FFN. CODE 4. 黒子のバスケ
FESTIVAL
KEMATIAN
—SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
“One sword can destroy a million death, but death can
killed a billion sword.”
DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI
FESTIVAL 7 : MEAKASHI
(目明し)
“EYE OPENING”
“Aku
tak mengerti, mengapa harus bertarung? Mengapa orang-orang, mengapa teman-teman
kami harus mengalami hal seperti ini? Kalau aku punya kekuatan... aku
ingin..menyelamatkan mereka...”
黒子テツヤ
(Kuroko Tetsuya)
KUROKO TETSUYA
Halaman Kuil Yukibana –The Story That
Nobody Know—
Tampaknya aku dalam bahaya besar.
Maksudku,
kami memang dalam
bahaya besar. Orang ini, meski tadi aku baru mendengar setengah cerita Saya-san jelas sekali orang ini adalah orang
yang.. ‘membunuh’ Ayah Kinako dan
Kohane. Entah kenapa aku bisa mengasumsikan begitu tapi setelah menyimpulkan
segala sesuatu hingga sekarang jelas saja yang bisa kusebut sebagai tersangka
utama adalah Karasu Yukihira. Paman
Kinako-chan. Kematian demi kematian,
apakah..apakah mungkin orang ini juga yang mendorong Kohane-chan? Tidak! Tidak, Tetsuya... jangan
pikirkan hal-hal mengerikan seperti itu. Tapi kenapa, kenapa perasaanku
mengatakan kalau orang inilah yang...
“Kau...siapa?”
DEG! Aku baru menyadari betapa seram
sepasang mata ruby ini.
“Saya
Kuroko Tetsuya, yoroshiku.” Dia tetap
bergeming, mantel putih kotornya terbang berayun terbawa angin perlahan.
“Siapa..anak
ini...?” Oh tidak! Aku mempererat
cengkramanku, sebenarnya aku membawa pisau lipat untuk membuka kaleng sarden
tadi hanya saja karena aku malah mencari Kise-kun pisau ini terbawa. Satu hal lagi, dia mengetahui keberadaanku. Kemampuan Missdirection adalah kemampuan yang biasanya hanya dimiliki
orang-orang berbayang tipis, kehadirannya tak pernah disadari secepat orang
lain, sama seperti Kinako yang kasat mata aku juga begitu tapi ada beberapa
orang yang mampu mendeteksi kami. Mendeteksi keberadaan yang hawanya setipis
embun yang menandakan kalau orang-orang seperti itu memiliki kemampuan lebih. Salah satunya orang ini.
“Dia temanku.” Aku sangat tenang,
hebat sekali aku ini menantang monster neraka yang tiba-tiba saja datang di
hadapanku.
“Siapa
teman...teman..kamu..punya teman...?”
“Lantas
mengapa anda mencari Kise Ryouta-kun?”
tanyaku tegas. Dia diam, kemudian dia mundur ke belakang beberapa langkah lalu
tiba-tiba.
“AHAHAHAHA.....!!
Akting yang baguuss... baguss..aku sukaa... kau benar-benar...ACE...KUROKO TETSUYA dari SMA
SEIRIN...!! Aku beruntung...bertemu denganmu...dan dia....!” Jantungku seperti
terbang ke alam lain, dia tahu aku! Dia hanya pura-pura dan dia tahu kalau yang
ada bersamaku adalah Kise-kun! Terpaksa
kuambil pisau lipat itu tanpa ragu, aku mengacungkannya dengan napas memburu. Sementara
dia memerhatikanku dengan mimik wajah aneh aku hanya bisa menggertaknya,
memastikan dia tidak mengambil tindakan untuk mendekat padaku dan merenggut
Kise-kun dariku.
“Kenapa? Kau mau menusukku dengan
pisau sekecil itu?” sindirnya.
“Kuharap
pisau kecil ini mampu mengirim anda pergi sejauh mungkin, atau mungkin tidak
perlu kembali ke sini lagi. Karasu
Yukihira-ji san*(paman).” Sahutku
dingin.
“Darimana
kau tahu..namaku?” Hmm, dia ternyata memiliki kekurangan juga.
“Tak
perlu tahu, apa anda juga sudah mengunjungi keponakan anda?” Kupegang kendali
lalu dengan desakan-desakan halus nan berat aku berhasil menggertaknya.
“Keponakan
katamu? Aku tak memiliki hal lucu seperti itu.”
“Termasuk
mendorong jatuh salah satu keponakan lucu itu dari lantai tujuh apartemen
keluarga Mayuzumi-san? Kau ceroboh,
seharusnya kau melakukan lebih baik lagi.” Dia panik, gelagatnya mirip seperti
orang yang terkena Bipolar syndrome,
dia bisa sangat bersahabat tapi bisa berubah sangat menakutkan jika panik,
marah, atau terkena sesuatu yang menurutnya sulit diatasi. Kemungkinan besar
trauma mentalnya memicu sindrom itu.
“Mundurlah, aku tak mau mencelakai
orang tua. Setidaknya aku tidak mau mengirim anda secara tidak terhormat ke
dalam penjara.” DRUAAAKK!. Sepersedetik
aku baru menyelesaikan perkataanku, pohon yang berada di balik punggung pria
ini tumbang tanpa ampun, bahkan aku tak melihat kapan dia mengayunkan
senjatanya. Pohon naas itu terbelah-belah bagai ikan sarden lalu terkapar di
tanah. Bagus, aku membuat orang dengan bipolar
syndrome menjadi sangat tidak bersahabat.
“Kau tadi bicara apa...hah!? aku... aku tidak akan pernah kalah, misiku belum
selesai dan...dan misi akhirku adalah membunuh anak ini dan....menyeret seluruh
keluarga keparat itu ke dalam api...” Tak perlu kukatakan siapa yang
dimaksudkannya.
“Menjauhlah dari Kise-kun!” Terlambat sekali aku langsung melayang jauh
ketika orang itu memberi
tendangannya yang mampir tepat di wajahku.
“Kise-kun!!” Gawat! Ponselku remuk, layarnya sudah retak hampir
membelahnya menjadi dua, bagaimana aku bisa memberitahu orang-orang? Bagaimana
aku bisa menolong Kise-kun yang
terkapar di tengah padang Daffodil
ini. Sial, sepertinya
salah satu tulang rusukku juga patah akibat benturan ke tanah. Tanpa dikomandoi
dia mendekat pada Kise-kun yang
terkapar lalu perlahan namun pasti dia membuka sarung pedangnya itu kemudian
melemparkannya jauh-jauh. Kilapan dari mata pedang mengerikan tersebut
menari-nari, memberikan segala sesuatu sugesti mengerikan yang ada. Kumohon,
jangan ambil lagi Kise-kun seperti
kejadian di Kaijou enam bulan lalu, aku mau melakukan apapun untuk melawan.
“Hmm,
sepertinya dia sudah tidak berdaya.”
“MENJAUHLAH!!”
Oke, aku berhasil mengenai kepalanya dengan sebuah batu yang kulempar ala ignited pass(berharap batu itu melubangi
kepalanya), tapi kurasa kepala orang ini jauh lebih keras dari batu itu, karena
sekarang kepalanya hanya mengucurkan darah di bagian pelipisnya meski aku yakin
pelipisnya itu pasti sedikit retak dan memberi cekungan yang dalam. Bagus,
gerakannya berhenti! “Kau…., bernyali juga…. Aku..dengar.. kekuatanmuu..hanya
sebatas passing…., ternyata
kau..lebih ngotot..dari yang kukira..” untuk selanjutnya aku tak lagi mendengar
perkataanya karena aku sudah dihempaskan (lagi) dengan beringas olehnya.
Benar,sih aku hanya bisa pass dan
kekuatan fisikku nol besar tapi setidaknya, kadang nol bukan berarti tak
memiliki isi. Kesimpulannya, aku masih memiliki kemampuan otak lebih baik
darinya meski harus menghindar mati-matian.
Sejauh
ini aku hanya terluka di sudut bibir, pakaianku kacau balau berlepotan lumpur
dan salju, intinya keadaanku terlalu mengenaskan. Beberapa kali Karasu-san menyabetkan pedangnya hingga merobek
kemeja juga jersey ku, meski hanya
luka gores tapi ini sangat sakit dan perih(aku tak bisa membayangkan bagaimana
rasanya Kise-kun yang ditusuk oleh
benda seperti ini dulu.). Selama hampir
20 menit aku menahan serangan orang sinting ini akhirnya aku terpojok dan...
“Akhirnya
aku berhasil membungkammu, ceroco sialan!”
Aku
sudah dalam batas, kakiku kena luka cukup serius dan tangan kiriku terkena katana meski tidak dalam tapi cukup
menghabiskan beberapa liter darahku. Sementara aku terpojok di tengah-tengah
gundukan bunga putih juga darah yang menodai beberapa kelopaknya, Karasu-san berdiri sekitar 2 meter dariku siap
dengan katana mengkilapnya yang sudah
dilumuri beberapa darahku. Napasku sudah tersengal-sengal dan pasokan oksigen
mendadak menipis di tengah hawa dingin ekstrim seperti ini.
“Hoo….
Kau menyerah..? pengorbananmu luar biasa… aku suka.. matamu punya
tekad..setidaknya membuatku muak karena mengingatkanku…dengan saudara tololku
dulu…., apalagi… kau membiarkan aku mengincarmu juga menjauhkanku dari si target”
“Aku
cukup senang jadi mangsa…” sahutku
datar.
“Dan
cukup bodoh untuk dimangsa.” Kesinisannya memang menyebalkan.
Aku sudah tidak punya senjata,pisau
lipatku terbang entah kemana, ponselku sepertinya error akibat benturan, dan kini aku terpojok sembari terduduk lemas
karena kakiku terluka parah. Kulirik dari ekor mataku kondisi Kise-kun yang masih tertelungkup di hamparan
padang bunga, syukurlah jaraknya cukup jauh dari kami. “Kenapa? Kau mengkhawatirkan
dia? Apa aku harus membunuhnya terlebih dahulu?” Hmm.. pilihan yang pasti sudah
bisa kujawab,
“Aku
tidak takut mati..,” Pria ini mengerutkan alisnya lalu menatapku heran
bercampur jijik, tapi aku tidak peduli. Aku ingin menyampaikan hal yang ingin
kusampaikan sekalipun dia bukan siapa-siapa, ralat, dia adalah paman Kinako.
Aku pun tanpa ragu melanjutkan perkataanku. “Aku tidak pernah takut untuk
memberikan nyawaku, yang paling kutakutkan, hidup tapi mengorbankan nyawa kawan
sendiri. Kami memang teman, tapi masalah nyawa adalah hal lain. Dan orang yang
mempermainkan nyawa seseorang seenaknya adalah orang yang tak akan bisa
kumaafkan meski dia berlutut di hadapanku. Suatu hari nanti.” Dengan pede aku
membuatnya membatu, yaah, aku bersyukur apa yang diajarkan teman-temanku
berguna untuk momen seperti ini.
“PEMBUAL!”
Dengan naasnya aku langsung dihajar kembali lalu harus tertelungkup menghadap
ke tanah hingga terbatuk-batuk, ah sial, mulutku berdarah.
“Bocah
sepertimu tahu apa!? KAU TAK MENGERTI, siapa yang mempermainkan nyawa? Nyawa
yang sudah ditakdirkan mati ya harus mati, jangan bicara seolah-olah kau tahu
apa arti dari nyawa yang kau maksud!”
“Tapi
bukan berarti anda harus mencabut nyawa-nyawa itu! Itu namanya anda sendiri
yang melawan takdir!” kuhantam dia dengan perkataan kembali.
“DIAM!
Persetan dengan kebahagiaan, nyawa, dunia, taka da yang mau menerimaku! Tidak
ada yang menerima eksistensi dunia yang ingin kubangun, dunia seperti ini..
dunia seperti kotoran ini harus dimusnahkan demi kehidupan lebih baik…dan
aku..aku yang akan.. mengawalinya…” Oke, aku tidak mengerti apakah orang ini
memiliki keinginan khusus seputar nyawa manusia atau hanya kehausan akan tahta
semu?
“Anda
melarikan diri dari dunia yang sesungguhnya.” Satu kalimat itu berhasil
memukulnya, matanya yang nyalang tak memiliki kewarasan sebagaimana harusnya
melirik padaku yang sudah limit, aku tak mengerti apa yang salah darinya dan
hanya satu orang yang mampu menjawab hal ini, untuk menyelamatkan banyak nyawa
setidaknya.
“Kalau
begitu…,” dia mengacungkan tinggi-tinggi bilah katananya ke langit tepat di atas kepalaku! Dia bermaksud
membunuhku tanpa ampun! “Kita akhiri saja ocehan busukmu itu, akan
kuperlihatkan bagaimana orang dewasa bertindak… bocah!” Aku hanya bisa menatap
ngeri ketika pedang itu langsung mengarah padaku, demi Tuhan aku tak tahu apa
dosaku, apa salahku hingga aku harus mengakhiri masa mudaku ini tapi aku tak
mau hidup dengan mengorbankan nyawa Kise-kun,
aku lebih memilih mati dengan nyawaku ketimbang harus hidup diatas nyawa orang
lain! Menurut perkiraanku, beberapa detik sudah cukup untuk sebilah pedang
dengan kecepatan seperti itu membelah-belah kepalaku, namun yang kudapatkan
adalah kepalaku masih utuh dan ternyata katana
itu diahalangi oleh sesuatu. Sesuatu!!
“Hiiii…!!
Tidaaak! Tidak mungkinn… kenapa kau…!!” Eh, ada apa? Seperti ada sesuatu.
Benar, di depanku kini adalah.. sosok yang kukenal dengan pakaiannya yang
terbang tertiup angin musim dingin, kemeja lengan panjang dan celana hitam,
beberapa perban mencuat dari sudut-sudut lengan pakaiannya. “Kenapaaa…? Kenapa
kau..bisa… tidak mungkiin! Mustahil..!!” Karasu-san terjatuh lalu terseok-seok mundur ke belakang tetap dengan
pandangan nyalang hanya saja hawa membunuh tak lagi kurasakan dari dirinya yang
kini berkeringat dingin dan menatap horror ke arahku. Bukan ke arahku
melainkan….,
“Kau
baik-baik saja? Kurokocchi…”
“K..Kise-kun… kau…, kenapa bisa?”
Kini
yang melindungiku adalah sosok Kise-kun
dengan ujung katana keluar dari
lengan kanan yang digunakan untuk melindungi dirinya juga, dia menyilangkan
lengan untuk menutup bagian wajah agar bilah pedang Karasu-san tidak mengenai Kise-kun.
“Maafkan
aku..Kurokocchi, aku yang sekarang
bisa merasakannya, merasakan bagaimana ‘kata-kata’
itu terus bergema di dalam diri anak itu.” Eh?
“Tapi..sejak
kapan?” Tanyaku linglung. Sulit mencerna kejadian ini.
“Entahlah,
kekuatan ini berpindah ketika di Teikou. Kurasa Kagamicchi juga menyadarinya.” Oke, aku benar-benar tak mengerti.
Kise-kun membuka telapak tangannya, mencabut
sesuatu dari sana dan tentu saja yang kulihat adalah sebuah pedang berkilap
yang kini sudah siap menghabisi Karasu-san.
Bisakah aku katakan, bahwa sekarang mata Kise-kun berubah menjadi merah seperti dialiri fosfor? Warna mata yang
sama dengan Kagami-kun ketika berada
di Teikou.
Inikah
wujud asli dari apa yang dibawa oleh Kinako? Sebuah perasaan yang dibawanya
bukan dari lubuk hatinya melainkan pedang ini yang mencintai. Memberi rasa
cinta, seperti kutukan.
Wujud
asli dari cinta palsu sebuah pedang siluman.
Dan
kini berada di tangan Kise-kun. Ini
artinya Kise-kun sekarang adalah…
BACK TO 15TH YEARS AGO. –FINALE CHAPTER-
SHUUMA
YUKIHIRA
dua tahun setelah kejadian.
Kupikir aku akan menyerah.
Bagaimana
mungkin aku tidak bicara begitu, aku sudah kehilangan orang yang sangat
kucintai. Maksudku, setelah aku koma hampir setahun karena kejadian itu aku
bahkan tak mampu berdiri di tengah lapangan lagi. Tora dan Nakatani-kun terus menjengukku dan mereka tidak
hentinya mencari informasi seputar Saya. Kini aku sudah berdiri di bawah pohon
bunga Sakura yang bermekaran, ya, ini adalah hari kelulusanku. Hari kelulusan ini
tak seindah yang kubayangkan, orang yang kusayangi tidak ada di sampingku
ketika aku lulus.
“Kau
tak perlu sedih, dia pasti kembali, percayalah.” Tora menguatkanku, dia
menjengukku ketika aku opname dalam jangka waktu lama, tak bisa kubayangkan
betapa depresinya aku ketika tahu Saya tak ditemukan dimanapun di rumah itu.
Kemungkinan terburuk adalah dia tidak akan pernah kembali seperti yang
dijanjikannya. Atau dia pergi dan selamat dari kebakaran mengerikan itu.
Entahlah. Polisi tidak tahu, tidak ada yang mengetahui kebenarannya hingga aku
lulus. “Aku berharap dia kembali, karena aku selalu menunggunya.”. Tora
tersenyum. Tak kusangka karier basketku cukup gemilang, aku bertemu dengan
Nakatani-kun, aku bertemu dengan Eiji
Shirogane-san, Genta-san, bahkan Katsunori-san di ajang basket nasional yang levelnya bukan
main-main. Saat itu genap usiaku sudah 20 tahun. Sudah lima tahun semenjak
kejadian dan aku tidak pernah
menemukan adik laki-lakiku lagi, Karasu.
“Yukihira,
latihan sudah beres kau boleh pulang!” seru salah satu senior di kamp.
“Ya,
aku mau latihan sebentar lagi.
“Kau ini jangan memaksakan
diri seperti itu, nanti bisa-bisa kau cidera.”
“Ahahaha,
sama sekali tidak apa-apa. Lagian besok kita libur, aku harus bersiap agar
tidak malas-malasan.” Shuuma meluncurkan senyum terbaik dan seniornya pun
menyerah. Gym sudah sepi, hanya ada
Shuuma yang melakukan latihan dribble
dan shooting. Ketika sendirian
seperti ini Shuuma teringat semuanya, semua yang pernah dia lalui bersama Saya.
Orang yang sangat disayanginya. Tapi kini berbeda, sudah 5 tahun tak pernah ada
kabar dari Saya. Tidak pernah.
“Kurasa
aku harus menyerah.” Shuuma tersenyum lemah, putus asa karena semua ini.
“Kau
mau menyerah sungguhan dengan wajah sejelek itu?
Shuuma
terkejut, jantungnya seperti pindah ke perut. Suara itu, suara yang tidak
pernah salah dia kenali. Sosok itu bersandar di pintu Gym, mengenakan jumper
hitam dan celana training dengan warna sepadan. Surai hitam yang dikuncir satu
terurai dari balik topi, sepasang mata magenta
mengerling jahil dan tentu saja bekas luka menyilang yang tak pernah akan
dilupakan oleh Shuuma.
“Dasar
bodoh, kenapa wajahmu seperti itu? Kau tampak mengenaskan dari biasanya. Atau
kau rindu padaku? Syukurlah Ryuu bisa membawamu pergi sesaat setelah ledakan
dan aku—.” Tanpa banyak bicara Shuuma sudah berada di depan gadis tersebut,
sebuah dekapan hangat diberikannya, nyaris saja dia tak mau melepaskan sosok
kecil ringkih itu. Suara Shuuma kering, dia mencoba untuk tidak terisak karena
dia tak mampu lagi menangis. “Kau…, sebegitu rindunya padaku?” bisik gadis itu
di dalam pelukan Shuuma yang tetap tak bergeming.
“….”. “Aku benci mengakuinya tapi aku bisa lolos dan maaf mungkin 5 tahun
bagimu bagaikan 5 abad yang mengerikan.” Gema suara itu menghilang, menggantung
di udara.
“Aku
pulang, SHUU. Aku pulang kembali ke sisimu sesuai janjiku.”
“Okaerinasai*(Selamat datang kembali).
SAYA!”
Dan
begitulah aku mengakhiri penantian panjang ini. Setelah benar-benar sukses aku
sedikit demi sedikit vakum dari dunia basket, kami pindah keluar kota dan tentu
saja hidup berdua bersama-sama. Yang tahu akan hal ini hanya Ayah Saya, beliau
yang menyarankan untuk meninggalkan kota, berkat bantuannya kepindahan kami
tidak mengalami banyak masalah. Kedua, tentu saja si bodoh Tora, tapi aku tak
ingin melibatkannya lebih jauh jadi aku hanya bilang ingin istirahat untuk
sementara. Ketiga, kawan sejagat yang benar-benar berjasa, Ryuugen. Anak itu
awalnya kurang setuju—plus karena dia juga ternyata menyukai Saya—tapi untunglah
dia mau mengerti dan tetap menganggapku Rivalnya. Sungguh deh.
Waktu
memang berlalu begitu cepat, aku tak bisa membayangkan kalau sekarang aku sudah
menjadi seorang ayah. Ditambah anak kami kembar. Mereka perempuan. Aku heran
dimana kemiripannya denganku tapi kata Saya, salah satu dari mereka akan sangat
mirip denganku. Yaah tak masalah, asal mereka bisa hidup dan tumbuh menjadi
sosok yang cantik juga dikelilingi oleh kebahagiaan itu tak akan masalah.
Tapi….,
Kurasa..,
kebahagiaan itu berhenti. Berhenti ketika mereka beranjak 5 tahun. Aku bisa
merasakan semakin ke sini semakin banyak sekali orang-orang yang mengawasi.
Meski kami sempat pindah ke tempat terpencil sekalipun aku masih bisa merasakan
sosok jahat yang kutengarai adalah Karasu, adik lelaki bodohku itu tampaknya
sekarang menjelma menjadi iblis yang tidak bisa mati.
“Akan
ada sesuatu. Kurasa, akan lebih aman kalau kau menitipkan mereka.”
“Kau
pasti bercanda. Aku tahu apa yang ada dipikiranmu.”
“Saya….”
“Aku
tak mau, kalaupun harus, aku tak mau berpisah dengan mereka.”
Malam
itu perasaan burukku benar terjadi, Karasu datang, mencoba membunuh Kinako dan
Kohane. Tapi tentu saja aku tidak selemah itu. Tepat ketika Kinako yang berada
di ruang tamu melihatku menahan Karasu, sialnya aku terpeleset dan Karasu sudah
berada di depan anak itu. “KINAKO!”.
Semua
merah seketika, aku tak bisa melupakan wajah anak manis itu saat sebuah pedang
tepat menancap di bagian dada kiri ini. Aah, darahku jadi tertransfer padanya.
Tapi aku tidak kuat, aku sudah kehilangan banyak darah dan bilik kiri jantungku
rusak karena tertembus mata pedang. Kinako hanya termangu, ekspresi yang tak
kusangka akan diperlihatkannya. Jadi, sebelum aku benar-benar tak bisa berada
di sisinya, di sisi mereka, dengan sisa tenaga aku menyentuh pipi kiri anak itu
dengan tangan berlumur darah.
“Tolong jaga Kohane dan Ibu,ya?”
“Pa..Pa,” semua gelap, darah kurasakan berdesir dan keluar dari mulutku. Semua
tak bisa kurasakan lagi. Hingga aku melihat Saya terakhir kali. Dengan mata
penuh kebencian.
SAYA YUKIHIRA
Musim Dingin. 10 tahun lalu.
Aku
tahu rasanya meninggalkan seseorang.
Tapi
kini aku bisa merasakan apa yang dirasakan Shuu, sedikit berbeda karena
sekarang kau tak bisa melihat orang yang kau cintai selamanya. Berkat
kenekatanku, juga terror Karasu sialan itu, rumah kecil itu terbakar hangus.
Aku tak bisa mengatakan apapun pada Chichi
Ue, aku hanya mengatakan kalau sisa-sisa keluarga Yukihira yang didalangi
oleh Karasu datang melakukan kudeta hebat.
Tapi
sebenarnya tidak begitu. Karasu, setelah kupelajari lebih detail aku bisa
menyimpulkan si psikopat gila itu mengumpulkan anak-anak, baik yang masih hidup
atau yang sudah mati. Dia mencoba untuk membuat dirinya abadi dengan kekuatan
mereka. Semacam ilmu hitam atau tenung. Kekejaman itu dia kamuflase di sebuah
festival, festival AKAGOSAI, festival
anak-anak yang disabotase oleh Karasu demi mengumpulkan jiwa-jiwa tak berdosa.
“Aku
berharap padamu, Itou.”
“Aku
akan menjaga dan menemukan mereka.”
“Aku
harap mereka tidak menderita…”
“Maaf..,
kalau itu aku tidak bisa menjamin. Terutama anak kembar pertamamu.” Kinako, dia
yang berubah secara drastic. Serangan Karasu telak membuat Shuu kehilangan
nyawa, yang lebih parah, dia meninggal di depan anak itu. Aku tahu dia sangat
sayang pada Shuu, dia jarang bisa bermanja karena sifatnya terlalu mandiri.
Berbeda dengan Kohane yang belum tahu apa-apa. Aku takut dia membenciku, aku
takut dia tak akan memaafkanku.
“Maafkan
aku.” Cuma kata itu yang bisa kutinggalkan ketika aku pergi, pergi untuk
menemukan Karasu. Tapi aku tak menyangka akan bertemu dengan bocah yang mirip
dengan Shuu. Anak itu, mengajarkanku untuk tetap semangat. Meski hanya
seminggu, singgah di kota itu bagaikan bertemu Shuuma kecil. Kemudian aku
bertemu lagi dengannya, dengan anak jenius berambut hijau yang dengan tenangnya
menemaniku ketika kerja sambilan.
“Aku
hanya ingin memberikan yang terbaik, setidaknya, aku ingin menunjukkan kalau
aku bisa menolong mereka dari ketidakbahagiaan. Kalau suatu hari kau bertemu
dengan keduanya, aku ingin sekali, ingin kau menjaga mereka berdua. Kalau bisa,
aku ingin ketika kau tumbuh dewasa, kita bisa berjumpa lagi.”
Anak
itu hanya memerhatikan foto yang kuberikan, foto kedua putriku yang
kutinggalkan sudah di panti asuhan. Anak berkacamata dan berambut hijau
tersebut selalu mengatakan kalau putriku baik-baik saja, ternyata ayahnya kenal
dengan penunggu panti asuhan dimana aku menitipkan anak-anakku. Midorima-san begitu memperhatikan kedua putriku,
dia juga sama mengkhawatirkan bagaimana kondisi Kinako yang kian hari kian
tidak tentu kondisinya. Dia menjadi begitu pendiam, menjauh dari sosial, dia
hanya berada bersama Kohane. Tapi aku tak mau memusingkan hal tersebut, yang
harus kulakukan sekarang adalah mencari Karasu dan membunuhnya. Namun sayang
sekali semua berakhir begitu menyakitkan. Menyakitkan ketika kau tahu kalau
putri tercintamu tewas begitu saja.
Semua
ini harus diselesaikan. Aku harus mencari dimana lokasi AKAGOSAI berikutnya.
Dan aku menemukannya, menemukan lokasi dimana Akagosai akan dilaksanakan.
Kuil
itu, kuil bobrok yang berdekatan dengan sebuah SMA.
KUIL SEIRIN.
KAGAMI TAIGA
Kuil Yukibana – 17.00 p.m
Akhirnya
cerita Saya-san berhasil membuat bulu
kudukku berdiri.
Yang
bisa kupastikan di sini adalah, ternyata Kinako dan Kohane sama sekali tidak
mengalami kudeta besar-besaran, mereka diserang oleh Karasu Yukihira yang malah
membuat ayah mereka terbunuh. Kinako memang sangat jarang cerita dan tak mau
menceritakan bagaimana keadaan sebenarnya.
“Jadi,
masalah kudeta itu semua bohong?” tanyaku.
“Demi
menutup keadaan yang sebenarnya, aku mengatakan itu pada ayahku, lalu tentu
saja kepala keluarga menyepakati untuk menutupnya. Kurasa Shuu tidak mau melibatkan semua orang dan
berharap Karasu benar-benar berhenti melakukan semua ini.” Saya-san menghela napas, helaan napasnya
sangat berat menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul.
“Ano,
maaf, sebenarnya aku sendiri juga datang kemari karena suatu hal,” Uzumaki-san yang sedari tadi diam angkat bicara,
wajahnya pucat dan dia sesekali melirik Pak Zen. “A,aku mencari adik
perempuanku. Semenjak tiga tahun lalu aku hidup di sini berdua, adikku hilang
ketika musim dingin dan sampai sekarang tak pernah kembali. Aku tak bisa
memanggil polisi karena bakal menjadi rumit urusannya, dan.., tampaknya aku
tahu kemana adikku pergi.” Matanya melirik kesana-kemari, dia seperti
ketakutan, Uzumaki-san ternyata
adalah salah satu korban!
“Dan
yang lain-lain tentang apa yang dikatakan oleh Kinako itu bohong?” sahut
Kuroko.
“Ketika
ledakan gas di Teikou, dia memang terluka cukup parah dan nyaris tewas,
ibaratnya seperti Near Death Experience,
mungkin. Tapi pada dasarnya dia tetap manusia, aku yakin awal ketika kalian
bertemu di SEIRIN juga mengira dia hantu. “ ujar Midorima. Aku mengira-ngira
kembali tentang kuil bobrok itu, kalau benar di dekat sekolah kami ada sebuah
kuil yang terbengkalai maka kuil itu harusnya tak jauh dari bukit-bukit yang
berjajar lumayan jauh dari kota.
“Uzumaki-san, kau masih ingat kronologi saat
adikmu menghilang?” tanya Tatsuya.
“Se,sekitar
tiga tahun lalu. Aku rasa. Aku masih ingat, kedua orang kami bercerai dan kami
memutuskan untuk tinggal bersama berdua. Adikku yang masih kecil waktu itu
merengek memintaku mengantarnya ke festival kota dekat sekolahnya, lumayan jauh
dari sini. Aku menolak dengan alasan sibuk kerja di kebun, adikku ngambek dan
dia pergi sendirian. Kupikir hanya ke festival saja tak akan memakan waktu lama
dan pasti adikku bisa pulang sendiri tapi...,” Uzumaki-san berkaca-kaca, matanya mulai tergenang oleh air matanya. “Dia
tak pernah kembali, Mia tak pernah kembali semenjak itu.”
Kami terdiam. Jangan-jangan benar apa yang dikatakan
oleh Saya-san kalau.... semua ini
akan terjadi di kuil itu, kuil SEIRIN. Kuil yang sama dengan nama sekolahku.
Bagaimana ini? Jantungku berdegup terus, perasaanku tidak enak.
Beberapa menit berlalu tanpa suara,
hanya isak tertahan Uzumaki-san yang
menggema.
Tak
kusangka aku malah menangkap sosok Kuroko yang babak belur bersama Kise yang
terkulai dan dipapah oleh seorang pria asing berambut oranye yang dikepang
satu, mereka tidak bisa dibilang baik-baik saja. Dan yang semakin membuatku
ternganga adalah kata-kata Kuroko yang keluar dari mulutnya ;
“LARI!
LARI DARI SINI, KITA DISERANG!!”
DAMN!!.