku menghalau dengan tanganku. Kupejamkan mata lama tapi tidak terasa sakit, padahal aku tahu pedang Saya-san tadi menghunus tepat ke arah lengan yang kubuat untuk melindungiku. Tidak sakit?
“Lihat.” Aku tercengang sekali lagi, mata pedang keluar seperti ilusi di lenganku, dia seperti menembus dengan lembut dari permukaan kulit kemudian kembali lagi. Inikah, Saika?
“Aku tidak bisa mencintaimu, tapi tidak membencimu...” DEG!
“Itu kata-kata Saika padamu. Beruntunglah anak itu menyukaimu. Bersiaplah besok, kita ada misi penting. Aku yakin, dengan kekuatanmu kau bisa membawanya kembali. Bukankah kau menyukainya?” kata-kata Saya-san menguatkan hatiku, setidaknya sekarang aku bisa bertarung, aku bisa melawan dan bisa.. melindunginya. Aku beranjak ke dalam dan memastikan kalau esok pagi aku tidak akan membawa semua keraguan itu.
Tidak akan sama sekali.
“Kise.” Suara berat itu menghentikan langkahku. “Aku
tahu kau pasti disitu, Aominecchi.”
“Kau, apa yang sebenarnya kau rencanakan dari dulu?”
“Rencana? Apa maksudmu?” tanyaku tanpa menoleh.
“Kau berniat melakukan hal gila, kita menghadapi apa yang belum bisa dihadapi oleh manusia biasa.” Aku terkekeh, Aominecchi berbelit-belit.
“Kau, apa yang sebenarnya kau rencanakan dari dulu?”
“Rencana? Apa maksudmu?” tanyaku tanpa menoleh.
“Kau berniat melakukan hal gila, kita menghadapi apa yang belum bisa dihadapi oleh manusia biasa.” Aku terkekeh, Aominecchi berbelit-belit.
“Aku sudah janji. Aku akan membawa Kinakocchi kembali. Dan tak ada yang akan membuatku ragu lagi. Meski aku juga ikut menjadi monster” Sepasang mata biru navy di depanku menatap pasrah, kemudian Aominecchi berbalik dan meninggalkanku di lorong sendirian.
“Aku janji, aku akan mengabulkan keinginannya.
Keinginamu yang sesungguhnya... keinginan Kinakocchi dan Kohanecchi
selama ini... “
Di malam sebelum pertempuran, aku menyadari apa yang
harusnya kulakukan untukku dan untuk anak itu.
....
......