FFN. CODE 4. 黒子のバスケ
FESTIVAL
KEMATIAN
—SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
—SEQUEL OF BUSHO-AKU(PERSEMBAHAN SETAN)—
“Someone cant forgive the past, the people, or themself. They do everything to wash their dirty blood with other blood. And it look ‘fair’, because human love to be the main character”
DISCLAIMER : TADATOSHI FUJIMAKI
FESTIVAL
5 : ARASHI (嵐 )
“THE STORM”
“THE STORM”
“Perasaan yang kuat itu terus mencoba meraih kembali
tali nasib yang terputus, sayangnya, tidak ada yang bisa berbuat banyak.
Sementara aku sudah merusak tali kebahagiaan itu dan tak pernah kusadari….”
赤司征十朗
(Akashi Seijuurou)
赤司征十朗
(Akashi Seijuurou)
HOSAKA SHINGEN
—The Story That Nobody Know—
—The Story That Nobody Know—
Jadi orang bodoh yang tak tahu apa-apa memang
mengesalkan.
Namaku HOSAKA SHINGEN, aku bersekolah di SMA RAKUZAN. Ini adalah tahun pertamaku, sebenarnya aku tak berniat jadi orang pintar tapi ingatanku sangat kuat makanya aku bisa masuk ke skolah elit ini, akibatnya aku malah masuk ke kelas unggulan dan ternyata satu kelas dengan salah satu manusia paling digosipkan di klub basket—juga seluruh sekolah, AKASHI SEIJUUROU. Ngomong-ngomong aku terlalu malas masuk ke klub basket meski ayahku adalah jebolan atlet nasional dan aku tidak berniat mengikuti jalannya yang masuk SMA SHUUTOKU di Tokyo. Aku lebih tertarik masuk ke klub melukis dan memasak di SMA.
Ups, sayangnya aku tidak terlalu kenal dengan bocah berkepala merah tersebut, kebetulan karena badanku bongsor dan terlalu capek untuk tebar pesona maka jadilah aku sendirian. Teman sih ada tapi teman sementara, istilahnya, aku ada ketika mereka membutuhkanku saja, kalau tidak ya aku tidak bergaul bersama mereka. “Hei! Hosaka! Potong rambutmu!” seru ketua BP. “Heeh, bayar dulu sini buat potongnya!” seruku. Aku terkenal badung meski pintar, tapi sayangnya kalau kelas memasak aku terpaksa mengikat rambut indahku dan menyembunyikannya di balik topi koki yang berkerut-kerut.
Namaku HOSAKA SHINGEN, aku bersekolah di SMA RAKUZAN. Ini adalah tahun pertamaku, sebenarnya aku tak berniat jadi orang pintar tapi ingatanku sangat kuat makanya aku bisa masuk ke skolah elit ini, akibatnya aku malah masuk ke kelas unggulan dan ternyata satu kelas dengan salah satu manusia paling digosipkan di klub basket—juga seluruh sekolah, AKASHI SEIJUUROU. Ngomong-ngomong aku terlalu malas masuk ke klub basket meski ayahku adalah jebolan atlet nasional dan aku tidak berniat mengikuti jalannya yang masuk SMA SHUUTOKU di Tokyo. Aku lebih tertarik masuk ke klub melukis dan memasak di SMA.
Ups, sayangnya aku tidak terlalu kenal dengan bocah berkepala merah tersebut, kebetulan karena badanku bongsor dan terlalu capek untuk tebar pesona maka jadilah aku sendirian. Teman sih ada tapi teman sementara, istilahnya, aku ada ketika mereka membutuhkanku saja, kalau tidak ya aku tidak bergaul bersama mereka. “Hei! Hosaka! Potong rambutmu!” seru ketua BP. “Heeh, bayar dulu sini buat potongnya!” seruku. Aku terkenal badung meski pintar, tapi sayangnya kalau kelas memasak aku terpaksa mengikat rambut indahku dan menyembunyikannya di balik topi koki yang berkerut-kerut.
“Hosaka-kun bukan?” seorang senior berwajah cantik itu mendadak menyapa
ketika kelas memasak, dia tersenyum cemerlang membuatku agak bergidik.”Ung..
iya? Ano, senpai siapa?” tanyaku
balik. “Kenalkan, namaku Mibuchi Reo. Kau kelas 1 kan, untunglah aku tidak
salah karena badanmu besar.” Basa-basi murahan. “Senpai ada perlu denganku?”.
“Sebenarnya, aku tidak ada hubungannya tapi ada titipan yang amat penting sampai aku harus menyampaikan ini. Ah, tolong jangan salah paham, aku tidak ingin mencampuri urusanmu tapi kurasa kau pasti tidak berminat soal basket tapi kebetulan karena senior-ku adalah anggota basket jadi mau tak mau aku harus menyampaikannya.” Aku mulai serius mendengarkan ucapannya, sesuatu seperti ada yang tidak beres karena jarang sekali masalah mendekatiku.
“Aku mendengarkan.”
“Syukurlah. Ini, kuharap aku tidak mengecewakan semua pihak,ya? Oh, ya ada yang harus kusampaikan juga padamu, ada acara penting jadi usahakan datang karena itu pasti sangat membantu. Jangan lupa membawa bunga.” Mibuchi-senpai menepuk bahuku sesaat setelah memberikan amplop merah yang lumayan tebal. Aku tidak melihat cowok cantik itu lagi setelah dia melewati ambang pintu.
Amplop merah ini sepertinya mengingatkanku akan suatu hal. Tanpa babibu aku membuka amplop lalu menemukan sebuah notes abu-abu yang terlipat. Di sana tertulis ; AKU MOHON BANTUANMU. –MAYUZUMI CHIHIRO—. DEG! Nama ini, nama yang tidak mungkin tidak kukenal, kenapa dia ada di sekolah ini? Jangan-jangan berhubungan dengan ‘ITU’?. Kukeluarkan semua yang ada di dalam amplop lalu yang kutemukan adalah, sebuah surat dua lapis, sebuah undangan, dan.. foto KOHANE-CHAN. Pertama kubuka undangan berbentuk persegi panjang itu.
Kurasa tindakanku ini akan menimbulkan sebuah penyesalan besar, ternyata benar, undangan itu bukan undangan berisi pesta melainkan undangan upacara pemakaman Kohane. Aku tak akan pernah melupakan anak mungil berwajah manis yang punya kembaran berwajah masam yang bertolak belakang dengannya, kami tumbuh bersama bersama Chihiro-nii tapi kenapa bisa-bisanya undangan sialan ini merusak semua kenangan itu. Yang terakhir aku membaca isi surat yang lumayan panjang, oke, kesimpulan yang kudapat ; AKU SUDAH TERLAMBAT.
“Sebenarnya, aku tidak ada hubungannya tapi ada titipan yang amat penting sampai aku harus menyampaikan ini. Ah, tolong jangan salah paham, aku tidak ingin mencampuri urusanmu tapi kurasa kau pasti tidak berminat soal basket tapi kebetulan karena senior-ku adalah anggota basket jadi mau tak mau aku harus menyampaikannya.” Aku mulai serius mendengarkan ucapannya, sesuatu seperti ada yang tidak beres karena jarang sekali masalah mendekatiku.
“Aku mendengarkan.”
“Syukurlah. Ini, kuharap aku tidak mengecewakan semua pihak,ya? Oh, ya ada yang harus kusampaikan juga padamu, ada acara penting jadi usahakan datang karena itu pasti sangat membantu. Jangan lupa membawa bunga.” Mibuchi-senpai menepuk bahuku sesaat setelah memberikan amplop merah yang lumayan tebal. Aku tidak melihat cowok cantik itu lagi setelah dia melewati ambang pintu.
Amplop merah ini sepertinya mengingatkanku akan suatu hal. Tanpa babibu aku membuka amplop lalu menemukan sebuah notes abu-abu yang terlipat. Di sana tertulis ; AKU MOHON BANTUANMU. –MAYUZUMI CHIHIRO—. DEG! Nama ini, nama yang tidak mungkin tidak kukenal, kenapa dia ada di sekolah ini? Jangan-jangan berhubungan dengan ‘ITU’?. Kukeluarkan semua yang ada di dalam amplop lalu yang kutemukan adalah, sebuah surat dua lapis, sebuah undangan, dan.. foto KOHANE-CHAN. Pertama kubuka undangan berbentuk persegi panjang itu.
Kurasa tindakanku ini akan menimbulkan sebuah penyesalan besar, ternyata benar, undangan itu bukan undangan berisi pesta melainkan undangan upacara pemakaman Kohane. Aku tak akan pernah melupakan anak mungil berwajah manis yang punya kembaran berwajah masam yang bertolak belakang dengannya, kami tumbuh bersama bersama Chihiro-nii tapi kenapa bisa-bisanya undangan sialan ini merusak semua kenangan itu. Yang terakhir aku membaca isi surat yang lumayan panjang, oke, kesimpulan yang kudapat ; AKU SUDAH TERLAMBAT.
Aku pulang ke rumah seperti biasa dengan tas yang kusampirkan ke bahu, beberapa pelayan menyambutku seperti biasa namun aku hanya meresponnya seperti biasa pula dan mengatakan aku ingin makan tuna dan Kaarage*(daging goreng tepung) tak lupa menu tambahan lain sesuai pesanan Oyaji dan Kaa-sama. Di kamar aku merenung sebentar sembari memerhatikan katana kesayanganku di ujung ruangan, haah—kurasa malam ini aku tak akan bisa tidur dengan nyenyak. Sesudah melamun selama duapuluhlima menit dalam ofuro*(bak mandi) diselingi teriakan Kaa-sama yang sekencang pengeras suara akupun turun untuk makan malam(tentu saja tak lupa memakai baju).
“Hei, Shin! Kau ini melamun saja sedari tadi, Shoyu*(kecap asin)-mu tumpah, huh
sebenarnya kau kenapa?” tegur Kaa-sama yang sudah menekuk wajahnya 45 derajat.
“Biarkan saja, Bu. Dia pasti sedang masa puber karena ditolak selusin cewek hahaha!” gelak tawa ayahku itu memang tiada duanya juga praktis membuat anak kesayangannya ini naik darah. “Mungkin tuan muda mendapat pengalaman memalukan.” Pelayan pribadi Oyaji, Saburo-san membuatku semakin dongkol.
“Biarkan saja, Bu. Dia pasti sedang masa puber karena ditolak selusin cewek hahaha!” gelak tawa ayahku itu memang tiada duanya juga praktis membuat anak kesayangannya ini naik darah. “Mungkin tuan muda mendapat pengalaman memalukan.” Pelayan pribadi Oyaji, Saburo-san membuatku semakin dongkol.
“Bisa-bisanya kalian mempermainkan anak tidak berdosa ini.” Semprotku.
“Memang kau sudah melakukan berapa banyak dosa hari ini?” sekali lagi, Oyaji terbahak.
“Oyaji, kumohon dengarkan aku dan tolong jangan pukul aku setelah aku memberitahumu.” Pintaku mendadak, orang tuaku juga pelayan setiaku itu menatap serius—mulai serius—kemudian kukeluarkan amplop merah yang tadi kudapat di sekolah. Oyaji menerima amplop dan membukanya, awalnya dia tampak biasa namun semakin lama wajahnya semakin mengeras dan matanya sedikit terbelalak.
“Ada apa? Anata...” tanya Kaa-sama pada Oyaji.
“Darimana kau dapatkan amplop ini?” Tanya Oyaji tanpa melepaskan pandangannya.
“Saat di kelas memasak, yang menyerahkannya bukan Chihiro-Nii, tapi salah satu rekannya di klub basket..” jawabku.
“Kalau ini terjadi maka.., apa yang dikatakan Shuuma-san memang benar. Badai sudah mulai mengamuk. Shin, kau tahu kan?” ucap Oyaji. Aku mengangguk mengerti.
“Hei,
Ryuu. Jangan bilang ini mengenai…Saya-chan?
Bukannya dia di insiden itu.. lalu kenapa bisa Ayano dan anaknya…, aku tak
paham, lalu bagaimana bisa Kohane-chan
meninggal akibat jatuh, itu kedengaran ganjil. Sekarang bahkan Kinako-chan…”
“Kaa-sama. Sudahlah, tak perlu memusingkan hal yang tak pasti.” Aku menyelesaikan makananku lalu melenggang pergi. “Shin, kau mau kemana?” Tanya Kaa-sama.
“Oi, jagoan. Kau sudah dilantik jadi kurasa aku tak perlu mengatakannya lagi,kan? Cepat selesaikan masalah ini, aku akan menghubungi orang dalam dan aku pasti akan datang ke undangan special itu.” Ayahku memang bisa diandalkan, sembari mengangsurkan sebuah kartu nama, aku menyeringai dan mengacungkan jempol padanya.
“Kaa-sama. Sudahlah, tak perlu memusingkan hal yang tak pasti.” Aku menyelesaikan makananku lalu melenggang pergi. “Shin, kau mau kemana?” Tanya Kaa-sama.
“Oi, jagoan. Kau sudah dilantik jadi kurasa aku tak perlu mengatakannya lagi,kan? Cepat selesaikan masalah ini, aku akan menghubungi orang dalam dan aku pasti akan datang ke undangan special itu.” Ayahku memang bisa diandalkan, sembari mengangsurkan sebuah kartu nama, aku menyeringai dan mengacungkan jempol padanya.
“Kau tak usah khawatir, Oyaji! Juurokudaime keluarga Hosaka akan membawa kembali anak manis yang sedang berkelana.” Dari situlah perjalananku dimulai, jadi kurasa ini bukan hal yang patut disesali. Aku masih punya waktu dan kesempatan melawan balik arus yang mengerikan ini. Bukan, begitu? Perjalananku dimulai hingga berminggu-minggu sampai genap tiga bulan lebih di musim dingin. Di suatu sudut di taman dekat halte bus aku menemukan sosok yang sedang tertidur di pojok halte reot yang kusam. Gadis yang terlihat acak-acakan dengan katana di belakangnya menyender lesu, bekas luka di mata kirinya yang tak akan kulupakan dia kelihatan pucat nyaris seperti hantu di musim dingin.
Kudekati anak itu, dia tidak bergeming sepertinya dia kelelahan sekali. Kopi kaleng dan sebuah makanan ringan tergolek di pinggirnya. Hmm, dasar bodoh, kenapa dia tidak membeli nasi kotak saja sih? Bisa-bisa kau jadi hantu beneran. Aku mencoba mengulurkan tanganku untuk menyentuh pundaknya, tapi belum sampai tanganku ke sana sebuah mata pendang siap menusuk tenggorokanku tepat detik itu juga, tapi untungnya aku berhasil mengunci pergelangan tangan mungil sedingin es yang dibalut dengan jersey tersebut.
“Hei, hei, mengacungkan pedang pada seorang warga sipil adalah tindakan criminal lho.” Ucapku santai. Dia mendelik lalu menyorot sengit, namun berangsur-angsur tatapan mengutuk gadis kecil itu berubah menjadi lunak dan tampak terkaget-kaget. “Sudah kembali dari alam tidur? Nona manis.” Aku mencoba memberikan senyuman sedahsyat mungkin, karena aku paham betul dengan watak juga sikapnya yang benar-benar diturunkan dari ibunya ini, sama-sama jutek, sama-sama mengerikan, hanya bedanya ibu anak ini banyak senyum sementara anak ini sama sekali tidak pernah senyum.
“Shin…gen..-san?” mulut mungilnya meluncurkan satu kata yang terputus-putus.
“Ya. Lama tak jumpa, Kinako-chan. Penampilanmu parah sekali.”
Sementara aku tersenyum tiba-tiba dia merenggut kain jaketku, tangan kecilnya terlihat kurus dan letih bahkan sangat rapuh. Dia menunduk dalam, aku tahu kebiasaannya dari kecil jadi kudiamkan dia menenggelamkan wajahnya di balik jaketku dan aku menepuk-nepuk kepalanya yang tertutup salju tipis. Kami terdiam selama beberapa menit, salju turun perlahan dan sepertinya badai salju bakal datang.
“Kinako-chan, kau menangis?”
![]() |

SAYA YUKIHIRA
Lapangan Basket pinggir kota. 15.00 p.m
Lapangan Basket pinggir kota. 15.00 p.m
Terjebak hujan deras di tengah
pertandingan bukanlah suatu ide bagus.
Aku sudah mengingatkan si Kurage atama*(kepala ubur-ubur)–Ryuugen—itu beberapa jam lalu di tengah pertandingan mendebarkan yang dia bilang sayang untuk tidak dituntaskan. Aku hanya bisa pasrah melihat keempat pemuda berwajah cakep itu saling berebut bola dan melalukan tembakan jitu masing-masing, yaah, aku bisa membaca mereka bukan pemain rendahan yang biasa ada di jalan mereka benar-benar memiliki bakat pro sebagai atlet. Mataku tak pernah lepas dari sosok Yukihira-san sedari tadi, astaga dia terlalu tampan untuk hanya sekedar dipandang, kira-kira dia kelas berapa ya? Aku dengar dari Ryuu mereka seumuran dengan Nakatani-san berarti setahun lebih tua? Tapi kurasa wajah Yukihira-san tidak terlihat demikian.
Aduuh! Kau ini kenapa,sih Saya?! Berhentilah memandangi orang yang pertama kali bertemu denganmu, kau tidak berhak memilikinya atau kau akan menyesal nanti. Aku tak mau menyesal makanya aku mendiamkan perasaan yang disebut ‘love at the first sight’ di dalam diriku dan menutupnya rapat-rapat dan dikubur sejauh mungkin tujuh meter di bawah tanah. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore dan awan hitam dengan santai menari-nari juga saling bertubrukan hingga menimbulkan suara gemuruh di atas kami.
“Hei, kalian! Sudah mau hujan, nanti saja dilanjutkan.” Seruku dari pinggir lapangan.
“Nanggung! Setengah jam saja lagi, aku kan belum mendapat giliran tampil.” Ryuu menyahut protes sembari menlakukan one-one-one dengan Aida-san. Astaga, dasar anak keras kepala! Kalau kau sakit siapa yang tanggu jawab, memangnya siapa sih yang membawaku ke sini? Ternyata benar, setela Guntur menyambar sekali ke bumi, hujan lebat mengguyur kami seketika tanpa permisi. Aku kelabakan membereskan handuk dan tas lalu mencoba mencari sesuatu untuk melindungi kepalaku yang sudah basah, aah! Lupakan, sekalian saja hujan-hujanan. Tiba-tiba seseorang datang tergesa dari luar lapangan, dia menghampiri Ryuu lalu wajah Ryuu seketika berubah panic.
“Saya-chan!! Maafkan aku, aku tak bisa mengantarmu pulang. Sakit ibuku kambuh lagi, aku harus ke apotek dan pergi ke rumah sa—.”
“Dasar bodoh! Kau masih saja meminta maaf, sana cepat pergi susul ibumu. Aku bisa pulang sendiri.” Celetukku galak. Ryuu sempat bingung tapi dia mohon pamit dengan minta maaf sekali lagi kemudian membawa tasnya pergi bersama pemuda berambut hitam tadi, sepertinya itu adik Ryuu, merekapun melesat meninggalkan lokasi mengendarai sepeda di tengah hujan deras. Huh, hujan di musim semi bukan hal menyenangkan.
SRUK. Eh? “Kau bisa masuk angin lho, Kirishiki-san. Lebih baik kita berteduh dulu.” Demi para malaikat di surga, Yukihira-san memberikan jaketnya untuk melindungi kepalaku! Saya, jangan sampai kau pingsan di tengah lapangan atau image-mu akan rusak seketika!
“Sepertinya badai bakal datang, bagaimana ini? Si bodoh itu sudah pulang duluan..” komentar Aida-san.
“Tidak ada toko atau café di dekat sini, bisa-bisa kita kehujanan terus.” Ucap Nakatani-san mendongak melihat awan gelap yang sangat mengerikan.
“…Rumahku dekat…dari sini,kok. Kalau jalan makan waktu lima belas menit.” Semua memandangku yang mencicit dibalik rambutku yang basah seperti Sadako ditutupi jaket. Akhirnya kami harus tergopoh-gopoh melewati hujan untuk ke rumahku, aku nyaris terpeleset di pinggir terotoar tapi dengan sigap Yukihira-san menangkapku. Dengan cengirannya yang terlihat menyilaukan dia berkata.”Tuan putri, bahaya kalau sampai jatuh. Hati-hati di sini sangat licin, pegangan saja denganku.” Yang dimaksud pegangan denganku saja adalah ; pegangan saja dengan tanganku. God! Aku merasakan taman bunga bermekaran di kepalaku yang merah seperti kepiting rebus.
Aku sudah mengingatkan si Kurage atama*(kepala ubur-ubur)–Ryuugen—itu beberapa jam lalu di tengah pertandingan mendebarkan yang dia bilang sayang untuk tidak dituntaskan. Aku hanya bisa pasrah melihat keempat pemuda berwajah cakep itu saling berebut bola dan melalukan tembakan jitu masing-masing, yaah, aku bisa membaca mereka bukan pemain rendahan yang biasa ada di jalan mereka benar-benar memiliki bakat pro sebagai atlet. Mataku tak pernah lepas dari sosok Yukihira-san sedari tadi, astaga dia terlalu tampan untuk hanya sekedar dipandang, kira-kira dia kelas berapa ya? Aku dengar dari Ryuu mereka seumuran dengan Nakatani-san berarti setahun lebih tua? Tapi kurasa wajah Yukihira-san tidak terlihat demikian.
Aduuh! Kau ini kenapa,sih Saya?! Berhentilah memandangi orang yang pertama kali bertemu denganmu, kau tidak berhak memilikinya atau kau akan menyesal nanti. Aku tak mau menyesal makanya aku mendiamkan perasaan yang disebut ‘love at the first sight’ di dalam diriku dan menutupnya rapat-rapat dan dikubur sejauh mungkin tujuh meter di bawah tanah. Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore dan awan hitam dengan santai menari-nari juga saling bertubrukan hingga menimbulkan suara gemuruh di atas kami.
“Hei, kalian! Sudah mau hujan, nanti saja dilanjutkan.” Seruku dari pinggir lapangan.
“Nanggung! Setengah jam saja lagi, aku kan belum mendapat giliran tampil.” Ryuu menyahut protes sembari menlakukan one-one-one dengan Aida-san. Astaga, dasar anak keras kepala! Kalau kau sakit siapa yang tanggu jawab, memangnya siapa sih yang membawaku ke sini? Ternyata benar, setela Guntur menyambar sekali ke bumi, hujan lebat mengguyur kami seketika tanpa permisi. Aku kelabakan membereskan handuk dan tas lalu mencoba mencari sesuatu untuk melindungi kepalaku yang sudah basah, aah! Lupakan, sekalian saja hujan-hujanan. Tiba-tiba seseorang datang tergesa dari luar lapangan, dia menghampiri Ryuu lalu wajah Ryuu seketika berubah panic.
“Saya-chan!! Maafkan aku, aku tak bisa mengantarmu pulang. Sakit ibuku kambuh lagi, aku harus ke apotek dan pergi ke rumah sa—.”
“Dasar bodoh! Kau masih saja meminta maaf, sana cepat pergi susul ibumu. Aku bisa pulang sendiri.” Celetukku galak. Ryuu sempat bingung tapi dia mohon pamit dengan minta maaf sekali lagi kemudian membawa tasnya pergi bersama pemuda berambut hitam tadi, sepertinya itu adik Ryuu, merekapun melesat meninggalkan lokasi mengendarai sepeda di tengah hujan deras. Huh, hujan di musim semi bukan hal menyenangkan.
SRUK. Eh? “Kau bisa masuk angin lho, Kirishiki-san. Lebih baik kita berteduh dulu.” Demi para malaikat di surga, Yukihira-san memberikan jaketnya untuk melindungi kepalaku! Saya, jangan sampai kau pingsan di tengah lapangan atau image-mu akan rusak seketika!
“Sepertinya badai bakal datang, bagaimana ini? Si bodoh itu sudah pulang duluan..” komentar Aida-san.
“Tidak ada toko atau café di dekat sini, bisa-bisa kita kehujanan terus.” Ucap Nakatani-san mendongak melihat awan gelap yang sangat mengerikan.
“…Rumahku dekat…dari sini,kok. Kalau jalan makan waktu lima belas menit.” Semua memandangku yang mencicit dibalik rambutku yang basah seperti Sadako ditutupi jaket. Akhirnya kami harus tergopoh-gopoh melewati hujan untuk ke rumahku, aku nyaris terpeleset di pinggir terotoar tapi dengan sigap Yukihira-san menangkapku. Dengan cengirannya yang terlihat menyilaukan dia berkata.”Tuan putri, bahaya kalau sampai jatuh. Hati-hati di sini sangat licin, pegangan saja denganku.” Yang dimaksud pegangan denganku saja adalah ; pegangan saja dengan tanganku. God! Aku merasakan taman bunga bermekaran di kepalaku yang merah seperti kepiting rebus.
Aku
harus menjelaskan pada kalian, ini kali pertama aku mengundang teman pria ke
rumah. Ayah seperti biasa menyambut dengan hangat dan kembali ke ruang
kerjanya, sebenarnya bukan ruang kerja,sih. Chichi
Ue*(ayah) seorang ahli pedang yang mendirikan Dojo di rumah tapi letaknya terpisah dari rumah utama, di sanalah
aku belajar menjadi penerus keluarga
Kirishiki sebagai Algojo juga pelajaran dan ilmu beladiri dia berikan
semuanya di Dojo berukuran sederhana.
Biasanya jam segini Chichi Ue
mengajar para murid dari sekolah kuil yang diasuhnya, atau kalau di hari hujan
beliau hanya mengajarkan Ikebana*(seni
merangkai bunga) pada para putri sanak saudaranya. Beliau memang serba
bisa.
“Boleh aku berkomentar sekarang?” Aida-san menatapku lekat-lekat ketika kami sampai di ruang perjamuan. “Apa itu?” tanyaku balik.
“Rumahmu… GEDE BANGEEET…!!” Aku menyeringai tanda kemenangan. “Oi! Jangan berwajah merendahkan begitu! Aku tahu kalau rumahku bahkan hanya sebesar toiletmu, tapi setidaknya hargailah tamu pertamamu di rumah sebesar hotel bintang enam ini.” Komplennya, rumahku sebenarnya tidak besar-besar amat tapi karena Chichi Ue seorang yang ‘spesial’ jadi mau tidak mau rumah kami kelewat besar. Yang mengantur segala sesuatunya dulu di sini adalah Haha Ue*(Ibu) hingga rumah bergaya Jepang ini tidak kelihatan norak, tapi tetap saja halaman seluas lapangan sepak bola yang ditumbuhi tanaman dan dihiasi batu-batu alam yang dialiri air adalah sesuatu yang wow.
“Boleh aku berkomentar sekarang?” Aida-san menatapku lekat-lekat ketika kami sampai di ruang perjamuan. “Apa itu?” tanyaku balik.
“Rumahmu… GEDE BANGEEET…!!” Aku menyeringai tanda kemenangan. “Oi! Jangan berwajah merendahkan begitu! Aku tahu kalau rumahku bahkan hanya sebesar toiletmu, tapi setidaknya hargailah tamu pertamamu di rumah sebesar hotel bintang enam ini.” Komplennya, rumahku sebenarnya tidak besar-besar amat tapi karena Chichi Ue seorang yang ‘spesial’ jadi mau tidak mau rumah kami kelewat besar. Yang mengantur segala sesuatunya dulu di sini adalah Haha Ue*(Ibu) hingga rumah bergaya Jepang ini tidak kelihatan norak, tapi tetap saja halaman seluas lapangan sepak bola yang ditumbuhi tanaman dan dihiasi batu-batu alam yang dialiri air adalah sesuatu yang wow.
“Aku terkesan
dengan penampilan rumahmu, tak kusangka Kirishiki-san seorang nona muda sungguhan.” Kekeh Yukihira-san setelah selesai berganti pakaian.
“E..Eh, apa? Aku tidak begitu suka diperlakukan sebagai nona muda apalagi kalau seluruh sekolah tahu soal ini.” Tepisku salting, uhh, wajahnya itu selalu tidak pernah baik untuk jantungku.
“Yang penting kami berterima kasih karena kau menyelamatkan kami.” Sahut Nakatani-san. Aku tersenyum tipis, setidaknya pengalaman ini bukanlah pengalaman yang buruk juga. Akhirnya setelah hujan berubah menjadi gerimis, mereka pamit pulang tapi aku malah lupa soal jaket Yukihira-san! Aah, aku harus memberikannya nanti.
“E..Eh, apa? Aku tidak begitu suka diperlakukan sebagai nona muda apalagi kalau seluruh sekolah tahu soal ini.” Tepisku salting, uhh, wajahnya itu selalu tidak pernah baik untuk jantungku.
“Yang penting kami berterima kasih karena kau menyelamatkan kami.” Sahut Nakatani-san. Aku tersenyum tipis, setidaknya pengalaman ini bukanlah pengalaman yang buruk juga. Akhirnya setelah hujan berubah menjadi gerimis, mereka pamit pulang tapi aku malah lupa soal jaket Yukihira-san! Aah, aku harus memberikannya nanti.
Malamnya aku bersama Chichi Ue melewatkan makan malam yang biasa, aku mendengar banyak hal mengejutkan soal latar belakang Ryuu dan Yukihira-san. “Tak kusangka kau bertemu dengan anak-anak itu, ayah bekerja bersama dengan Hosaka dan Yukihira dan mereka juga salah satu keluarga Hokutou Shichi Sei. Bukan berarti aku melarangmu berteman dengan mereka, tapi kalian harus bisa menjaga diri, karena kalau orang awam menemukan identitas kalian maka situasinya akan jadi semakin rumit.” Pesan Chichi Ue padaku setelah menghabiskan makan malam. Memang benar sekali kalau sampai identitas ini bocor makanya aku tetap akan menjaga mulutku juga menjaga kedua orang itu meski aku tak yakin aku mampu. Beberapa menit sebelum mataku mengantuk, sebuah e-mail datang tiba-tiba.
“Aku melihat Kamishiro-san dibully, sepertinya oleh anak kelas 3. Bagaimana ini? Aku punya fotonya, tapi aku tak yakin memancing amarah para macan betina.” Pesan dari Ryuu membuatku terbelalak, kenapa dia bisa kena hal seperti itu? Apa mungkin senior yang sewaktu berada di Display memulai ulah lagi?
Dengan kekuatan mengerikan aku membalas pesan itu
“Akan kuurus para macan betina itu. Tetap di tempat.” Kemudian kumatikan lampu kamar lalu beranjak tidur.
Keesokannya, aku tak percaya bagaimana hal itu terjadi. Yuki-san benar-benar kena bully yang bisa kukatakan sangat parah, tapi Yuki-san tidak membicarakannya padaku bahkan ya.. bahkan sampai bagaimana dia diperlakukan secara tidak adil seperti ini. Aku kesal, mengesalkan sekali, kenapa para idiot itu melakukan hal seperti ini. Baiklah mungkin dua hari adalah waktu yang tepat untuk melihat situasi, sayangnya, penindasan mengerikan itu terus berlanjut. Berbulan-bulan, sampai di saat ulangan kenaikan kelas. Itulah titik dimana aku melepaskan kehidupan normalku secara gamblang dan blak-blakan. Aku masih mengingatnya di hari itu, di hari yang dingin, kenaikan kelas sudah tiba dan ujian itu berlangsung begitu cepat di saat aku sudah memutuskan untuk mengakhiri penindasan tersebut.
“Hei, Saya kau mau kemana? SAYA-CHAN!” Aku tak memerdulikan seruan Ryuu dari ujung lorong, aku melesat menuju lantai dua dan aku menemukan mereka di ruang… PKK. Dasar, kenapa di saat seperti ini mereka masih kurang kerjaan bermain api? Semua mata senior yang terlihat busuk di hadapanku memandang dengan sengit.
“Sa, Saya?”. “Oi, siapa dia? Oh dia anak kelas 1 yang jadi Kacung di klub basket,kan?” Huh, aku tidak sudi dikatakai begitu tapi anehnya aku hanya diam saja.
“Apa dia bisu? Heh, katakan sesua—.” DUAKK!. Satu orang dulu, semua ternganga, bahkan Yuki-san memandang kaget dan yah aku tak peduli setelah ini mungkin aku akan jadi bulan-bulanan mereka.
“Dasar kurang ajar, kau ngajak berantem ya!?”seorang lagi senior lelaki berotak udang kuhantamkan ke dinding sementara para senior perempuan dengan bodohnya gemetaran langsung merapat ke tembok. Aku menyeringai entah bagaimana wajahku ini dihadapan mereka namun aku ingin membuat pertunjukan menarik. “Jadi, SENPAI.. bagaimana kalau kita selesaikan saja sekarang?” kejadian selanjutnya adalah para senior genit berbondong-bondong lari seperti tikus ketakutan, hmm dasar pengecut.
Tanpa
sadar aku sudah membawa Yuki-san ke
UKS, dia Nampak masih shock. Kami tak berbicara selama lima belas menit sampai
Yuki-san tiba-tiba menangis sesegukan
dan mencengkram tanganku, “Uuuh…. Saya-chan…Bodoh!”
Aku tersenyum mendengar perkataan spontannya itu. “Aku memang sudah bodoh,
kukira kau suka yang bodoh-bodoh?” setelah menyelesaikan perkara itu, aku tak
menyangka aka nada perkara baru.
“Kirishiki-san? Kudengar kau melakukan sesuatu di kelas atas?”
“….” Dasar Guru BP sialan, huh, kalau begini caranya aku tidak bisa pura-pura jadi Tuan Putri lagi,kan ya? “Hei! Jawab, kau ini dengar tidak—.” Terus terang aku tak tahu bagaimana tampangku saat aku memandang guru BP berkepala botak di depanku, dia berkeringat dan mundur selangkah ke belakang.
“Pak? Apa yang ingin bapak sampaikan?” Wah, bagaimana ini? Aku seperti bahagia sekali memandang wajah takut si guru botak di depanku, aku tersenyum seperti bukan senyumanku yang biasanya. “Ukh… Hiiii!” Ah, si botak itu lari. Entah kenapa ada sesuatu yang apa,ya? Sesuatu yang menyenangkan seperti sensasi tersendiri ketika kau bisa membalas atau bagaimana aku menyebutnya, mengintimidasi orang yang kau tidak sukai? Sifatku…., benar seperti kata Chichi Ue, suatu hari kau akan tahu posisi juga naluri dimana seharusnya kau berada, lingkungan yang seharusnya ada untukku.
“Saya-chan?” Yuki-san memanggilku tapi aku terlalu tenggelam pada sensasi ini.
“Hoi! Saya, ah Kamishiro-senpai juga ada, hei Saya aku dengar kau…” kata-kata Ryuu lenyap ketika aku menoleh padanya, entah apa yang dia lihat dari mataku atau tampangku namun kedua orang di depanku ini seperti melihat pemain film horror yang berakting hebat seperti kenyataan, ralat, ini memang kenyataan.
“Sa, Saya.., Kau… kenapa?” pertanyaan yang mungkin bakal selalu tetap jadi pertanyaan untuk kami, bahkan mungkin selamanya.
“Aku? Aku tidak kenapa-kenapa kok. Memangnya ada apa, RYUU?” Mungkin, ya mungkin saja itu adalah ekspresi untuk pertama dan terakhir kalinya aku melihat wajah Ryuu yang biasanya secerah matahari berubah pucat dan ketakutan, aku tak mengerti kenapa hanya saja ada alasan kenapa dia memasang wajah seperti itu.
Tentu saja alasan utamanya adalah ;
AKU.
“Kirishiki-san? Kudengar kau melakukan sesuatu di kelas atas?”
“….” Dasar Guru BP sialan, huh, kalau begini caranya aku tidak bisa pura-pura jadi Tuan Putri lagi,kan ya? “Hei! Jawab, kau ini dengar tidak—.” Terus terang aku tak tahu bagaimana tampangku saat aku memandang guru BP berkepala botak di depanku, dia berkeringat dan mundur selangkah ke belakang.
“Pak? Apa yang ingin bapak sampaikan?” Wah, bagaimana ini? Aku seperti bahagia sekali memandang wajah takut si guru botak di depanku, aku tersenyum seperti bukan senyumanku yang biasanya. “Ukh… Hiiii!” Ah, si botak itu lari. Entah kenapa ada sesuatu yang apa,ya? Sesuatu yang menyenangkan seperti sensasi tersendiri ketika kau bisa membalas atau bagaimana aku menyebutnya, mengintimidasi orang yang kau tidak sukai? Sifatku…., benar seperti kata Chichi Ue, suatu hari kau akan tahu posisi juga naluri dimana seharusnya kau berada, lingkungan yang seharusnya ada untukku.
“Saya-chan?” Yuki-san memanggilku tapi aku terlalu tenggelam pada sensasi ini.
“Hoi! Saya, ah Kamishiro-senpai juga ada, hei Saya aku dengar kau…” kata-kata Ryuu lenyap ketika aku menoleh padanya, entah apa yang dia lihat dari mataku atau tampangku namun kedua orang di depanku ini seperti melihat pemain film horror yang berakting hebat seperti kenyataan, ralat, ini memang kenyataan.
“Sa, Saya.., Kau… kenapa?” pertanyaan yang mungkin bakal selalu tetap jadi pertanyaan untuk kami, bahkan mungkin selamanya.
“Aku? Aku tidak kenapa-kenapa kok. Memangnya ada apa, RYUU?” Mungkin, ya mungkin saja itu adalah ekspresi untuk pertama dan terakhir kalinya aku melihat wajah Ryuu yang biasanya secerah matahari berubah pucat dan ketakutan, aku tak mengerti kenapa hanya saja ada alasan kenapa dia memasang wajah seperti itu.
Tentu saja alasan utamanya adalah ;
AKU.
----------------------------------------------------------------------
SHUUMA.YUKIHIRA
SMA Seirin. 10.00 p.m
SMA Seirin. 10.00 p.m
Kesan
pertamaku pada Krishiki adalah ; Unik.
Entah kenapa bagiku dia adalah gadis yang amat berbeda dengan gadis lain yang pernah kutemui, awalnya Tora yang mulutnya seperti kaleng itu sangat bersemangat mengajakku ke acara Hosaka-kun di lapangan karena mungkin si bodoh itu hendak cari perhatian pada Kirishiki. Hanya saja entah di mana di sudut hatiku, aku tidak bisa melepaskan suatu rasa yang aneh di hati ini ng bagaimana ya maksudnya adalah, seperti ada sihir yang membuat matamu terus menatap orang yang pertama kali kau kenal seperti lem super dan membuat kau terlihat bodoh.
“Hei~Yukki! Kau melamun lagi, kenapa? Teringat nona manis yang mengundang ke rumahnya tempo hari?” tibat-tiba Tora dengan seenaknya merangkulku yang sedang menikmati kesendirian ini. “Berisik, kau sendiri juga lebay sekali melihat rumah Kirishiki.” Sahutku bête. “Ahh, bagaimana ya? Aku sedikit tertarik pada Kirishiki-chan. Kau bagaimana?” pertanyaan itu menyentilku, tertarik? Tertarik dari sudut apa dulu.
“Ng…. bagaimana ya? Sedikit sih…” jawabku ragu.
“Kau yakin? Ya sudah kalau begitu aku tidak punya saingan dong,ya? Kalau aku ambil tidak apa-apa ka—ukh!” spontan aku menjejalkan kertas di mulut sahabatku itu dan tentu saja dia langsung marah-marah padaku. Eh, tunggu dulu, kenapa aku malah kepikiran yang tidak-tidak,sih? Masa aku cemburu padanya hanya karena digoda begitu?
“Oi, Yukki, kau suka Kirishiki ya?” JACK POT!! Aku tak paham tapi wajahku berubah panas, aku langsung menutup mulutku dan mengalihkan pandangan secepat mungkin. Bisa kulihat senyuman jahil dari wajah karibku dan tentu saja aku hafal betul kalau dia begitu berarti dia mengetahuinya—semuanya. “Ha! Benar,kan. Dasar cowok pendosa, tahu saja yang cantik. Hahahaha” tawanya yang menggelegar itu makin menguatkan niatku untuk menghajar wajahnya segera mungkin. Ngomong-ngomong kenapa hari ini perasaanku tidak enak,ya? Entah kenapa sejak aku menerima e-mail dari Kirishiki kemarin(aku tidak bilang pada Si Bodoh Tora kalau aku sudah bertukar alamat e-mail dengan Kirishiki, bisa-bisa dia heboh dan aku kehilangan muka di kelasku padahal aku baru kelas satu.)perasaanku gelisah sekali. Bukannya ingin sok perhatian atau bagaimana, tapi pesan singkat itu mencurigakan sekali. Yaah, aku sering dengar tentang pem-bully-an di sekolah manapun pasti ada satu atau dua kasus penindasan yang kerap kali biasanya sih kebanyakan anak perempuan atau golongan tertentu.
Makanya semenjak Kirishiki mengatakan soal itu aku jadi kepikiran. Aku harap anak itu tidak terlibat hal-hal aneh, haah, sebenarnya aku ingin lebih dekat tapi entah kenapa aku canggung untuk dekat dengannya, mungkin karena aku dibesarkan dalam banyak saudara laki-laki jadi sedikit sulit membuatku membaur, dan lagi sekarang aku nyaris mau masuk ke tingkat dua di SMA, tidak terasa saja sih sebenarnya dengan banyak kejadian biasa saja. Oh ya, sepertinya aku belum cerita soal latar belakang keluargaku pada Kirishiki, hmm… keluarga kami kan masih satu atap dalam organisasi, aku juga cukup mengenal ayahnya. Tuan Besar Ashura Kirishiki, sahabat Shuuji Yukihira(Too-sama) jadi aku sangat mengenal putri tunggal keluarga Kirishiki.
Entah kenapa bagiku dia adalah gadis yang amat berbeda dengan gadis lain yang pernah kutemui, awalnya Tora yang mulutnya seperti kaleng itu sangat bersemangat mengajakku ke acara Hosaka-kun di lapangan karena mungkin si bodoh itu hendak cari perhatian pada Kirishiki. Hanya saja entah di mana di sudut hatiku, aku tidak bisa melepaskan suatu rasa yang aneh di hati ini ng bagaimana ya maksudnya adalah, seperti ada sihir yang membuat matamu terus menatap orang yang pertama kali kau kenal seperti lem super dan membuat kau terlihat bodoh.
“Hei~Yukki! Kau melamun lagi, kenapa? Teringat nona manis yang mengundang ke rumahnya tempo hari?” tibat-tiba Tora dengan seenaknya merangkulku yang sedang menikmati kesendirian ini. “Berisik, kau sendiri juga lebay sekali melihat rumah Kirishiki.” Sahutku bête. “Ahh, bagaimana ya? Aku sedikit tertarik pada Kirishiki-chan. Kau bagaimana?” pertanyaan itu menyentilku, tertarik? Tertarik dari sudut apa dulu.
“Ng…. bagaimana ya? Sedikit sih…” jawabku ragu.
“Kau yakin? Ya sudah kalau begitu aku tidak punya saingan dong,ya? Kalau aku ambil tidak apa-apa ka—ukh!” spontan aku menjejalkan kertas di mulut sahabatku itu dan tentu saja dia langsung marah-marah padaku. Eh, tunggu dulu, kenapa aku malah kepikiran yang tidak-tidak,sih? Masa aku cemburu padanya hanya karena digoda begitu?
“Oi, Yukki, kau suka Kirishiki ya?” JACK POT!! Aku tak paham tapi wajahku berubah panas, aku langsung menutup mulutku dan mengalihkan pandangan secepat mungkin. Bisa kulihat senyuman jahil dari wajah karibku dan tentu saja aku hafal betul kalau dia begitu berarti dia mengetahuinya—semuanya. “Ha! Benar,kan. Dasar cowok pendosa, tahu saja yang cantik. Hahahaha” tawanya yang menggelegar itu makin menguatkan niatku untuk menghajar wajahnya segera mungkin. Ngomong-ngomong kenapa hari ini perasaanku tidak enak,ya? Entah kenapa sejak aku menerima e-mail dari Kirishiki kemarin(aku tidak bilang pada Si Bodoh Tora kalau aku sudah bertukar alamat e-mail dengan Kirishiki, bisa-bisa dia heboh dan aku kehilangan muka di kelasku padahal aku baru kelas satu.)perasaanku gelisah sekali. Bukannya ingin sok perhatian atau bagaimana, tapi pesan singkat itu mencurigakan sekali. Yaah, aku sering dengar tentang pem-bully-an di sekolah manapun pasti ada satu atau dua kasus penindasan yang kerap kali biasanya sih kebanyakan anak perempuan atau golongan tertentu.
Makanya semenjak Kirishiki mengatakan soal itu aku jadi kepikiran. Aku harap anak itu tidak terlibat hal-hal aneh, haah, sebenarnya aku ingin lebih dekat tapi entah kenapa aku canggung untuk dekat dengannya, mungkin karena aku dibesarkan dalam banyak saudara laki-laki jadi sedikit sulit membuatku membaur, dan lagi sekarang aku nyaris mau masuk ke tingkat dua di SMA, tidak terasa saja sih sebenarnya dengan banyak kejadian biasa saja. Oh ya, sepertinya aku belum cerita soal latar belakang keluargaku pada Kirishiki, hmm… keluarga kami kan masih satu atap dalam organisasi, aku juga cukup mengenal ayahnya. Tuan Besar Ashura Kirishiki, sahabat Shuuji Yukihira(Too-sama) jadi aku sangat mengenal putri tunggal keluarga Kirishiki.
Aduh,
kenapa kondisi semakin rumit? Aku tahu kalau aku pribadi tidak boleh sampai
membocorkan indentitasku sebagai keluarga eksekutor,
kalau ini sampai bocor maka…, ng? aku merasa ponselku bergetar, oh, dari
Hosaka-kun.
“Kurasa saat ini yang bisa bicara dengannya hanyalah dirimu, Shuuma-san. Aku mohon tolong anak itu, dia ada di taman bermain tidak jauh dari komplek sekolahmu. Hosaka Ryuugen-“ Perasaan burukku berubah menjadi nyata, apalagi kondisi sedang tidak baik karena awan mendung sudah menari-nari sejak tadi, bahkan gerimis sudah berdatangan jadi aku harus cepat. Tanpa memerdulikan Tora yang asyik bicara soal game dengan teman sebelahku, langsung saja aku melesat keluar ruang kelas. “Oii! Yukki, kau mau kemana? Hari ini bakal ada badai lho!” teriak Tora memperingatkanku. “Maaf, aku ada urusan! Aku ijin sebentar…!” seruku.
“Kau mau kemana!?”. “Ke tempat seseorang yang menungguku…” Oke, ucapanku seperti orang sok, tapi aku rasa memang ada orang yang sedang menungguku. Kulepas sandal lalu melesat membelah hujan yang mulai deras diselingi angin kencang, bisa gawat kalau terus-terusan berada dalam kondisi ini apalagi halilintarnya mulai mengamuk. Satu-satunya taman bermain yang kutahu adalah sekitar 500 meter dari sekolah kemungkinan anak itu ada di sana.
“Aku pikir tugasku untuk menjemput anak kecil berakhir di masa SMP…” ucapku perlahan di depan gadis yang tertunduk di atas ayunan, dia basah kuyup dan rambutnya yang panjang malah mengingatkanku pada hantu sumur yang sering muncul di tv. Hanya saja kali ini aku tidak takut dengan si hantu sumur bermata magenta ini.
“….Diam…”. “Aku tak menyangka mulutmu kasar juga, Nona Kirishiki Saya.” Dia sepertinya tersentil oleh ucapanku. “Kenapa…?”. “Entahlah, anggap saja ini pertalian nasib? Kurasa tidak baik berada di tengah badai begini… ng, kalau kau berminat cerita, aku siap mendengarkan…” ujarku perlahan takut dia mengamuk dan aku bakal di hajar olehnya. Berbeda denganku yang latih agar menjadi ‘penyusup yang halus’, Kirishiki sendiri adalah salah satu garis depan paling mengerikan dengan kemampuan mereka yang brutal.
“Mereka mungkin akan membenciku, tahun keduaku bakal suram..” sahut Kirishiki sambil tersenyum sinis. “Kenapa begitu? Bukankah kau lebih suka terang-terangan?”
.
“Aku menolong seniorku ketika di bully, sepertinya apa yang dikatakan oleh ayahku benar. Segala cara yang kau lakukan untuk menahan sifat warisan keluarga adalah sia-sia, makanya aku kelepasan, sifat ini sulit kuhentikan. Aku membuat Ryuu berwajah begitu, kemungkinan besar aku bakal jadi bahan omongan dan yahh, dikucilkan adalah kata yang tepat untukku kelak. Jadi, apa urusanmu kemari? Aku sudah bukan tuan putri yang kalian kenal tempo hari…”
“Aku menolong seniorku ketika di bully, sepertinya apa yang dikatakan oleh ayahku benar. Segala cara yang kau lakukan untuk menahan sifat warisan keluarga adalah sia-sia, makanya aku kelepasan, sifat ini sulit kuhentikan. Aku membuat Ryuu berwajah begitu, kemungkinan besar aku bakal jadi bahan omongan dan yahh, dikucilkan adalah kata yang tepat untukku kelak. Jadi, apa urusanmu kemari? Aku sudah bukan tuan putri yang kalian kenal tempo hari…”
Aku mendengus, di tengah hujan yang
dingin aku ragu untuk membedakan mana air mata mana bulir air di wajahnya. Aku…,
tidak takut padanya, dia gadis yang sangat lain di mataku sekalipun orang-orang
menyebutnya brutal dan kasar. Dia… istimewa.
“Bagaimana kalau kau buang perasaan itu lalu pergi..?” sahutku.
“Huh? Apa maksudmu…? Pergi dari sekolah? Kau bercanda…”
“Maksudku, buang semua kegelisahan konyolmu itu dan pergilah.. KE TEMPATKU.., aku siap jadi senjatamu kalau kau mau. Bukannya sok, tapi aku merasa aku tak bisa mengacuhkanmu. Benar,kan? Saya..” Anak itu ternganga mendengar ucapanku, terdengar aneh sih tapi sudahlah, kuulurkan tangan padanya dan aku menunggu dia menyambut tangan itu. Awalnya dia tampak ragu tapi akhirnya perlahan dia meraih tanganku, aku bisa merasakan tangannya sangat dingin jadi tanpa sadar aku malah menarik tangan itu hingga aku memeluknya. Jujur saja otakku sedang rada konslet karena terguyur hujan, jadi yang ada adalah Saya dengan wajah seperti kepiting rebus tergagap dalam seragamku yang basah.
Selama lima belas menit aku tetap memeluknya sampai aku mendapatkan kesadaranku kembali.
“HUAAA..!! Ma, maaf…!!” seruku menjauh darinya. “Eh?”. Aarrrgh! Astaga wajahku mengerikan, wajahku merah seperti…ah lupakan, aku terjebak dalam kondisi paling mengerikan sepanjang hidupku. Eh, senang atau seram ya? Aku tak tahu.
“A, anu… Yu, Yukihira…-san…” sahut Saya di depanku terbata.
“Panggil…ng, panggil saja Shuuma, lagian itu terlalu formal aku tak suka…umm..” Aku menggaruk belakang kepala yang tidak gatal.
“Puh… kau mengerikan, Shuu…” gelak tawanya nyaris membuat jantungku meledak. Tuhan, bagaimana aku bisa menghadapi wajahnya yang menawan itu!?
“Hei, jangan tertawa dong… gara-gara kau, ponselku jadi basah nih… lagian tidak baik berlama-lama di bawah hujan lebih baik kita berte—“. Tiba-tiba Saya sudah menyeretku ke semak-semak, tak jauh dari kami dengan kecepatan super hingga aku terjengkang ke belakang.
“Apa yang kau laku—..” “Pstt… diam. Kau tidak merasa dari tadi kita dikuntit?” bisik Saya. Hah? Aku tak tahu, maksudnya bagaimana aku tahu soalnya yang ada di pikiranku hanyalah anak ini seorang, kemungkinan aku jadi Maso*(Orang yang suka menyiksa/ melukai diri demi orang lain)benar-benar terjadi. Aku diam melihat sekeliling di balik semak-semak, tapi tidak ada siapapun di sana sementara Saya dengan focus terus menatap tajam kea rah tanah lapang di depannya. Beberapa menit mungkin jeda lima menit, ada seseorang yang datang! Benar sekali kita dikuntit! Sial, harusnya aku tahu dari tadi apalagi aku orang yang sangat peka. Tapi aku tidak mengenali orang itu karena dia memakai tudung jumper miliknya, dia tampak kebingungan dan tentu di balik tangannya yang ia selipkan di kantong pasti adalah sesuatu berbahaya.
“Kita musti bagaimana? Lari?” tanyaku. “….” Saya diam sejenak.
:”Hei, Saya…”. “Aku mencium bau asing darinya tapi entah kenapa ada satu bau yang menyisip di sekitar orang itu, mirip dengan baumu hanya saja baunya agak sedikit berat. Seperti bau busuk dan darah? Juga bau bulu burung…” Uow… aku harusnya tahu kalau Saya memang bukan gadis biasa. “Jadi, apa bau yang mitip denganku itu berarti ada hubungannya denganku?”. “Aku tidak bisa memastikan, kau yang harus menemukan jawabannya sendiri. Shuu…” aduh, jantungku berdebar tidak karuan.
Tiba-tiba
di tengah obrolan itu Saya melemparkan batu kea rah si orang mencurigakan.
Ternyata benar orang itu membawa pisau, pisau dapur! Wow, aku heran kenapa di
saat begini masih saja ada yang nekat membawa benda tajam. “Shuu! Lari!” seru
Saya. “Kau gila ya, memangnya aku mau meninggalkanmu sendirian!?” tapi
omonganku tidak dia gubris, dengan secepat angin Saya membekuk si pelaku meski
si pelaku membawa pisau. Tampaknya orang itu masih amatir karena kalap walau
hanya digertak, sayangnya dia harus berakhir terkapar di tanah dengan mulut
berbusa. “Kau apakan dia?”. “Aku hanya mengunci tenggorokannya, oh, cepat
amankan pisau itu kalau tidak…” suara Saya lenyap ketika sesuatu melesat di
balik badanku.
“SHUUMAA…!”
“SHUUMAA…!”
Aku
tersungkur jatuh ketika Saya melindungiku
dengan menangkap pisau lain yang dihunuskan seorang lagi dari belakang. Darah
bercampur air hujan membanjiri seragamku juga seragam dan tangan Saya.
“Saya..!!”. “Khi..khi..khiii…..
Ayo..main..kakak..kakak…” aku tercengang mendengar suara dari balik tudung
itu. Sementara Saya hanya terdiam dengan memegangi tangan kirinya yang terluka,
dia seperti melihat sesuatu tapi focus matanya bukan pada si tudung itu
melainkan sesuatu di balik punggungnya.
“Kakak…kakak…. Ayo kita main….”
“A—apa itu sebenarnya….!? Kenapa, siapa itu? Saya…!” aku panic bukan main.
“To..tolong…khu khukhuu…. Kakak..kakak…ayah..ibuu….kyahahaha…” Orang ini aneh, seperti terasuki sesuatu. Gelagatnya yang menggelepar-gelepar dan kadang oleng ke kiri dan ke kanan ini bukan manusia normal. Bulu kudukku merinding seketika, hah! Aku merasakan ada sesuatu yang mengawasiku dari suatu tempat, sial! Hujan bertambah deras saja!
“ZRUUTT..ZRUUT…” Kini aku melihat ada benda lain yang merangkak dari balik semak-semak. Matanya mengintip, mata yang merah dan penuh darah, seperti gumpalan lemak hitam yang berlendir. Ukkh! Aku mual, apalagi aku tidak hanya melihat sepasang titik saja melainkan ada banyak titik di kegelapan sana, ada rambut yang kusut terjatuh ke tanah, tangan-tangan yang panjang itu…di balik remang-remang… uhh!
“Shuu, jangan jauh-jauh dariku. Aku tidak mau menunjukkannya sih tapi apa boleh buat. Akan kukatakan sekarang,…dengarkan baik-baik.” Ucap Saya, eh, aku baru menyadari iris matanya berubah menjadi merah. Bukan! Tapi menyala merah, lalu dengan cepat mencabut katana yang berada di tangannya. Apa itu pedang roh?
“Shuu, mereka membawa senjata. Jangan takut menyerang, orang yang dirasuki kalau tidak dibunuh maka akan terus menjadi media untuk benda ini.”.
“Apa maksudmu? Aku tak mengerti.., mereka..”
“Mereka, mereka ANAK-ANAK. Mereka gumpalan atau seperti benda jahat yang terlalu lama berada di sini. Aku tak mengerti, tapi entah kenapa mereka seperti sengaja diciptakan. Suara mereka pedih, mereka korban..” jelas Saya.
“Korban dari apa?” tanyaku. “Korban.. PERSEMBAHAN…”
“Siapa.. siapa yang melakukan hal sekeji ini?”.
“Tolong jangan kaget, aku hanya mendengar dan merasakan perasaan mereka. Intinya seperti mengintip kilas balik roh-roh ini. Haha-Ue yang mengajarkanku, mereka… korban, korban persembahan suatu ritual di tempat yang ramai, seperti di.. kuil ng.. ketika festival berlangsung…” aku mendengarkan dengan seksama, “Dan yang melakukan hal ini.. aku hanya berasumsi saja… semua ini dilakukan oleh.. salah satu KELUARGA YUKIHIRA.. Anak berambut mirip denganmu.. dia masih kecil. Anak SMP?”
Sekarang aku yang ternganga. Ciri-ciri yang dikatakannya tadi itu..
“KARASU?” Tidak mungkin…!
.....
,.............................